Sabtu, 12 Februari 2011

Pacar Rembulan

KARENA setiap ingatan menyakitkan, maka panggil aku Rembulan, kataku malam ini. Angin terasa nyaman, dihangati sinar bulan. Dedaunan pohon beringin menawarkan kesejukan yang lain ke dalam hati kita.

"Mengapa?"

Ah, kau seperti belum pernah bepergian. Usia sudah sesenja ini, belum cukup memberi artikah banyak peristiwa? Ingat-ingatlah semua kepedihan, hatimu pasti sakit. Ingat-ingat juga segala kebahagiaan, hatimu juga pasti sakit. Begitulah, kekasih, hal-hal yang hilang pasti menyakitkan. Tentu, ada ingatan yang indah, baik pedih maupun bahagia. Maka, panggil aku Rembulan.

"Mengapa?"

Aduh, kau belum paham juga. Ingatkah kau pacar pertamamu? Ketika pertama kali kaukecup bibirnya, tangannya yang lembut menampar pipimu, iya kan? Dan kau pasti bahagia ketika mengenangnya, menatap rembulan pada malam yang dingin, bermanja-manja dengan lengang. Begitulah, dengan egoisme dan kelicikan usia remaja, kau mungkin pernah merayunya dengan berkata bahwa dialah satu-satunya perempuan yang kaucintai. Dialah perempuan yang membuatmu masuk ke tahap dewasa awal, sebab berpisah dengannya membuatmu berpikir tentang kematian. "Aku tak bisa hidup tanpamu. Aku akan bunuh diri jika kau meninggalkanku." Uhff, gombal. Nyatanya, ketika lengan kecil pacarmu itu merangkul pinggang lelaki lain, kau hanya mengumpat, melupakannya, lalu senyum-senyum sendiri mengenangnya, sambil memandang rembulan. Mungkin sambil merayakan kemenangan karena kau baru saja mendapatkan kekasih yang lebih cantik. Tak ada luka sebenar dalam hidup ini. Tak ada bahagia sebenar sepanjang perjalanan ini. Dan tentang cinta, kepada kita telah selalu dikisahkan: Once upon a time , hiduplah sepasang kekasih yang saling mencintai tapi harus berpisah karena perang. Tetapi, sepasang kekasih itu selalu bertemu pada bulan purnama. Yah, selalu wajah mereka saling bicara di wajah bulan....

"Itu mah bukan dahulu kala," kau menyela. "Kisah itu ada di depanmu, di halaman rumah kita."

Ah, lagi-lagi kau seperti belum pernah bepergian. Sejarah, sayangku, bukan peristiwa yang berjalan lurus. Ia seperti hatimu. Meskipun banyak hal kauyakini telah usai, adakalanya hati akan membawamu mengunjungi banyak peristiwa. Ketika wajah kota muram oleh gerimis, kau menemui lagi pacar keduamu di tepian sungai. Kalian duduk dengan kaki berselonjor ke dalam air. Sayangku, katamu dengan suara renyah, bagaimana kalau tiba-tiba kedua kakimu berubah jadi ekor ikan, dan kau menjelma putri duyung? Kekasihmu menyahut: ‘Aku akan bersusur di sepanjang sungai, mencari pangeran-pangeran ikan. Aku akan bercinta dengan mereka sepuas hatiku. Sebab mereka pasti lebih tampan daripada kau.' Merasa kalah, kau bangkit secara mendadak, berlari dan berteriak dengan keras: Awas, ada buaya... ada buaya. Kekasihmu ketakutan, lalu mengejarmu. Setelah itu kau tertawa. Kekasihmu jatuh ke pelukmu dengan tubuh gemetar, lemas karena sandiwara kecilmu.

Hati juga akan membawamu ke suatu masa di mana segala sesuatu masih tampak sempurna. Gubuk kecil tempat bapa dan ibu merawatmu. Kali kecil berair jernih. Sawah dan ladang hijau. Hutan-hutan yang ditumbuhi pohon-pohon tegak. Gunung dan perbukitan yang mengokohkan jiwa. Kicau burung dan kokok ayam yang membangunkanmu pada pagi hari. Jalanan berbatu yang kaulintasi setiap pulang-pergi sekolah. Juga kau kecil yang suka usil pada teman-teman perempuanmu. Pernah, kan, kau menjambak rambut gadis tercantik di kelasmu?

"Ah, kau mengigau. Aku tak pernah memiliki semua itu. Aku tumbuh dan besar di sebuah bandar," katamu.

Oleh sebab itu, panggil aku Rembulan, kataku. Malam ini semakin dingin, bulan mulai lenyap disapu awan, bintang-bintang menyisih entah kemana. Tapi percakapan kita masih hangat, seperti tak akan terusir oleh apapun.

"Mengapa?"

Ah, kau membuatku gemas. Ingin kucakar hatimu yang tak juga mengerti. Tidak tahukah kau makna setiap kenangan? Aku pernah melihat bulan rebah di sepanjang pantai. Kadang ia menari-nari digoyang ombak. Agak jauh di utara, sedikit menjorok ke arah laut, kapal-kapal mengonggok. Tiang pelabuhan bercerita tentang sunyi sejarah. Peluit-peluit kapal meruncing seperti ingatan yang menusuk. Kapten dan anak buah kapal berbondong-bondong menuju restoran-restoran murah, tentu dengan harapan bisa melingkarkan tangan di pinggang pelacur-pelacur pelabuhan. Ah, bagian ini membuatku sedih. Kau mirip seperti anak buah kapal bertubuh kecil. Ya, kau mirip seperti lelaki berkulit hitam dan berbulu itu, warna kalian mirip seperti malam. Wajah kalian seperti kegelapan kota yang terbakar. Di atas pasir, dialah lelaki yang mengajariku cinta, juga kehidupan.

"Kau bersetubuh dengannya?"

Cinta dan kehidupan tidak melulu lahir dari persetubuhan. Kau tahu, lumut-lumut yang menghijau di dinding kapal dan dermaga itu tak tumbuh dari persetubuhan. Kau, ah, bukan, tapi lelaki itu. Lelaki itu menjadikanku adik. Meski tubuhku mungkin berkali-kali menyulut birahi di hatinya, tapi ia tak pernah tega mengecapnya. Dan aku salah telah mencintainya dengan membabibuta. Ketika kuutarakan debarku, ia mengelak dan pergi untuk tak kembali. Kau seperti adikku, katanya. Ada apa dengan adikmu? Aku bertanya. Tapi ia terus saja mengayun langkah. Tetapi, dari teman-temannya sesama anak buah kapal aku tahu bahwa adiknya meninggal di sebuah kerusuhan. Padahal, dia sudah berkorban menghentikan kuliahnya demi mencari biaya untuk sekolah adiknya. Pada awal-awal pertemuan kami, ia pernah bercanda dengan berkata bahwa ia seorang aktivis yang lari dari kampus. Jika aku bertahan, mereka pasti sudah menculik dan menghabisi nyawaku. Itu artinya kita tidak akan bertemu, katanya. Lama sesudahnya, barulah aku berpikir bahwa kalimat ‘kita tidak akan bertemu' adalah ungkapan syukur dari seorang lelaki yang beruntung menemukan sosok adiknya dalam diri orang lain, bukan rasa syukur karena bertemu dengan lawan jenis yang membuatnya jatuh cinta, sebagaimana perasaanku padanya. So, once upon a time, sesuatu pernah hancur. Seperti sejarah, peristiwa-peristiwa akan berulang. Kemiskinan, bencana, kesewenang-wenangan penguasa, perang, teror, semua akan berulang. Pikiranku kacau, kekasih, sebab selalu lelaki itu kuanggap sebagai kau. Oleh sebab itu panggil aku Rembulan.

"Tapi aku cemburu cahaya hatimu masih tetap untuk lelaki itu."

Jangan munafik. Pacar ketigamu membuatmu hampir lumpuh. Ingat kau bagaimana ia selalu mengirimimu puisi-puisi. Tapi kau tak pernah belajar memahami puisi. Ia juga mengepak doa-doanya dalam surat cinta. Mestinya kau sudah lebih pandai merawat waktu. Tapi apa? Kau bahkan mengutuk pagi, menyumpahi siang, memaki malam sebab saban waktu perempuan itu mengoceh tentang puisi. Kau tidak butuh itu. Kau hanya butuh tubuhnya, kau hanya ingin bermain-main dengan gelombang birahi di tubuhnya. Apa kau kira gelombang laut yang membuncah-buncah di sepanjang pantai selalu bisa menjadi isyarat cinta dan kehidupan yang dasyat? Tidak sayangku, tidak. Mestinya kaubaca puisi-puisi itu, rekaman kehidupan itu. Di situlah kematian saudara-saudaramu terkisahkan, ibumu yang tak sudah-sudah meminum air mata sendiri. Juga adik-adikmu yang telanjang, berlari-lari mengejar keriangan di sepanjang pantai. Coba jawab aku, mengapa kau tak belajar memahami puisi-puisi itu? Kau malah meninggalkannya, mabuk-mabukan dengan pacar keempatmu. Pacar keempatmu lalu meninggalkanmu, sebab pelacur tak butuh cinta. Dan seperti keangkuhan seorang penakluk, kau terus saja memburu perempuan. Tapi aku tahu hatimu tak pernah lepas dari perempuan itu, penyair itu, pendoa itu. Sebab sesungguhnya, perempuan seperti itulah yang bisa menyelamatkan lelaki bajingan seperti kau. Tapi, seperti kau tahu, tak ada perempuan baik seperti dia yang mau mencelakakan diri demi lelaki seperti kau. Maka, kekasihku, bersyukurlah kau atas cintaku.

"Bersyukur? Aku harus bersyukur untuk pelacur seperti kau?"

Ah, kau barangkali memang belum pernah bepergian. Kau tidak tahu lukaku. Kau tidak punya apa-apa selain kedunguan. Oleh sebab itu, panggil aku Rembulan.

"Mengapa?"

Uhh... tak adakah tanya selain itu, kekasihku? Sini, kecup keningku, biar kuceritakan. Lihat, kita sedang duduk di bawah pohon beringin ini. Dan sisa gedung terbakar di sebelah sana adalah saksi betapa sudah banyak orang yang singgah dan mengomeli hidup di bawah pohon ini. Dan sekiranya pohon ini bisa bercerita, buku setebal jumlah jam usiamu tak akan mampu menampungnya. Dan ini yang terpenting: Kau lihat sinar bulan itu, kekasihku, tumpah ke bumi dalam bentuk utuh, tapi menjadi berserpih ketika terbentur pada benda-benda. Lihat, setelah membentur daun-daun beringin ini, cahaya itu berserak serupa remahan, remahan cahaya. Begitulah perjalanan. Ada yang selalu rontok, pecah, hancur dan bersisa jadi remahan-remahan peristiwa dalam ingatan. Sebab itu setiap ingatan pasti menyakitkan. Tentu, ada ingatan yang indah, betapapun peristiwa teramat sakit.

"Lalu, mengapa aku harus memanggilmu Rembulan?"

Kau belum paham juga. Sudahlah, aku pergi.

"Ke mana?"

"Meninggalkanmu?"

"Kenapa?

"Karena kau tak paham kata-kataku."

"Pergilah!"

Lalu kosong. Kulintasi sepi yang menusuk-nusuk tubuhku malam ini. Kuayun langkah dengan airmata bercucuran di pipi. Benarkah kau menyuruhku pergi. Benar, kan, kau tidak sungguh-sungguh mencintaiku. Kau mestinya memanggilku, merengkuh tubuhku dan memintaku menjelaskan lagi kenapa kau harus memanggilku Rembulan. Kau mestinya merayuku agar aku tidak pergi. Apakah karena aku pelacur? Ah, aku bukan pelacur. Aku hanya diperlakukan seperti pelacur. Kau memang tak pernah sungguh-sungguh mencintaiku.

"Sayang, jangan pergi. Aku sungguh mencintaimu."

Kau menyusulku? Ketika aku membalikkan badan, kau langsung mendekapku. "Aku mencintaimu, Rembulan."

Kau memanggilku Rembulan?

Kau tersenyum, mengangguk.

Jika begitu, aku harus pergi.

"Kenapa?"

Karena kau sudah memanggilku Rembulan.

"Lho?"

Karena setiap ingatan pasti menyakitkan. Karena remahan-remahan cahaya bulan selalu seperti sejarah. Berserpih. Berpuing. Ayahku mati. Ibuku mati. Saudara-saudaraku mati. Kau mati. Teman-temanku mati. Tapi perang tak usai-usai. Bencana tak hendak sudah. Bom tetap saja meledak. Biarkan aku pergi. Dan tahukah kau, sayangku, setiap kali aku datang ke tempat ini menemuimu, pemuda-pemuda berndal di simpang sana selalu berbisik satu sama lain, "Lihat, perempuan gila itu datang lagi ke pokok beringin."

Padahal aku hanya ingin menatap rembulan. Ingat, kan, di tempat ini dulu kau berkata bahwa wajahku mirip bulan. Kalau kau mencintaiku, seharusnya kau datang menghajar pemuda-pemuda dan berkata kepada mereka, "Dia Rembulanku." Kau seharusnya membunuh mereka, karena pemuda-pemuda berandal seperti merekalah yang menjarah, membakar dan memperkosaku. Maka biarkan aku pergi.

"Kenapa?"

"!!!"***

Dua Perempuan Sunyi

KETIKA bangun menjelang Subuh, hal yang pertama sekali dilakukannya adalah menanak nasi, mempersiapkan lauk-pauk, lalu menjerang air. Sambil menunggu air mendidih, ia memberesi kamar tidurnya, menyapu rumah, dan mempersiapkan segala sesuatu yang akan dibawanya ke kebun kakao. Ia lalu menyeduh teh, hanya segelas, sebab tiada lagi sesiapa di rumah tua itu selain dirinya.

Kebun Kakao

Sambil menyeruput tehnya sedikit demi sedikit, ia biasanya membaca, sambil menunggu matahari bangkit dari peraduannya. Entah mengapa, membaca baginya lebih terasa sebagai sebuah peruntungan ketimbang ingin mengetahui sesuatu. Peruntungan yang membuat gairah hidupnya selalu bangkit. Peruntungan yang membuat ia selalu berada pada perbatasan antara sunyi dan gembira. Itulah sebabnya, dalam usia yang sudah kepala lima, ia tetap mempertahankan kebiasaan membaca sebagai pengisi waktu luang. Lalu, setelah mentari terbit, dia segera bergegas, pergi ke kebun kakao. Seperti seorang pelajar, ia juga selalu membawa buku ke kebun, yang ditaruhnya di dalam bakul bersama goni dan termos tempat air dan makanan. Setibanya di kebun, segera ia akan berjalan menyusuri kebun kakao itu baris per baris, mengawasi buah demi buah, dan memetik jika ada buah yang menguning. Buah-buah yang matang itu kemudian dipecah, diambil bijinya yang berlendir, dimasukkan ke dalam goni, lalu diangkut ke rumah untuk dijemur sebelum dijual. Begitulah perempuan tua itu selalu bahagia melakukan pekerjaannya dari hari ke hari, seperti tak pernah didera lelah. Kalaupun lelah, ia akan istirahat, minum air secukupnya, lalu membaca, seperti mencari kekuatan baru dari buku yang dibacanya.

Kebun kakao itu sudah berumur puluhan tahun, tidak terlalu luas, hanya sekitar 4000 meter persegi. Ia menanam kakao itu bersama suaminya ketika putri semata wayang mereka baru lahir. Dulu, sewaktu mereka menanam kakao itu, banyak cibiran datang dari tetangga bahwa tindakan mereka kurang bijak, karena kelak kakao tidak akan laku lagi. Pada saat itu, orang-orang memang sedang demam menanam sawit. Tapi, orang-orang kemudian takjub manakala kebun kakao itu mampu membuat hidup mereka menjadi lebih makmur. Bahkan, pada saat putri mereka masih duduk di sekolah dasar, suaminya sudah mampu membeli sepeda motor. Tapi malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, suaminya meninggal karena kecelakaan. Ia diseruduk truk pada saat berkendara, sepulang dari kota belanja pestisida.

Mendadak segala sesuatu menjadi berubah sejak itu. Kemampuannya menyikapi hidup, kiat-kiatnya mengasuh anak, dan kecakapannya bersosialisasi dengan penduduk, sungguh membuat orang-orang merasa takjub dan terkesan. Pada saat suaminya meninggal, orang-orang sangat kuatir apakah ia mampu mengurus rumahtangganya. Sebab ia bukan contoh ibu yang baik. Ia sering menjadi bahan gunjingan karena tidak cakap memasak dan mencuci. Ia juga seringkali dipandang sebagai orang yang tak pandai bergaul, seolah-olah berbaur dengan masyarakat desa adalah sesuatu yang hina. Karena itu, ketika ada orang yang berkata bahwa suaminya mungkin diguna-gunai orang sehingga buta pandangannya ketika berkendara, ia merasa ada benarnya, tapi tidak menganggapnya sebagai kebenaran. Ia hanya berkata, "Aku percaya hidup dan mati hanya ada di tangan Tuhan."

Sebenarnya, ia tidak seburuk yang disangkakan orang. Hanya saja, ia belum terbiasa dengan suasana dan pola hidup desa. Ia memang berasal dari keluarga kaya. Ayahnya punya toko penyalur bahan bangunan, juga beberapa kilang penggilingan padi yang sekaligus berfungsi sebagai distributor beras ke kota-kota kecamatan. Di rumah, ia selalu dilayani dua orang pembantu yang selalu siap memanjakannya. Sebenarnya, orangtuanya sudah sejak awal menentang hubungannya dengan Attar Tua, almarhum suaminya itu. Tapi ia bersikeras bahwa ia tidak salah memilih lelaki itu, sebab ia adalah lelaki pemberani, cerdas, punya kemauan, dan masadepannya memancar gemilang dari setiap lakunya. Mereka saat itu sama-sama sedang kuliah di fakultas hukum, aktif berorganisasi, dan rutin menulis di berbagai media untuk menelanjangi kezaliman penguasa. Ia bertemu dengan Attar Tua sebagai sebuah peruntungan yang mengesankan. Mereka memiliki kesamaan yang membuat mereka selalu bersama. Membaca buku, tidak hanya buku-buku hukum, tetapi juga buku-buku lain seperti ekonomi, filsafat bahkan sastra. Mereka juga senang sekali berbicara tentang dunia hewan dan tumbuhan. Bunga, misalnya, selalu mereka maknai sebagai tanda betapa hidup memiliki banyak warna. Pada saat berbicara tentang hewan dan tetumbuhan itulah Attar Tua selalu bercerita tentang kampungnya yang sunyi, ayah-ibunya yang habis usianya diisap ladang karena setiap hari harus banting tulang, demi menyekolahkannya. Dan itu tidak boleh disia-siakan. Itulah sebabnya ia berusaha menjadi mahasiswa aktif, dan merasa sempurna setelah bertemu dirinya, yang juga seorang perempuan pemberani, meski agak manja. Pada saat mahasiswa rame-rame unjuk rasa melengserkan Soekarno, mereka terlibat aktif sebagai penggerak di kotanya. Tapi, setelah Soekarno lengser, dan Soeharto mengambil alih kekuasaan, mereka melarikan diri ke kampung Attar Tua dan segera menikah. Pelarian itu mereka pilih karena banyak rekan-rekan mereka yang lenyap dalam ‘pembersihan' ala Soeharto. Mereka memang tidak terlibat dalam suatu ideologi tertentu, tapi demi keselamatan, mereka memilih hidup di desa Attar Tua. Ayahnya lalu memberi sedikit uang untuk membeli tanah di desa terisolir itu, dan itulah modal yang kemudian mereka pergunakan untuk menanam kebun kakao.

Burung-burung

Rumah besar itu terdiri dari tiga bagian. Bagian depan adalah ruang praktek, bagian tengah merupakan rumah keluarga, dan bagian belakang terdiri dari gudang dan kebun kecil yang penuh dengan sayur-sayuran. Pemiliknya memang sengaja membuat desain bangunan rumah seperti itu, agar tanah berukuran 10 X 50 meter yang memanjang ke arah belakang itu penuh terisi. Setiap sore, orang-orang selalu ramai di ruang depan, datang untuk berobat. Dr. Hanna Bertha, istri pemilik rumah itu, akan melayani pasien-pasiennya dengan sabar, hangat dan penuh senyum. Sementara suaminya, di salah satu kamar kerja di ruangan tengah, sibuk dengan bunyi tik-tak komputer. Lelaki itu adalah seorang penulis. Dulu, ia bekerja sebagai wartawan, tapi berhenti karena sastra terlalu kuat mencengkeram hati dan pikirannya.

Di ruang belakang, puluhan sangkar burung menggantung di plafon teras gudang. Seperti suara indah dari kehidupan yang lain, kicau merdu burung-burung itu selalu menemani tuannya beraktivitas. Burung-burung dalam sangkar itu adalah sebait ingatan tentang cinta yang dipersembahkan bagi seorang perempuan tua. Semua berawal ketika suatu kali ia pergi ke pasar burung untuk membeli pakan bagi burung yang terdampar lemah di kebun belakang rumahnya. Burung itu mungkin disambar petir, kita harus merawatnya, kata suaminya. Dan ketika berada di pasar burung, ia tertegun mendengar kicau-kicau merdu yang menguar dari beragam burung. Tiba-tiba ia teringat pada sesuatu: ketika ayahnya meninggal, malam sebelumnya ia mendengar burung-burung berkicau di sekitar rumah mereka. Mengingat hal itu, tiba-tiba kepalanya pusing, dan ia jatuh pingsan. Dan inilah yang dilihatnya:

Seorang gadis cilik hidup di rumah sederhana, di sebuah kampung sunyi. Ibunya, seorang diri, berjuang mengayomi dan memberi nafkah baginya. Wanita itu tak pernah marah, selalu ramah. Meski begitu, selalu ia merasa ada yang tidak sempurna dalam diri ibunya. Ibunya masih sering salah ketika mengerjakan banyak hal. Ketika menanak nasi, sering nasi yang ditanaknya kurang matang, atau terlalu lembek. Jika ia menyapu rumah, sering ada bagian-bagian yang tertinggal sehingga debu-debu tetap saja melekat di lantai. Dan jika ia mencuci, noda dan kotoran sering tertinggal di piring dan pakaian. Ia ingat, ketika ayahnya masih hidup, hal seperti itu tidak pernah terjadi. Ayahnya selalu menyertai ibu ketika mengerjakan sesuatu, sehingga tampak selalu sempurna. Tapi, itu tak berlangsung lama. Tiba-tiba saja ibunya berubah menjadi wanita yang gesit, telaten, bersih, rapi dan sempurna mengerjakan segala hal. Dan ia tidak menyangka bahwa ibunya juga akan sanggup bekerja di kebun karena semasa hidup ayah, ibu tak pernah pergi ke kebun. Setiap hari wanita itu bekerja banting tulang, seperti menemukan kekuatan baru dalam setiap pekerjaannya. Dan ia makin bangga pada ibu, karena di tengah-tengah kesibukan yang padat, ibu masih sempat membaca buku-buku. Dan kebiasaan itu kemudian turun kepadanya. Pernah ia membaca novel tentang seorang istri yang menikah lagi setelah ditinggal mati suaminya pada saat anak pertama mereka baru lahir. Lalu, ia bertanya, "Ibu, mengapa Ibu tidak menikah lagi?" Dan ibunya menjawab: "Kelak, ketika kamu sudah punya anak, kamu akan tahu jawabnya."

Bertahun-tahun kemudian, ia menikah. Tapi ia tidak bahagia. Ia punya suami yang tidak pandai menyiasati hidup, tak gesit mencari uang. Oleh sebab itu, dia harus bekerja matian-matian untuk menghidupi rumah tangga. Pagi hari, ia bekerja di sebuah rumah sakit. Dan sore hari, ia membuka praktek di rumahnya. Ia tidak pernah marah pada suaminya, sebab ia paham potensi seseorang. Ia paham bahwa zaman sudah berubah, paham bahwa konsep patriarkal sudah tak berlaku lagi dalam kehidupan rumah tangga. Ia ingin seperti ibunya, berhasil membesarkan, mendidik dan menghantarkan dirinya ke kehidupan yang layak, meski ibu tak punya suami. Tapi ini bukan berarti bahwa ia mencuaikan suaminya. Ia tetap mencintai lelaki itu, menghormatinya, menganggapnya sebagai tuan yang harus dijunjung. Ia paham, apa yang dilakukan suaminya sedikit banyak telah pula membangun kehormatan di tengah-tengah keluarga. Anak-anaknya juga bangga punya ayah seperti suaminya, terlebih-lebih ketika teman-temannya berkata, "Ayah kamu penulis yang sering masuk koran itu, ya? Hebat dong!" Tapi, sesekali ia merasa lelah juga manakala suaminya hanya asyik dengan buku-buku, sampai-sampai untuk memperbaiki toilet yang sumbat, mengoreksi lampu yang rusak, harus dilakukannya sendiri. Seperti sore itu, ia pergi ke pasar burung setelah terlebih dahulu membersihkan kebun. Apakah ia jatuh pingsan karena terlalu lelah? Apakah itu terjadi karena kekaguman mengingat ibu, lalu lemas dan kecewa menerima kenyataan bahwa suaminya hanya duduk di depan komputer? Tapi, ia mencintai lelaki itu, seperti lelaki itu juga mencintainya. Ia paham, suaminya kurang tahu cara mencintai, itulah persoalannya.

Ketika siuman, ia berada di rumah sakit. Suami dan anak-anaknya berada di sampingnya dengan mata sembab. Sejak peristiwa itu, ia mulai suka mengoleksi burung, dan ditaruh di bagian belakang rumahnya.

Pertentangan

Pernah suatu hari ia pulang menjenguk ibu, tanpa ditemani suami dan anak-anaknya. "Hanya kamu seorang?" ibunya bertanya. Ia berkata bahwa ia rindu pada ibu, pada kampung, pada sesuatu yang pernah mereka jalani bersama sebelum suami dan anak-anaknya hadir. "Aku ingin menikmati hal itu bersama ibu," katanya. Mereka kemudian berjalan-jalan ke kebun kakao sambil saling bercerita. Ia berkisah dengan antusias tentang anak-anaknya yang lincah dan gemuk-gemuk., juga tentang suaminya yang tetap seperti dulu.

"Suamimu itu memang baik, tapi tingkahnya seringkali membuat orang-orang tersiksa. Masih suka diam dia?" tanya ibu.

"Masih, Bu. Sekarang malah makin pendiam, susah diajak ngobrol. Tapi ia tidak pernah menyakitiku. Ia tetap baik. Ibu sendiri bagaimana, apa Ibu masih betah hidup di sini?"

"Pasti betah. Kehidupan Ibu memang di sini. Ada apa?"

"Bagaimana kalau Ibu tinggal saja bersama kami di kota ?"

Mendengar itu, ibu tertegun, lalu berkata: "Itu tidak mungkin. Kamu bisa saja membiayai Ibu tanpa kurang suatu apapun, mengurus Ibu, dan memanjakan Ibu dengan segala apa yang kamu miliki. Tapi apa kamu yakin Ibu akan betah di kota? Dengar ya, Ibu juga berasal dari kota. Jika Ibu mau, sudah sejak ayahmu meninggal Ibu pergi ke kota, bersama kakek dan nenekmu yang hingga akhir hayatnya masih tetap jadi orang kota. Tidak, Nak, di desa inilah kehidupan ibu. Desa ini telah menyelamatkan ibu dari kejaran penguasa, meski desa ini jugalah yang merenggut nyawa ayahmu. Di sinilah tersimpan sejarahmu, dan desa inilah tempatmu pulang jika kamu rindu pada sesuatu yang tidak bisa kamu dapatkan di kota."

"Tapi Ibu, aku ingin punya seseorang tempat bicara, menantu Ibu tidak bisa diajak bicara. Aku sepertinya salah pilih, ya, Ibu?"

"Eh, jangan bicara begitu. Dulu, sebelum kamu menikah, kamu kan sudah tahu wataknya. Jadi, kamu harus terima itu. Jangan lupa, ia penerus ayahmu yang juga suka nulis."

"Aku mohon, sudilah Ibu tinggal bersamaku di kota. Aku mungkin tidak sekuat Ibu, bisa hidup tanpa suami. "

"Tidak bisa. Ibu hanya bisa berkata bahwa kamu harus lebih paham apa itu makna cinta. Jika kamu memahaminya dengan benar, kamu pasti bisa menangani segalanya dengan baik. Berjuanglah demi anak-anakmu, bukan untuk suamimu."

Percakapan mereka berhenti sampai di situ, mereka pulang dari kebun kakao dengan saling diam. Baginya, penolakan ibu terasa seperti sebuah pertentangan yang berdebam-debam di dadanya. Satu-satunya hal yang mungkin masih bisa dilakukannya adalah bersabar, belajar, berjuang seperti kata ibu, meski suaminya tak bisa seperti harapannya. Ia sebenarnya tak menuntut apa-apa dari suaminya itu kecuali sikap yang hangat. Tidak lebih.

Kenyataan

Sejarah terus berjalan, bergerak, meski tak selalu baik rupa. Adakah sesuatu yang sempurna di dunia ini? Seperti cuaca yang terkadang pecah, rontok dan lumat ditimpa waktu, hidup juga punya ledakan-ledakan tersendiri dalam perjalanannya. Tak ada kedamaian sebenar dalam hidup ini. Tak ada kehancuran sebenar dalam perjalanan ini. Dan perempuan tua itu tetap menjalani hari-hari di kampungnya yang sunyi, berdamai dengan sejarah yang mengendap di kebun kakao. Dan putrinya, Dr Hanna Bertha, bersetia pada kehidupan yang tak sepenuhnya salah tata. Dan harapan demi harapan selalu menguar dari kicau burung yang melengking-lengking dari belakang rumahnya. Dan itu membuatnya tabah bukan karena ia perempuan, tapi hanya karena cinta.

Diterima Kabar Luka

DITERIMA kabar duka pada 26 Desember 2004: Telah terbang ribuan nyawa, telah hilang berlaksa jiwa, lesap disapu bencana. Mari menundukkan kepala, berdoa untuk jiwa-jiwa yang hilang, juga untuk jiwa-jiwa yang kehilangan. Di sekotah tanah kekasih, kesedihan menggelombang, seperti laut yang mengamuk. Di sekujur negeri kesayangan, hati menggeletar, seperti ledakan gempa.

Didengar dan disaksikan kabar duka lewat televisi, radio, koran, pembicaraan mulut ke mulut, dan ratusan juta penghuni bumi menangis, mencucurkan luka dari setiap dada yang menggelepar diaduk kesedihan.

Seorang perempuan muda menangis ketika menonton televisi. "Mengerikan, ini mengerikan sekali. Hentikan... berhentilah mempertontonkan luka ini," isaknya entah kepada siapa, memukul-memukul kepalanya dengan kepalan tangan yang begetar. Tapi televisi makin buas menyodorkan airmata, tangisan, jeritan, mayat, serpih-serpih kehancuran. Hati perempuan itu remuk, lumat. Ia tak tahan. Ia mengerang sambil berlari ke belakang rumah, mengambil balok kayu, lalu menghantam layar televisi dengan sangat keras. "Braak..." Televisi hancur. "Tak pantas luka ini dipertontonkan," katanya dengan suara yang tersiksa. Perempuan muda itu tiba-tiba menjadi benci pada televisi, juga orang-orang yang muncul dan berlintasan di dalamnya.

Tetapi, untuk bisa terus-menerus memantau perkembangan duka, perempuan itu harus mengikuti berita. Maka ia beralih ke surat kabar. Ia membaca surat kabar dengan airmata bercucuran. Ia membaca surat kabar dengan tangan dan tubuh bergetar. Ia membaca surat kabar dengan hati yang terhantam. "Bangsat," perempuan itu berteriak, "Ini bukan berita duka. Ini tulisan sensasional." Ia mencabik-cabik surat kabar hingga menjadi serpihan-serpihan kecil dan menghamburkannya ke selokan di depan rumahnya. "Enyahlah kalian, wahai iblis-iblis laknat. Tak pantas luka dikomodifikasi untuk meraup keuntungan." Perempuan itu benci pada surat kabar, juga orang-orang yang sedang bertukang di dalamnya.

Diterima dan disaksikan kabar duka yang menggeletar dari menit ke menit, menguras airmata. Perempuan muda itu terus-menerus mengamati perkembangan luka. Ia mendengarkan radio. Setiap berita yang dihadirkan selalu disimaknya dengan penuh khusyuk, seperti sedang berdoa untuk jiwa-jiwa yang hilang, juga bagi jiwa-jiwa yang kehilangan. Tapi, lagi-lagi amarahnya meledak. "Bedebah," katanya seraya membanting radio ke lantai, "Kalian kira orang-orang senang mendengar suara kalian pada saat-saat sedih seperti sekarang." Perempuan itu merasa, pembaca berita hanya tampil untuk menonjol-nonjolkan suranya yang bagus, mendayu-dayu di antara jeda kata, tanpa sedikit pun menguarkan suasana sedih. Ia benci radio dan suara-suara yang melacurkan diri di dalamnya.

Diterima kabar duka yang beredar meremuk jiwa. Perempuan itu turun ke jalan-jalan, berbicara dan mengajak orang-orang menangis. Ia meneriakkan puisi-puisi keprihatinan, menyenandungkan tembang-tembang ngilu, menerbangkan ratapan ke angkasa, agar burung-burung mendengar, agar kupu-kupu menangis. "Mari, Saudara-saudara," ratap perempuan itu, "Kita berikan apa yang bisa kita berikan. Kita kuatkan saudara-saudara kita."

Tapi ia menemukan hanya sedikit saja orang yang bersedih. Hanya beberapa gelintir yang benar-benar prihatin. Selebihnya adalah sosok-sosok yang terperangah, takjub dan terhibur menyaksikan perkembangan duka.

"Dasyat," kata seseorang ketika melihat rekaman luka di sebuah televisi. Ombak bergulung dari dari arah laut, menghempas dan menerjang-nerjang, kota-kota di sepanjang pantai ambruk.

"Luar biasa," kata yang lain menyaksikan ribuan mayat teronggok.

"Ini baru seru, akan tercatat sebagai rekor terdasyat dalam sejarah."

"Tontonan yang sangat menarik."

"Tuhan memang luar biasa."

"Tuhan murka."

Dan telinga perempuan itu serasa ingin meledak ketika mendengar ucapan-ucapan itu berdentam. Ia tidak melihat garis kesedihan mencuat pada wajah-wajah. Ia tidak melihat airmata duka mengalir dari mata mereka. Dan ketika perempuan itu singgah di lepau, kedai kopi, dan warung-warung, ia mendengar lelaki-lelaki kuli, pemabuk dan para penjudi sedang ribut mempersoalkan angka berapa kira-kira yang diisyaratkan peristiwa itu. Mereka akan menukarnya dengan kupon-kupon togel. "Anjing kalian," kata perempuan mencopoti seluruh pakaiannya, dan menari-nari. Para lelaki kuli, pemabuk dan penjudi itu berlarian, hambur seperti diterjang gelombang.

Diterima dan disaksikan kabar duka pada 26 Desember 2004. Perempuan itu terus-menerus mengurai tangis, seperti tak akan habis air hati dari matanya. Seperti tak akan lelah jiwa dan rongga dadanya meratap. Dari hari ke hari ia tak berhenti merintih, melantunkan puisi-puisi pilu, mendendangkan tembang-tembang ngilu.

Dan, setelah beberapa hari meratap seperti orang gila, perempuan itu akhirnya bunuh diri, tepat pada pukul 00.00 penghujung tahun. "Selamat tinggal, saudara-saudara, aku akan pergi menemui luka."

Orang memakamkan jenazahnya dengan segudang ucapan.

"Darahnya bukan Aceh, tapi ia telah gila dan bunuh diri karena tak tahan menyaksikan duka Aceh," kata seseorang terbata-bata.

"Duka ini duka kita semua."

"Dia gadis cantik yang masih muda. Orang berjiwa seperti dia sangat dibutuhkan untuk menata negeri ini di masa depan. Sayang sekali dia meninggal."

"Rasa kebersamaanya luar biasa hebat, patut kita panjatkan hormat kepadanya."

"Ah, kenapa dia selemah itu. Harusnya dia lebih kuat," kata seseorang dengan ketus.

"Memangnya kenapa?" Seseorang yang lain bertanya.

"Lucu aja. Orang yang kehilangan seluruh keluarganya aja bisa tabah, nggak gila dan bunuh diri kayak dia."

Diterima dan disaksikan kabar duka yang menyebar meremuk jiwa. Dan, tiada seorang pun yang tahu mengapa perempuan itu gila lalu bunuh diri. Yah, tiada seorangpun yang tahu sebusuk apa nanah luka di dada perempuan itu, tiada seorang pun yang tahu, kecuali aku. Dan aku, aku tidak sanggup mengisahkannya kepadamu. Tapi karena telah kita terima kabar duka yang menyayat jiwa, aku ingin menghiburmu, ingin menghibur diriku dengan berkisah tentang perempuan lain, perempuan yang kukasihi. Mengapa harus perempuan lain? Mengapa tidak perempuan itu? Sesuka hatimulah, kau boleh menuduhku gila. Aku sedang sedih.

Umi nama kekasihku itu. Ia tidak memiliki ayah, tidak memiliki ibu, tidak memiliki saudara. Ayahnya mati sebagai salah satu korban DOM. Ibunya mati digerogoti kesedihan, tak tahan membayangkan kepala suaminya pecah diberondong peluru. Adiknya, adik lelakinya yang manis, tewas pada suatu hari di gedung sekolahnya yang terbakar. Pagi menjelang siang itu, gerombolan tentara tiba-tiba diserang pasukan tak dikenal. Tembak-menembak terjadi dengan sangat mengerikan. Beberapa aparat pemerintah tewas dan berakhir di tempat. Komandan regu murka, ia perintahkan anak buahnya membakar desa, menghancurkan segala yang ada dengan alasan bahwa penduduk setempat telah memberi tempat bagi para pemberontak. Penduduk desa kocar-kacir. Banyak yang tewas dihantam peluru dan hanya beberapa yang selamat, dan salah satunya adalah Umi. Seusai insiden, ia menguburkan mayat adiknya di belakang rumah, lalu pergi ke tempat yang jauh.

"Aku datang ke kota ini karena di sini aku punya seorang paman," katanya kepadaku. Ia menangis waktu itu. "Sekarang sudah kau tahu, aku tidak lagi memiliki siapa-siapa di dunia ini kecuali pamanku. Jadi, tentang sikapku yang sangat pendiam dan selalu murung, jangan kau tanyakan lagi. Sekarang, kau sudah tahu alasannya. Dan ingat, aku tidak pernah bisa sanggup menceritakan hal ini kepada siapapun. Aku tidak pernah sanggup," katanya terbata-bata, dan airmata mulai menetes dipipinya, "Aku menceritakannya kepadamu karena aku mencintaimu. Kau telah membuatku kuat."

Sejak menceritakan itu, Umi mulai bisa tertawa, bergaul dengan teman-temannya secara lebih wajar. Ia ternyata sangat menyenangkan. Tawanya renyah. Tingkahnya lucu. Aku bahagia melihat perubahannya. Tapi, aku juga menjadi sering kesal karena waktunya semakin berkurang kepadaku. Aku seperti kehilangan sesuatu yang sangat kusuka dari dirinya. Yah, terus terang, aku jatuh cinta kepadanya karena prilakunya yang aneh. Pada saat pertama kali ia tiba di kota ini, aku sering melihatnya merenung pada pagi hari di serambi rumah pamannya. Lalu, seperti takjub pada biru langit, ia seringkali berlama-lama memandang langit, tengadah dengan wajah tersenyum. Dan pada senja hari, ia melakukan hal sama. Sesekali ia juga menyanyikan lagu-lagu sedih dengan suaranya yang sangat merdu. Aku mengira ia gila pada awalnya, tapi setelah suatu kali aku menyapanya dan ia menjawab dengan sangat sopan, aku tahu bahwa ia adalah gadis yang tak biasa. Aku jatuh hati kepadanya. Sejak itu, aku mulai sering berkunjung ke rumah itu, yang jaraknya memang tidak terlalu jauh dari rumah kami. Pamannya sangat senang dan suatu kali berkata kepadaku, "Nak, kehadiranmu membuatnya lebih bahagia."

Tak berapa lama kemudian, ia masuk ke sebuah akedemi perawat. Bagaimanapun, kata pamannya, ia harus mempersiapkan masa depannya. "Saya sudah tua, sebentar lagi akan pensiun. Kelak, dengan bekal ilmu yang diperolehnya, ia bisa menata dan mempersiapkan hidupnya," kata pamannya waktu itu.

Dan setahun yang lalu pamannya benar-benar pensiun. Dan pada suatu malam aku diundang pamannya ke rumah mereka. "Nak, saya sudah pensiun. Kami sekeluarga punya rencana untuk kembali ke Banda Aceh," kata pamannya memulai, "Nanti setelah kau tua, kau akan tahu bahwa usia uzur seringkali membuat kita rindu pada kampung halaman. Saya dan keluarga mungkin akan lebih merasa damai jika tinggal di sana. Lagipula, anakku satu-satunya itu sudah berada di sana sejak beberapa tahun yang lalu. Seperti kau tahu, aku bersyukur sekali atas pilihannya menjadi seorang pendidik di sana. Jadi, karena Umi belum selesai kuliahnya, kutitipkan ia padamu. Ia akan tetap tinggal di rumah ini. Kelak, jika ia memutuskan kembali ke Aceh, rumah ini kami jual. Tapi jika tidak, biarlah rumah ini untuknya."

Pada saat itu aku bergetar menyadari kebaikan hati pamannya. Dan ketika mereka berangkat, aku menangis dan tiba-tiba menjadi sadar bahwa aku sudah sejak lama menjadi bagian keluarga itu. Aku benar-benar menangis.

Dan kini, diterima dan disaksikan kabar duka yang bergetar meremuk jiwa. Seorang perempuan muda meratap berhari-hari dan akhirnya bunuh diri tepat pada detik-detik pergantian tahun. Perempuan muda itu adalah Umi, kekasihku.

Diterima dan disaksikan kabar duka yang menyebar menyiksa jiwa. Aku ingin bunuh diri.

Surat dari Kekasih

AKU berada di rumah sakit untuk menjaga ibu mertuaku yang sedang dirawat inap selama beberapa hari. Sakit yang dideritanya sebetulnya tidak terlalu parah, hanya penyakit-penyakit ringan yang sudah lazim menimpa orang-orang tua.

Tapi, Attar Brozova, suamiku, bersikeras menginapkan emak yang sangat dicintainya itu di rumah sakit. Katanya, agar aku tidak terlalu repot mengurusinya mengingat pekerjaan rumah saja sudah menumpuk dan setiap saat harus selalu dibereskan. Di satu sisi, apa yang dikatakan suamiku itu memang benar, tapi di lain sisi, itu justru membuatku semakin repot karena aku harus bolak-balik antara rumah dan rumah sakit, antara mengurus ibu mertua dan mengurus rumah dan anak-anak.

Dan malam itu, setelah pada sore harinya ada telepon dari rumah sakit yang memberitahu bahwa kondisi kesehatan ibu mertuaku semakin parah, aku harus berada di rumah sakit untuk menjaganya. Suamiku kebetulan tidak bisa ikut. Ada urusan yang harus diselesaikannya berkaitan dengan pekerjaan kantor.

Untuk menyelamatkan diri dari serbuan jengah, aku keluar dari ruangan di mana ibu mertuaku dirawat, pada saat beliau tertidur, tentu saja. Aku duduk di sebuah bangku yang khusus disediakan bagi para pembesuk. Sekilas kuamati orang-orang yang lalu-lalang dengan wajah-wajah cemas, sedih, putus asa, dan menjadi sadar: alangkah aneh rumah sakit. Di situ, keriangan hidup benar-benar terampas.

Tak jauh dari tempatku, duduk juga dua wanita cantik yang tampak sedang asyik mengobrol. Mereka agaknya terlibat dalam suatu pembicaraan menyenangkan, tapi tawa yang sesekali meledak dari mulut mereka, sungguh membuatku sedikit tidak nyaman. Apakah gerangan ihwal yang bersarang di otak mereka sehingga di rumah sakitpun masih bisa cekikikan? Apakah mereka ke rumah sakit tidak untuk membesuk keluarga atau teman yang sakit?

Aku mendadak kehilangan rasa hormat kepada dua wanita itu. Tapi, entah mengapa, aku justru merasa tergoda untuk mengamati tingkah dan pemampilan mereka, dan berusaha sebisa mungkin menguping pada apa-apa yang mereka bicarakan. Seorang dari mereka, duduk di sebelah kiri arahku memandang, memiliki rambut panjang, hidung mancung, ada kacamata bertengger di atas hidungnya dan matanya yang angkuh tampak lebih teduh di balik kacamata itu. Yang seorang lagi tampak sangat anggun dengan rambut sebahu yang dipotong dan disisir rapi, dagunya sedikit lancip, berleher jenjang. Mereka berdua sama-sama berkulit putih, belum ada kerut-merut dikulitnya, memiliki payudara besar dan masih membusung, perut langsing dan wajah mereka berseri-seri seperti tak ada marabahaya dan kesedihan-kesedihan yang berusaha merusak wajah itu. Diam-diam aku merasa iri. Aku tidak lagi secantik mereka. Perutku sudah penuh dengan lipatan-lipatan lemak. Pada wajahku sudah mulai bermunculan bintik-bintik hitam yang menyebalkan. Dan, orang-orang berkata bahwa mereka sudah tidak bisa lagi menemukan kecantikanku yang berdelau pada saat masih muda. Ah, aku jadi benci pada dua wanita itu. Tapi tidak. Perasaan buruk itu tidak boleh kubiarkan melilit jiwaku. Maka, sambil berusaha menata perasaan-perasaan kurang ajar, aku mencoba mendengar apa-apa yang mereka bicarakan.

"Kerja di mana?" pemilik rambut panjang bertanya.

"Di bank. Kamu tahu, aku senang sekali dengan pekerjaan itu. Selain memang sesuai dengan latar belakang pendidikan yang kumiliki, bekerja di bank sudah menjadi impianku sejak kecil," sahut pemilik dagu lancip dengan kebanggaan yang berlebihan.

"Oh, begitu ya," kata si empunya hidung mancung takjub, lalu bertanya lagi, "Kuliah di mana dulu?"

"Di Universitas Diponegoro, di Semarang."

"Angkatan berapa?"

"Sembilan dua."

"Wow, kebetulan banget. Kamu kenal dong sama Jonggi Monakov?"

"Oh, kenal. Kenal sekali. Dia teman baikku sewaktu kuliah. Asyik tuh berteman dengan dia. Orangnya santun, ramah, cerdas dan suka ngeguyon. Dia juga tampan. Kamu kok bisa kenal sama dia?"

"Dia teman SMA-ku. Kami sangat akrab dan aku selalu yakin bahwa dialah satu-satunya lelaki paling baik yang pernah kutemui. Dia sangat penyayang sih, sangat perasa. Sesudah dia kuliah, kami masih terus bersahabat lewat surat dan email. Waktu itu aku kuliah di Medan.

"Tapi..." kata kedua wanita itu serentak, tapi segera diambil alih oleh pemilik hidung mancung, "Dia sekarang di penjara. Dia membunuh istrinya."

"Yah, aku tahu. Aku sedih sekali mendengar kabar itu."

Lalu, kedua perempuan itu terdiam. Ada kesedihan yang menguar dari wajah mereka. Dan, dengan langkah getir, aku meninggalkan mereka dan kembali ke ruangan dimana ibu mertuaku dirawat. Tapi, pada saat kusadari pikiranku sangat tersita oleh dua perempuan itu, aku tiba-tiba merasa seperti mengenal mereka, seperti pernah bertemu dengan mereka. Tapi dimana? Ah, persetan dengan mereka. Aku justru terkenang pada Jonggi, lelaki yang baru saja mereka bicarakan. Lelaki itu adalah bekas kekasihku. Aku pernah mencintainya dengan gila. Dia pernah mencintaiku secara membabi-buta. Tapi jika ingat penyimpangannya, ah...

Keesokan harinya, segera setelah tiba di rumah, kubuka kembali album-album lama yang menyimpan foto-foto keluarga, teman-teman, dan Jonggi. Dan benar, dua wanita yang kutemui di rumah sakit itu adalah Miralev dan Yola. Di album itu masih tersisa beberapa lembar foto mereka. Meski telah banyak yang berubah dalam hal penampilan, tapi wajah mereka tidak jauh berubah.

Dulu, Jonggi seringkali bercerita tentang dua perempuan ini kepadaku karena, katanya, ia ingin jujur tentang masalalunya. Ia tidak ingin aku kecewa jika kelak mengetahui bahwa ia telah memiliki banyak gadis yang dipacarinya jauh hari sebelum bertemu aku. Dan, kejujuran itulah yang membuatku percaya bahwa ia lelaki yang baik. Sering memang aku merasa cemburu jika kuminta padanya untuk membakar saja foto-foto itu, tapi ia selalu berkata bahwa tidak baik membakar foto orang lain. Hal itu bisa membuat kita mengalami kesialan-kesialan dan sebaliknya, menjaga potret orang bahkan yang kita benci, bisa membawa suatu keberuntungan di setiap hal yang kita lakukan. Aku tidak mau berdebat. Meskipun pendapatnya itu terasa sangat konyol, aku berusaha menerimanya, menghargainya sebagai tanda bahwa Jonggi memang baik. Tapi, aku ternyata salah. Ia justru pergi dan menikah dengan perempuan lain, perempuan yang kini telah mati di tangannya, dan kini ia harus membayarnya dengan derita panjang. Aku sebetulnya masih merasa cinta pada Jonggi, dan aku sempat hampir pingsan ketika berita buruk yang menimpa dirinya kudengar dari berita kriminal di salah satu televisi. Dan, pertemuanku dengan dua perempuan itu, sungguh membuatku merasa rindu pada Jonggi. Haruskah aku menemuinya ke penjara?

Tapi, mengapa kedua wanita itu tidak saling mengaku bahwa mereka adalah mantan pacar Jonggi. Malukah mereka disebut pernah pacaran dengan seorang yang kini meringkuk di penjara? Benarlah apa yang dikatakan Jonggi: Miralev dan Yola bukan perempuan yang baik. Pantas saja Jonggi meninggalkan mereka dan jatuh kepelukanku sebelum akhirnya hancur setelah menikah dan membunuh istrinya.

***

AKU berada di rumah sakit untuk menjaga adik iparku yang harus di rawat inap selama beberpa hari. Ulinya, adik iparku itu, baru saja menjalani operasi pengangkatan usus buntu. Karena bosan berada di ruangan, aku keluar dan duduk-duduk di sebuah bangku yang disediakan khusus bagi para pembesuk. Aku merenung tentang perjalanan hidupku yang getir. Meski secara materi suamiku bisa menghidupiku lebih dari cukup, tapi bathinku selalu tersiksa. Hingga kini, dalam usia pernikahan kami yang sudah berlangsung lima tahun, kami belum juga memiliki anak. Aku benar-benar menderita, kesepian dan sering mengutuk diri mengapa pada waktu muda dulu aku sering kali melakukan perbuatan-perbuatan najis. Ini mungkin kutukan, hukuman yang diberikan Tuhan atas dosa-dosaku.

Untunglah perasaan sedih itu tiba-tiba terhenti karena kehadiran seorang perempuan dan langsung duduk di sebelahku. Perempuan itu mungkin masih sebaya dengan aku. Dia sangat cantik. Kami lalu berkenalan, saling mengobrol. Dia bernama Miralev, sangat menyenangkan, suka bercerita, dan gampang tertawa. Beban yang menghimpit dadaku terasa sedikit longgar. Setelah pembicaraan melompat-lompat dari satu hal ke lain hal, kami lalu masuk pada pembicaraan yang lebih serius. Aku bertanya dimana dia bekerja, dan pertanyaan itu menyeret kami pada suatu peristiwa kebetulan. Dia berkata bahwa dia bekerja di sebuah bank, sebuah pekerjaan yang memang sudah dicita-citakannya sejak kecil, dan itu sangat sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Dia tamat dari sebuah universitas di Jawa Tengah. Aku kaget. Di universitas itulah dulu Jonggi Monakov menuntut ilmu. Ketika kutanya, dia berkata bahwa dia mengenal Jonggi dengan sangat baik. Dia bahkan memuji-muji mantan pacarku itu agak berlebihan. Dia lalu bertanya bagaimana aku bisa mengenal Jonggi. Kukatakan, Jonggi adalah teman baikku sewaktu SMA, tapi aku tidak memberitahu bahwa Jonggi adalah mantan pacarku. Aku malu jika harus mengaku pernah berpacaran dengan seorang pembunuh. Biarlah kuakui ia sebagai teman dan itu cukup membanggakan karena pada saat itu, Jonggi masih lelaki yang gagah dan selalu menjadi idaman gadis-gadis. Kalaupun saat ini hidupnya hancur, itu barangkali karena hidup tak selalu menguntungkan dan aku tidak lagi menjadi bagian dari hidupnya yang sial itu.

Tapi, pembicaraanku dengan Miralev tiba-tiba sedikit terganggu karena mataku tertumbuk pada seorang perempuan yang duduk di bangku lain tak jauh dari tempat kami. Perempuan itu barangkali sudah duduk sejak lama di tempat itu. Dan rasa-rasanya aku seperti pernah bertemu dengan perempuan itu, seperti mengenalnya. Dan, ya, setelah berusaha mengingat-ingat, akhirnya kutahu bahwa perempuan itu adalah Maryanka. Dia adalah mantan pacar Jonggi, sebelum aku.

Dulu, Jonggi seringkali bercerita tentang perempuan itu dan berkali-kali menunjukkan fotonya kepadaku. Jonggi bilang, ia sangat menghargaiku sebagai seorang kekasih. Oleh karena itu, sifatnya yang suka menunjukkan foto perempuan itu adalah sebentuk kejujuran bahwa ia pernah berpacaran dengan perempuan lain dan itulah caranya membuatku yakin bahwa akulah perempuan terakhir baginya. Tapi, aku menaruh dendam yang dalam pada perempuan itu, sebab dengan alasan yang terlalu dibuat-buat, Jonggi selalu berusaha menolak jika aku menyuruhnya membakar foto itu. Dan benar, Jonggi memang pembohong. Dia malah menikah dengan perempuan lain. Tapi sayang, istrinya meninggal di tangannya.

Tapi, urusanku dengan Maryanka belum selesai. Maka, ketika aku berkata kepada Miralev bahwa Jonggi berada di penjara, sengaja kukeraskan volume suaraku agar perempuan itu bisa mendengar, agar dia tahu bahwa mantan kekasihnya adalah orang bejat.

***

RUMAH sakit selalu menjadi tempat yang sangat memuakkan bagiku. Aku selalu merasa mual jika berada di rumah sakit. Tapi, malam itu aku harus berada di rumah sakit untuk menjaga adik lelakiku yang sedang dirawat karena kecelakaan. Adik lelakiku itu memang sangat nakal, sering ugal-ugalan jika sedang berkendara di jalan raya, dan akibatnya, ia bertabrakan dengan sebuah truk. Untung nyawanya masih selamat. Dulu, adik lelakiku itu pernah kecanduan obat. Dan, setelah berhasil terbebas dari bubuk setan itu melalui proses yang sangat panjang, aku dan suamiku selalu berusaha memenuhi setiap keinginannya asalkan dia tidak kembali lagi mengkonsumsi narkoba. Dia minta dibelikan sepeda motor, kami memenuhinya. Tapi sejak itu, dia malah ugal-ugalan di jalan, acap melakukan balapan liar bersama teman-temannya dan terakhir kuketahui dia malah sudah mabuk-mabukan lagi dengan menenggak alkohol. Dia benar-benar membuatku pusing.

Malam itu, karena sudah tak tahan berada di ruangan dimana adik lelakiku dirawat, aku keluar untuk menghirup udara segar. Aku duduk pada sebuah bangku dan di situ telah duduk juga seorang perempuan cantik, seusiaku. Kami berkenalan. Kebetulan sekali, dari pembicaraan kami yang entah kenapa bisa berlangsung dengan sangat lancar, terungkap bahwa ada ikatan persahabatan tak langsung antara aku dan perempuan. Dia ternyata sangat akrab dengan Jonggi Monakov, pacarku sewaktu kuliah. Perempuan bernama Yola itu berkata bahwa Jonggi adalah teman baiknya sewaktu SMA. Peristiwa kebetulan itu tentu saja membuat kami semakin akrab.

Aku sebetulnya ingin sekali berkata bahwa Jonggi adalah mantan kekasihku. Tapi, karena tiba-tiba aku melihat seorang perempuan yang juga sedang duduk-duduk tak jauh dari tempat kami, kuurungkan niat itu. Masalahnya, aku sangat kenal pada perempuan itu. Dia bernama Maryanka. Aku pernah beberapa kali bertemu dengan dia. Jonggi seringkali bercerita tentang perempuan ini kepadaku. Dia adalah mantan pacarnya. Jonggi memang begitu, selalu jujur tentang perempuan-perempuan masalalunya. Dan, setiap kali ia selesai menceritakan perempuan-permpuannya, ia selalu mengatakan kalimat yang membuatku nyaman, "Kamu adalah perempuan terakhir bagiku." Dari sekian banyak perempuan yang pernah dipacarinya, katanya, aku merupakan perempuan terbaik. Tapi, Jonggi justru menikah dengan perempuan lain. Perempuan yang kini telah mati dibunuhnya.

Dulu, aku selalu ingin berkenalan dan berbagi cerita dengan Maryanka, tapi hal itu tidak pernah bisa terjadi. Setiap kali kami bertemu di jalan, di mal, atau di mana saja, Jonggi selalu mengajakku mengelak agar dia tidak sempat melihat kami. Kata Jonggi , ia tidak ingin membuat perempuan itu lebih terluka.

Aku sebetulnya masih mencintai Jonggi hingga saat ini. Aku seringkali berpikir untuk mengunjunginya di penjara. Tapi itu tidak mungkin. Aku sudah mempunyai dua anak yang lucu-lucu dan memberiku kebahagiaan yang dasyat. Suamiku juga sangat baik. Apa yang kuterima saat ini adalah anugerah luar biasa. Suamiku tidak pernah menyakitiku meskipun sejak awal-awal pernikahan kami dia sudah tahu bahwa aku tidak gadis lagi.

***

TUAH, itulah kisah yang dituturkan tiga sahabat kepadaku. Mereka bercerita dengan penuh kesedihan, disertai isak, seolah-olah ingatan akan peristiwa itu adalah bahaya tak tertanggungkan. Dari cerita itu kamu sudah bisa mereka-reka betapa cinta ketiga sahabatku itu pada Jonggi. Cinta yang sangat pelik, sama rumitnya seperti cintaku padamu yang tak pernah bisa kupahami. Dan, meskipun kerap dihantui rasa bersalah yang akut, aku tetap merasa bangga karena hingga kini aku masih tetap menjaga rapi rahasia itu dan tidak membeberkan kepada mereka bahwa sebetulnya Jonggi memacari mereka sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Aku juga mengenal Jonggi. Dia adalah rekan kerjaku di kantor tempatku bekerja, sekarang. Dulu, sebelum Jonggi masuk bui, mereka bertiga pernah datang ke kantor kami dan sejak itulah aku berkenalan dan menjadi bersahabat dengan mereka. Bahkan, akulah yang dimintai tolong oleh Jonggi untuk mengatur jadwal pertemuan mereka dan mengaturnya sedemikian rupa agar tidak bertabrakan jika sesekali mereka ingin bertemu dengan Jonggi.

Sungguh, aku merasa bangga bisa menjaga dengan rapi rahasia itu. Aku tidak ingin melukai mereka, tidak ingin membuat mereka benci pada Jonggi. Kasihan Jonggi jika harus dibenci oleh kekasih-kekasihnya apalagi pada saat remuk seperti sekarang ini. Dan, tahukah kamu kenyataan pedih di balik semua itu?

Suatu hal yang mengerikan memang, Tuah. Tapi, kamu harus tahu karena kisah itulah yang menjadi sedikit jawaban mengapa aku selalu menolak menikah denganmu, dan kini malah pergi meninggalkanmu.

Ingatkah kamu setiap kali kita bercumbu, aku selalu berusaha meringkusmu, dan tanpa sadar, aku selalu mencakar punggung dan lehermu. Sungguh, pada saat kita bercinta, aku ingin kamu menamparku, menjambak rambut, bahkan bila mungkin mancambuk, menendang dan mencakari tubuhku.

Apa yang terjadi pada ketiga sahabatku itu adalah hal yang sebaliknya. Sayang sekali, memang, mereka bertiga adalah orang-orang yang tidak terlalu peduli pada moral. Selama berpacaran, ketiga sahabatku itu sudah kenyang dengan pengalaman-pengalaman seksual bersama Jonggi, dan selama itu pulalah mereka mengalami penderitaan. Sebagaimana yang mereka tuturkan, setiap kali bercinta, Jonggi selalu menampar wajah, menjambak rambut, menghantukkan kepala mereka ke dinding kamar, juga kekerasan-kekerasan lainnya.

Ketika Jonggi berkhianat, ada memang rasa senang dan lega yang menyusup ke dalam dada mereka karena terbebas dari monster jahat. Tapi, ketika perasaan cinta bersuara dan bergetar dengan lebih kencang, mereka sedih, menangis, dan ingin sekali membebaskan Jonggi dari penyakitnya itu.

Tapi syukurlah, atas anjuranku, lambat laun mereka mulai sadar akan posisi mereka dan tidak lagi pernah menemui Jonggi. Bahkan, ketika kabar tentang pembunuhan yang dilakukan Jonggi pada istrinya menyebar, tak satupun dari mereka yang panik dan tetap mencoba bersikap tenang, meski kutahu mereka sangat terluka. Tapi sejak peristiwa di rumah sakit itu, mereka bertiga kembali memikirkan Jonggi dan seringkali berpikir untuk mengunjungi Jonggi di penjara.

Tuah, aku percaya, Jonggi tidak bermaksud membunuh istrinya. Ia melakukan itu karena cinta. Penyimpangan seksual yang dideritanya itu mungkin tidak pernah dianggapnya sebagai sebuah kekerasan, tapi dilakukannya sebagai bentuk ungkapan cinta terdalam.

Sekarang, aku ingin bertanya sama kamu, mungkinkah kita menikah karena aku juga mengidap penyakit yang sama. Sekarang, aku telah memutuskan langkah apa yang harus kutempuh. Aku mungkin akan berusaha mencari suami seperti Jonggi. Kupikir, jika sadis bersatu dengan masokhis, akan ada pengertian yang melebihi cinta antara mereka dan itu tidak akan pernah bisa menyebabkan kematian seperti yang terjadi pada istri Jonggi.

Dan, anggaplah sekarang ini adalah saat-saat di mana aku harus pergi, melenggang dengan sangat sedih karena harus meninggalkanmu. Jangan pernah lagi bertanya pada perenungan-perenunganmu mengapa aku pergi. Pada saat terakhir seperti sekarang ini, aku hanya bisa memberimu jawaban: aku pergi meninggalkanmu karena aku terlalu mencintaimu. Salam.

***

TUAH melipat kembali sepucuk surat yang diterimanya siang tadi. Dada lelaki itu bergemuruh, sesak seperti dilanda badai gurun, tubuhnya lemas, dan ia longsor di akhir penantian yang tragis. Ketika matanya banjir, ia mengenang saat kekasihnya itu pergi meninggalkannya beberapa tahun yang lalu, tanpa pesan. Kini, ia harus bersiap untuk berdamai dengan kesedihan dan kesepiannya.

Lelaki Kunang Kunang

Suatu dini hari. Kelam melebarkan sayapnya. Merangkul jagad. Inilah saat yang benar-benar mengerikan, bagian dari waktu yang memiliki kekuatan penuh menerjemahkan tarin hening yang menggigit. Setiap tempat yang dikepung kelam adalah bentangan ketidaktahuan manusia atas sepenggal usianya yang diringkus oleh raksasa berwarna gelap. Pada saat seperti ini hening melingkup segala. Lindap. Tak ada suara yang kita kenal ada pada saat matahari ada. Tapi, bagi mereka yang melukis telinga kesunyian di dalam jiwanya, akan terdengar semut malam bernyanyi, melantun liris seperti desah angin yang tergesek pada daun-daun. Akan terdengar bagi mereka yang mencintai keheningan, bahwa malam lebih bernyawa mendesahkan suara-suara gaib, suara-suara yang menggema dari jantung sepi, bunyi-bunyian yang lebih merdu dan nadanya berirama seperti sajak yang berdentingan dari nafas Tuhan.Dari langit yang jauh, pada saat kelam mengepung itu, terlihat rumah-rumah terhampar acak pada suatu wilayah di kejauhan di bawah. Rumah-rumah itu tampak sepert serakan batu kerikil berwarna hitam di suatu tanah lapang. Adakalanya rumah-rumah itu juga tampak seperti butir-butir mutiara yang berkilauan, sebab dari setiap rumah memancar cahaya lampu serambi yang sengaja tidak dipadamkan pada malam hari. Tapi jika perhatian lebih seksama ditujukan pada atapnya, maka ruma-rumah itu tampak seperti pemandangan aneh menyerupai sisik kasar manusia tua yang berteriak-teriak memanggil maut, berseru-seru agar nyawanya dicabut. Manusia yang sudah bersisik kasar selalu memang merasa nyawanya tiada lagi berarti sehingga mereka sering berharap lekas-lekas mati.

Jalan, lorng dan setiap gang yang membelah dan memilah setiap rumah dikejauhan dibawah itu tampak seperti garis-garis resah di atas sebuah peta negeri yang sekarat. Di atasnya, sesekali motor dan mobil melintas seperti tak peduli pada malam yang sesungguhnya amat berbahaya bagi mereka yang takut pada kegelapan. Dan, cahaya yang berhamburan dari lampu-lampu kendaraan itu melesat seperti kunang-kunang ajaib. Kunang-kunang semacam itu diutus untuk tidak pernah dilihat manusia kecuali mereka yang gemar menantang malam. Ia selalu terbang pada malam hari, pada saat makhluk-makhluk lain tertidur pulas merangkai mimpi dari rasa lelah yang dibaringkan di atas ranjang. Dan kini, kunang-kunang itu muncu dari sebuah tempat yang gelap di ketinggian. Ia terbang menukik agak lambat menuju rumah-rumah yang terhampar di bawah. Ia terbang berkitar-kitar hendak memilih rumah mana yang akan dikunjunginya. Setelah agak lama terbang berputar-putar, kunang-kunang itu bergerak menuju sebuah rumah yang terletak di ujung sebuah jalan, lalu masuk ke dalamnya.

Di dalam rumah itu, seorang lelaki muda masih terjaga dan duduk di atas sebuah kursi yang agak reot. Ia sedang membaca sebuah buku yang terletak di atas mejanya yang juga sudah mulai lapuk. Lihat, sesekali lelaki itu mengerutkan kening lalu mencatatkan sesuatu setelah agak lama berfikir. Selain buku yang sedang dibacanya, masih ada buku-buku lain yang masih berserak di atas meja itu. Sementara, lantai penuh dengan sobekan-sobekan kertas yang berserak dengan sangat amburadul. Di dalam asbak yang terbuat dari tanah liat, menumpuk abu dan puntung-puntung rokok yang barangkali lupa dibuang lelaki itu. Di dinding kamar itu terpajang beberapa lukisan cat air di atas media karton. Lukisan-lukisan itu merupakan buah karya dari tangannya sendiri, warna lukisan itu terkesan agak menguning, barangkali asap rokok telah begitu banyak menyerap ke dalam medianya.

Lihat, lelaki itu melemparkan bukunya ke kolong tempat tidur. Ia lalu mengambil secarik kertas dan sebuah pena. Kemudian ia menuliskan sesuatu di atas kertas itu dan sesekali menusuk-nusuk pena itu ke pelipisnya. Tahukah kau, orang-orang menyebut lelaki itu si ‘penyair gila'. Tapi, ada manusia-manusia gila yang justru menyebut lelaki itu sebgai ‘orang yang belajar nabi'.

Ketika aku mengunjungi lelaki itu, ia terkejut dan buru-buru bertanya untuk ihwal apa aku datang mengunjunginya.

‘'Aku senang kau datang meski kuakui pekerjaanku terganggu dengan kehadiranmu, tapi aku senang. Kaulah satu-satunya sahabat yang paling mengerti aku. Ada apa, kawan?'' tanyanya.

‘'Maaf jika memang mengganggu. Aku hanya ingin tahu, apa gerangan yang kau tulis?'' tanyaku. Tapi setelah mengucapkan kata-kata itu, aku mendadak merasa bodoh dan malu pada diri sendiri. Sebab kedatanganku yang sesungguhnya bukan untuk mengetahui sedang menulis apa lelaki itu. Lagipula bagaimana mungkin aku tahu dia sedang menulis di rumahnya? Meskipun dia seroang penyair, menyimpulkan ia selalu menulis adalah dugaan yang bisa sangat salah. Tapi untunglah lelaki itu tidak begitu peduli dengan pertanyaanku yang ceroboh itu. Dia lalu berkata bahwa ia sedang menulis sebuah cerita.

‘'Cerita ap?'' aku bertanya.

‘'Cerita tentang kunang-kunang ajaib. Katamu kau ingin tahu sedang menulis apa aku. Maka, jika kau ingin mendengarnya, aku akan membacakannya bagimu.''

Entah mengapa, ketika berkata demikian, aku merasa bahwa lelaki itu merupakan pencerita yang hebat dan sangat terkenal sehingga aku merasa sangat perlu dan bangga sekali jika ia membacakan ceritanya padaku.

‘'Dengan senang hati aku akan mendengarnya. Bacakanlah!'' kataku akhirnya, setengah meminta.

Mata lelaki itu menceritakan ini

‘' Ada seorang lelaki muda yang tiba-tiba mengubah wujudnya menjadi kunang-kunang. Di suatu tempat. Yah, di suatu tempat dimana waktu hanya terdiri dari huruf-huruf yang mengkristal jadi sajak lelah. Lelaki itu merasa bahwa waktu ataupun sajak-sajak lelah itu selalu melingkar membungkus tubuh, mengepak nafas, meringkus gerak dan membekap jalan pikirannya. Ia mengubah dirinya jadi kunang-kunang supaya bisa lari dan keluar dari lingkaran yang menjerat serupa penjara gelap itu. Dengan menjadi kunang-kunang, tubuhnya akan menjadi suluh bagi dirinya untuk keluar dan lari dari lingkaran itu. Maka terbanglah ia menerjang seluruh arah, sudut dan permukaan segala yang berwujud. Setelah ia berada di luar lingkaran, ia merasa bebas sebab tak akan dialaminya lagi perjalanan di sisi lingkaran yang selalu menghantamnya pada titik yang sama secara berulang-ulang.

‘'Maaf,'' kataku menyela, ‘'Aku tak faham apa kandungan ceritamu.''

‘'Haha...,'' lelaki itu tertawa, dan melanjutkan, ‘'aku sedang bercerita soal waktu, kawan. Kau tahu, waktu adalah lingkaran. Hidup kita hanya terdiri dari perjalanan berulang-ulang di sisi lingkaran demi mengurangi waktu. Kita berangkat dari satu titik ke titik lain tapi akan tetap tiba pada titik yang sama pada akhirnya. Lihat, pada pagi hari kau bangun dan tidur pada malam hari. Dan itu akan berulang-ulang kau lakukan tanpa perlawanan. Jika kau merasa lapar, kau akan makan. Jika lapar lagi, kau akan makan lagi. Kau meninggalkan rumah pada waktu-waktu tertentu dan akan tetap kembali ke rumah sejauh apapun kau berkelana. Yah, hidup kita mengarungi waktu persis seperti ketika kita mengelilingi lingkaran. Jika suatu waktu kau tertawa, kau akan diam setelahnya. Jika suatu waktu kau menangis, kau akan diam sesudahnya.''

‘'Cukup-cukup kawan,'' kataku menyela, ‘'Sekarang aku paham apa maksudmu. Tapi apakah kau merasa mampu melepaskan diri dari ringkusan waktu?''

‘'Oh, tentu. Hal itulah yang menjadi bagian lanjut dari cerita yang kutulis ini. Apakah kau masih tertarik mendengarnya?''

‘'Yah. Ceritakanlah!''

‘'Lelaki kunang-kunang itu, suatu malam, seperti mendengar bisikan yang menyuruhnya untuk tidak hanya keluar dari lingkaran waktu, tapi juga harus mampu menghentikan waktu. Maka ia bersemedi, memejamkan mata, mengumpulkan kekuatan pikiran, llu berpikir keras mencari tahu bagaimana caranya menghentikan waktu. Tapi di tengah persemedian yang dalam itu, segala kekuatannya tercerai berai dihantam bunyi jam dinding yang berdetak memecah keheningan pada malam itu. Diambilnya jam itu lalu dihempaskannya ke lantai. Jam itu pecah menjadi puing-puing. Saat itulah lelaki itu merasa ada gemuruh yang mendadak di kepalanya. Jawaban tentang bagaimana membunuh waktu tiba-tiba masuk ke ceruk otaknya.''

‘'Apa itu?'' tanyaku tidak sabar.

‘'Ia harus menghentikan seluruh aktivitasnya yang berhubungan dengan waktu. Itulah satu-satunya cara membunuh waktu.''

‘'Menghentikan seluruh aktivitas?'' tanyaku agak ngeri, ‘'itu tidak mungkin, kawan. Kau barangkali sedang tidak waras.''

‘'Ya, ini memag ide gila. Tapi kita harus berani menjadi gila demi mengelak dari takdir bernama waktu yan selalu mempermainkan kita dengan sangat keparat,'' katanya.

‘'Jika begitu, teruskanlah kegilaanmu, tuntaskan cerita itu,'' kataku setengah jengkel dan segera bergegas meninggalkan lelaki itu.

Esok harinya, pagi-pagi benar, aku sudah berada di rumah lelaki itu. Seperti ada kekuatan aneh yang mendesak aku untuk pergi ke rumahnya. Kudapati lelaki itu masih saja terjaga.

‘'Ini sudah pagi, tapi kau belum juga tidur, kawan,'' kataku.

‘'Aku tidak lagi ingin tidur. Kau tahu, aku juga sudah berhenti mandi, tidak lagi ganti pakaian, tidak lagi makan dan minum. Itulah caraku menghentikan waktu, dan karena waktu sudah kuberhentikan, maka rasa lapar telah hilang, rasa haus tiada lagi. Aku juga tak perlu lagi menikmati udara luar, melihat matahari atau berbaur dengan manusia-manusia dungu di luar sana.''

‘'Aku tidak percaya,'' kataku

‘'Kau boleh tidak percaya, tapi itulah jalan hidup yang dipilih lelaki kunang-kunang dalam cerita yang kutulis tadi malam. Aku juga sedang belajar mengadaptasi pola hidup semacam itu, juga kau. Kita semua harus melakukannya, sebab pilihan itu bersumber dari penglihatan Illahi semacam wahyu.''

‘'Benarkah?''

Ya, katanya. Lalu ihwal ini diceritakannya.

‘'Suatu malam, lelaki itu merasa bahwa ia berada di langit. Ia melihat rumah-rumah terhampar acak pada suatu wilayah. Rumah-rumah itu tampak batu-batu yang berserak di suatu tanah lapang, dan terkadang seperti butir-butir mutiara yang berkilauan, sebab rumah-rumah itu memiliki lampu serambi yang sengaja tidak dimatikan pada malam hari. Ia melihat atap rumah-rumah itu seperti pemandangan aneh, seperti sisik kasar manusia tua yang bosan mengutuk maut yang tidak juga datang mencabut nyawanya.

Jalan, lorong dan setiap gang yang membelah dan memilah setiap rumah di kejauhan di bawah itu tampak seperti garis-garis di atas peta sebuah negeri yang sekarat. Sesekali motor dan mobil melintas seolah tak peduli pada tikaman malam yang sesungguhnya amat berbahaya bagi mereka yang takut pada kegelapan. Cahaya yang menghambur dari lampu-lampu kendaraan itu tampak seperti kunang-kunang...

‘'Cukup, cukup, kawan. Kau sedang menyindir aku. Tapi, bagaimana kau tahu bahwa aku pernah berfantasi seperti itu?''

‘'Haha,'' lelaki itu tertawa.'' jangan bodoh, kawan. Kita adalah satu. Kau adalah aku. Kunang-kunang itu adalah kita.

Sejenak lelaki itu menghentikan pembicaraannya , mulai menangis, dan aku juga menangis, persis seperti tangisannya. Aku tahu aku tak lagi hidup. Aku tahu lelaki itu adalah aku. Aku tahu kunang-kunang itu adalah harapan-harapanku.

Pada saat itu, pintu tiba-tiba didobrak dan beberapa petugas kepolisian masuk ke rumahku.

Di luar, aku dengar orang-orang sudah ramai dan kasak-kusuk membicarakan sesuatu. Salah seorang dari orang ramai itu bertanya kepada polisi tentang apa yang terjadi. Tapi polisi itu tidak menjawab, ia hanya berkata bahwa kasus bunuh diri telah terjadi.

Esok harinya, koran-koran menulis; seorang lelaki muda ditemukan tewas di dalam kamarnya. Tidak ada indikasi yang mengarah pada dugaan bunuh diri, ataupun penganiayaan. Kematian lelaki itu benar-benar terasa ganjil. Para penyidik mengatakan lelaki itu mungkin terindroktrinisasi oleh teori waktu. Dugaan ini didasarkan atas ditemukannya banyak buku tentang waktu di dalam kamarnya. Waktu adalah lingkaran, begitu tulis lelaki itu di atas secarik kertas. Formulasi ini diduga kuat telah meracuni otaknya sehingga seluruh aktivitas yang memang berlangsung seurut waktu, dihentikan lelaki itu dengan sangat berani, termasuk makan dan minum.

Dan aku, aku sendiri pergi menjauh, menyeret langkah, berjalan tanpa arah yang pasti. Aku tahu aku dirasuki sesal. Tapi sadar akan ketidakmungkinan untuk kembal ke kehidupan semula, aku tertawa. Aku terbahak-bahak menyaksikan anekdot kematian yang kuciptakan sendiri untuk diriku.

Aku, Nenek dan Halte Bus

Setiap pagi, aku selalu berada di halte bus untuk menunggu Mas Budi men-jemputku dengan mobilnya. Di halte bus itu selain terdapat beberapa orang yang menunggu bus, terdapat pula seorang nenek tua tengah berjualan koran. Nenek yang dikenal bernama nenek Peni ini, menjual beberapa koran dan beberapa tabloid yang digeletakkan begitu saja diatas plastik. Aku sengaja selalu berada di halte itu setiap pagi karena permintaan Mas Budi.

"Biar kujemput saja, dan kamu tunggu saja aku di halte itu," kata Mas Budi lewat telepon. Karena aku tak mau banyak omong, kuturuti saja permintaan Mas Budi. Dan nyaris dua tahun lamanya aku selalu setia menunggu jemputan Mas Budi untuk mengantarku berangkat ke kantor dengan mobilnya.

Mas Budi ini adalah seorang pria yang sangat aku cintai. Tapi sayangnya, ia sudah beristri. Entah kenapa aku mau berhubungan dengan pria yang sudah beristri? Aku sendiri tak tahu. Cinta memang buta, pikirku. Tapi sebenarnya, aku mulai pusing memikirkan hubungan ini karena tiada kejelasan sikap dari Mas Budi sendiri. Aku hampir-hampir putus asa, pasrah atau meninggalkan Mas Budi. Kalau sudah didera beribu pertanyaan seperti itu, aku jadi salah tingkah dan tidak bisa berbuat apa-apa. Entahlah, aku jadi bingung kenapa aku bisa kecantol dengan Mas Budi begini rupa. Memang tak bisa dipungkiri, kisah ini berawal dari seringnya kami berjumpa. Mas Budi yang bekerja sebagai seorang manager di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang ekspor impor, dan kebetulan perusahaannya ada kerja sama dengan dengan perusahaan dimana aku bekerja, jadilah aku dan Mas Budi sering mengadakan pertemuan. Dari urusan kantor sampai ke urusan pribadi. Dengan demikian bermunculan benih-benih cinta yang begitu besar dan menggebu. Sampai akhirnya aku seperti istri simpanan Mas Budi yang terus bergantung kepada aturannya. Dan di halte ini lagi, aku menunggu kedatangannya untuk kesekian kalinya sambil memperhatikan cara nenek Peni menjajaki dagangannya.

"Koran Non, beritanya rame-rame!" begitu cara nenek Peni menawarkan dagangannya padaku. Awalnya aku merasa geli dengan cara nenek Peni menawarkan dagangannya seperti itu, tapi akhirnya aku senang juga dan kuanggap itulah ciri nenek Peni yang tak bisa aku lupakan. Untuk menyenangkan hati sang nenek, akhirnya aku membeli satu buah tabloid wanita. "Korannya nggak sekalian, Non?" tanyanya kemudian.

"Tabloid ini dulu saja, Nek. Buat iseng baca di kantor," sahutku sambil mengeluarkan uang pembayaran.

"Sungguh Non, korannya beritanya rame-rame," tawarnya lagi. "Kok Nenek tahu?" tanyaku sekadar menanggapi.

"Lihat saja foto-fotonya. Ada demo, ada kebakaran, ada tawuran antar warga," ungkapnya polos. Aku nyaris tertawa lepas saat mendengar omongannya. Giginya yang sudah banyak ompong itu mengingatkan aku pada seorang nenekku yang berada di kampong halaman. Belum sempat aku melihat-lihat tabloid yang lain, Mas Budi keburu datang dengan mobilnya. Aku permisi pada nenek Peni, dan tampak ia memperhatikanku tanpa berkedip ketika aku masuk ke dalam mobil yang dikemudiakan Mas Budi.

"Kenapa kamu tersenyum-senyum seperti itu?" tanya Mas Budi sambil menjalankan kembali mobilnya.

"Aku merasa geli melihat cara nenek tadi menawarkan dagangannya."

"Kenapa?"

"Ya lucu saja," jawabku singkat. Lalu sepi. Mobil berjalan biasa saja. Biasanya dia main kebut setelah aku berada di dalam mobilnya. Ini kali sungguh kalem.

"Santy," panggilnya sambil matanya tetap mengawasi ke depan. Aku menoleh ke arahnya, "Apa kamu sudah menemukan jalan lain untuk kelanjutan hubungan kita?" tanyanya kemudian. Senyumku kurasakan tiba-tiba hilang. Urusan kembali rumit. Betapa tidak, aku sudah nekat dijadikan istri keduanya bila Mas Budi benar-benar mau adil. Eh, sekarang malah menanyakan padaku soal 'jalan lain', anehkan! Dan bila itu terjadi tentu akan jadi masalah bagi istri pertamanya. Aku sadar, aku merasa orang yang paling berdosa dalam hal ini. Tapi siapa bisa menentang koderat kalau Tuhan sudah memberi jalan hidup seperti yang kualami sekarang. Meski pada dasarnya tak ada seorang istri pun mengijinkan suaminya kawin lagi, dan wanita mana yang mau dijadikan istri kedua kalau tidak ada masalah lain?

"Jalan lain, maksud Mas?"

"Ya, jalan lain,"

"Tentu menikahlah, Mas!" cetusku. Mas Budi tersentak. "Kenapa? Berat!?"

Mas Budi menoleh, "Bukan begitu, Santy. Kamu tahu kan , keadaanku?"

"Dari dulu aku tahu kalau Mas Budi sudah beristri. Lalu kenapa? Apa Mas menginginkan aku kawin dengan lelaki lain, dan kita bubar secara baik-baik! Begitu maksud Mas?"

Mas Budi hilang suaranya. Wajahnya beku menghadap ke depan. Aku tiba-tiba ingin menangis, tapi mobil Mas Budi tak terasa sudah berhenti di depan kantorku.

Pagi itu, aku kembali berdiri di halte bus untuk menunggu Mas Budi menjemputku. Dan nenek penjual koran itu tersenyum ketika melihat kedatanganku.

"Korannya Non, beritanya rame-rame!" tawarnya seperti itu lagi. "Coba Non lihat, orang-orang yang ada di koran ini, kan semuanya orang-orang jahat. Tapi kenapa ya, matanya tidak ditutup. Dulu, pada zaman nenek muda, kalau ada orang jahat di koran, matanya selalu ditutup. Kenapa sekarang tidak. Bagaimana cara membedakan orang jahat sama orang yang tidak jahat?" lanjutnya dengan nada bertanya.

"Nenek kan bisa baca untuk mengetahui apa yang terjadi di koran itu," kataku sekedar menjelaskan. Nenek itu tiba-tiba tertawa, dan kembali aku melihat ompong giginya.

"Nenek tidak bisa baca, Non," akunya. "Nenek dulu tidak sekolah. Nenek cuma bisa mengaji."

Sebuah bajaj tiba-tiba berhenti di depan halte bus. "Eh, entu cucu Nenek," tunjuknya ke arah seorang anak muda yang membawa kendaraan bajaj. Anak muda itu menyodorkan beberapa tabloid kepada nenek Peni. Lalu tanpa basa-basi anak muda itu ngeloyor pergi membawa bajajnya. "Itu cucu Nenek. Tadinya dia jualan koran di sini, tapi dia tertarik kepingin narik bajaj, terus Nenek disuruh nunggu dagangannya di halte ini. Nenek mau, karena Nenek kasihan sama cucu Nenek, karena kedua orangtuanya, yaitu anak Nenek, sudah meninggal sewaktu terjadi kerusuhan di pasar Ciledug," lanjutnya panjang lebar. Hatiku tiba-tiba saja terenyuh. Tapi kulihat nenek itu begitu tegar. Aku ingin seperti dia, tegar mengalami berbagai macam cobaan.

Sepuluh menit kemudian, Mas Budi muncul dengan mobilnya. Aku masih tertarik dengan cerita nenek Peni, tapi tidak mungkin aku selalu berada di situ jadi pendengar setia lakon hidupnya. Aku sendiri pun merasa perlu ada orang yang mau membantu mencari jalan keluar seperti Mas Budi sebut 'jalan lain' untuk masalah yang sedang kami hadapi.

"Aku baru menemukan jalan lain untuk kita berdua," cetusnya setelah membawa mobilnya jauh dari halte bus. Aku sebenarnya sudah bosan dengan pendapat-pendapat Mas Budi yang terkesan menguntungkan dirinya sendiri. Tapi 'jalan lain' yang dia bawa ini, mungkin lebih masuk akal atau bisa melegakan pikiranku yang selama ini terus-menerus di 'belenggu' bila yang akan disampaikan nanti dapat memuaskan hatiku.

"Jalan macam apa, Mas?"

Mas Budi menoleh padaku, "Rumahku yang di Bintaro, tak ada yang menempati. Aku ingin kamu yang menempati dan mengurusinya. Sekaligus rumah itu sebagai hadiah ulang tahunmu, dariku."

"Maksud Mas, biar aku tinggal di situ?" potongku karena aku tak paham maksudnya.

"Iya, dan nanti setiap dua hari sekali, aku akan pulang ke Bintaro untuk menemuimu. Bagaimana, kamu setuju?"

Mukaku seakan ditamparnya. Aku tak menghendaki ini. Aku tak menginginkan harta ataupun yang lainnya. Kecuali aku dinikahi secara resmi. Itu saja. Tinggal dimanapun aku tak masalah. Yang penting aku jadi istri yang sah, bukan sekedar pacar gelap seperti sekarang ini. Aku tak mau dicap selingkuh dengan suami orang. Aku tak mau. Aku pusing. Aku tak bisa berkomentar apa-apa kecuali menghapus air mataku yang menetes di kedua pipiku ketika aku turun dari mobil Mas Budi.

** *

Pagi itu, pikiranku masih kusut. Pekerjaanku di kantor cukup padat, menumpuk. Seperti persoalan-persoalan di ruang pengadilan, begitu kompleks. Aku kelihatan diam, tapi hatiku seperti dipenuhi suara-suara pasar, atau seperti sebuah stasiun yang begitu bising dan sumpek. Aku berangkat lebih pagi agar semua pekerjaanku bisa kuselesaikan satu persatu. Soal Mas Budi, sudah aku SMS agar ia tak menjemputku pagi ini di halte yang biasa. Aku hari ini mau sendiri, mau lebih cepat tiba di kantor. Akan tetapi, setibanya aku di lokasi tempat halte bus itu berada, aku tak melihat halte bus itu berdiri, melainkan halte bus itu telah roboh ke tanah dengan atap yang hancur berkeping-keping. Sedangkan di bawah halte yang roboh itu berserakan pecahan kaca mobil. Pot-pot bunga yang berada di samping halte itu tak luput berantakan seperti terkena benturan yang cukup keras. Aku melihat selembar plastik sebagai alas untuk berjualan koran nenek Peni tampak tertindih atap halte yang sudah tak karuan bentuknya. Orang-orang berkerumun saling membicarakan perihal kejadian yang sebenarnya. Seorang wartawan sedang memotret dari beberapa sudut..

" Ada kejadian apa, Bang? Apa ada demo kemarin sampai-sampai halte bus dirobohkannya?" tanyaku memancing untuk sekadar mencari tahu.

"Halte bus ini kemarin siang, diseruduk bus kota yang supirnya ugal-ugalan."

Aku terkejut, " Ada yang ketabrak, Bang?"

"Tiga orang meninggal seketika!" ungkap wartawan itu. Aku tambah penasaran.

"Penumpang bus, atau pejalan kaki yang meninggal?" kejarku.

"Dua orang calon penumpang yang sedang menunggu bus, dan satu lagi seorang nenek-nenek yang sedang berjualan koran di bawah halte itu," jelas si wartawan sambil memotret bagian-bagian lain. Napasku terasa sesak. Tubuhku mendadak gemetar.

Oh, betapa malang masib nenek penjual koran itu, renungku. Nenek Peni yang baru kukenal tapi telah bercerita banyak tentang anak dan cucunya. Sedangkan aku belum sedikitpun bercerita kepadanya tentang diriku yang setiap hari menunggu lelaki bermobil sedan yang sering menjemputku di halte bus itu.

Nenek Peni keburu dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Rasanya, seperti ada yang ikut lepas setelah mendengar nenek Peni meninggal. Entah itu apa. Dan di mana Mas Budi, apakah dia telah menemukan 'jalan lain' lagi untuk mengatasi diriku yang semakin terpuruk di dalam penantian. Sepertinya, aku harus lebih teliti dan berhati-hati setelah tahu bahwa hidup ini penuh dengan misteri.

Panggil Aku Ayah

KURUN waktu yang sedemikian panjang bersama status bukan ayah membuat aku tak mudah percaya pada kenyataan besar yang telah berlaku atas diriku sendiri. Tangis bayi merah yang melengking tepat pukul 08.30 Senin lalu, tak serta merta meyakinkan diriku telah berubah status menjadi ayah. Aku memang belum sepenuhnya meyakini itu sebagai sebuah kepastian. Segalanya seolah berlaku sebatas angan, atau mimpi di tengah malam.

‘'Pak, sebaiknya perlengkapan bayinya dibawa ke mari saja,” ujar bidan yang baru saja keluar dari ruang tempat pemeriksaan istriku. ‘'Lho, apakah istri saya akan segera melahirkan, Bu Bidan?” tanyaku terkejut.

Selepas Subuh istriku mengeluhkan nyeri di perut bagian bawah. Aku lantas membawanya ke bidan untuk periksa. Sama sekali aku tak punya firasat nyeri itu pertanda waktu persalinan akan tiba. Meski usia kandungannya menjelang sembilan bulan, tetapi menurut perkiraan bidan pekan lalu, kelahiran bayi pertamaku berkemungkinan pada akhir bulan. Sementara sekarang baru pertengahan bulan.

‘'Sepertinya begitu. Sekarang sudah bukaan dua,” jelas bidan tersebut.

Aku sempat mengkerutkan kening mendengar kata “bukaan”, untung aku ingat penjelasan istri seorang teman bahwa sebelum proses persalinan akan dilalui dengan perkembangan kondisi rahim yang lazim disebut bukaan.

‘'Apakah kelahirannya normal, Bu?” Mendadak saja kecemasan sudah mengeram dalam pikiranku. Bayangan atas kemalangan yang menimpa istri temanku berapa lalu melindas rasa tentram hatiku. Sungguh selama sembilan bulan masa kehamilan istriku banyak ketakutan yang menghinggapi diriku. Terlebih lagi kehamilan istriku kali ini merupakan kesempatan ketiga, setelah dua kali kehamilan yang lalu tak berkembang sebagaimana mestinya. Istriku mengalami keguguran pada bulan kedua saat hamil pertama dan harus menjalani operasi pembersihan rahim akibat keguguran di usia kandungan lewat tiga bulan pada kehamilan kedua.

‘' Normal ,” jawaban bidan tersebut seolah hujan rintik di tengah musim kemarau panjang yang melanda perasaanku.

Seketika itu juga aku pamit dan bergegas pulang untuk mengambil segala perlengkapan bayi yang memang telah kami persiapkan jauh-jauh hari. Sepanjang perjalanan pulang-pergi dari rumah bersalin ke rumah, aku merasa sedang lalu-lalang dalam mimpi. Tak percaya bahwa sebentar lagi aku akan menjadi ayah. Pukul tujuh lewat belasan menit derita istriku kian menjadi. Seringai di wajahnya kulihat bagai lautan rasa sakit yang tak mudah mengarunginya. Aku yakin dia pasti menderita. Dalam keadaan seperti ini aku hanya bisa memberinya dorongan semangat dengan menggenggam erat telapak tangannya. Mendekati pertengah pukul tujuh detik-detik paling menegangkan di sepanjang usiaku dimulai. Bidan memasuki ruang bersalin dan memerintahkan istriku bersiap memasuki tahapan terpenting dalam hidupnya: mengalami proses melahirkan, sebagai penyempurna diri sebagai wanita. Tak bisa aku menceritakan betapa menegangkan ruang berukuran empat kali empat meter itu selama kurang lebih limabelas menit di pagi Senin itu. Yang pasti aku menyaksikan derita tak terkira yang wajib dialami setiap wanita untuk bisa dipanggil ibu. Seluruh ketegangan itu berakhir kelegaan menentramkan ketika lengking tangis bayi merah menyeruak keheningan.

‘'Selamat, bayi Bapak laki-laki dan terlahir sehat lagi normal,” ucap bidan itu sambil tersenyum ke arahku.

Aku malah terpaku. Tak ada senyum, bahkan sekedar anggukan membalas ucapan selamat itu. Sepasang mataku tak berkedip memandang bayi merah yang tengah dimandikan bidan. Benarkah itu bayi yang baru terlahir dari rahim istriku? Benarkah itu bayi yang dalam tubuhnya mengalir darah dan dagingku? Ah, sungguhkan aku telah memasuki fase luar biasa dalam kehidupan seorang lelaki, yakni menjadi seorang ayah?

‘'Bapak tentu sudah tak tahan ingin segera menimang buah hati, ini bayinya. Silahkam, Pak,” tak sampai sepuluh menit kemudian bidan itu muncul seraya menyerahkan bayi mungil berbungkus baju dan kain bedung biru motif bunga-bunga kecil.

Aku terpana. Inilah moment paling besar dalam hidupku: menimang darah-dagingku sendiri! Tanpa berkedip aku memperhatikan wajah mungil dalam dekapan. Wajah itu begitu teduh. Sepasang matanya masih terkatup rapat. Hidungnya yang kecil mencuat di atas bibirnya yang juga terkatup rapat-rapat. Lantas aku ingat kuwajiban setiap ayah pada bayinya yang baru lahir. Maka, dengan suara tergetar kukumandangkan azan di telinga kanannya dan iqomah di telinga kiri. Aku berharap kalimat agung yang pertama kali didengarnya menjadi pedoman mula baginya untuk menentukan langkah ke depan. Usai mengumandangkan azan dan iqomah di kedua telinganya, aku lantas mencium kening bayiku dengan sepenuh hati. Jangan ditanya bagaimana perasaanku ketika itu. Setiap ayah pasti pernah mengalami masa teramat istemewa seperti itu. Sepanjang siang itu aku seolah tak mau menjauh dari bayi mungilku. Jika tidak sedang kugendong, tentu perhatianku tak luput dari bayiku. Setiap gerak dan tarikan nafasnya menjadi sedemikian istimewa di mataku. Aku seolah baru pertama kali melihat bayi.

Menjelang petang aku memutuskan untuk meninggalkan rumah bersalin dan pulang. Kondisi bayi dan istriku yang berangsur sehat tidak memerlukan perawatan khusus. Menurut bidan yang menanganinya, asal tidak banyak bergerak dan terus beristirahat istri dan bayiku diperbolehkan pulang. Kami tiba di rumah saat mahatari senja tersenyum ceria. Aku bersyukur melihat sekalian alam turut bersuka cita atas kelahiran bayi kami yang pertama. Pengalaman yang serba pertama membuat aku dan istriku sering kebingungan memahami keinginan si kecil ketika menangis. Untunglah ibu mertuaku dengan sabar turut campur tangan menanggulangi kegaduhan menyenangkan di rumah kecil kami.

Malam pertama dengan penghuni baru di rumah kami menjadi hal yang tak mudah dilupakan. Aku akan mencatatnya sebagai bagian terpenting dalam sejarah hidupku. Pada malam itu pulalah aku mengalami sendiri apa yang selama ini dikatakan banyak orang tua, bahwa demi anaknya orang tua rela melakukan apa saja. Sepanjang malam bayi mungilku tak kunjung memejamkan mata. Sepasang mata kecilnya terus terbuka dan menatapi kamar tempatnya berbaring. Aku dengan ringan hati menjaganya. Mengawasinya dan menenangkannya jika tangisnya mulai terdengar. Istriku yang masih lemah dan sangat membutuhkan istirahat sejak semula kuminta untuk menyerahkan segala keperluan bayi kami kepadaku. Canggung tentu saja kualami. Maklum segalanya serba debutan. Aku baru pertama kali menjadi ayah. Bingung juga ketika harus mengganti popok dan membuatkan susu. Tetapi, seperti yang telah kukatakan di atas, ini pengalaman yang paling penting dalam sejarah hidupku. Keletihan dan kerepotan yang kualami, jauh lebih kecil dibandingkan kebahagiaan yang bermuara dalam hatiku.

Aku yang selama ini paling tak suka tidur terlambat, kini dengan senang hati harus kehilangan banyak waktu tidur malam demi si mungilku tercinta. Jika hari-hari yang lalu aku baru pulang dari kantor menjelang Maghrib, kini aku lebih suka pulang lebih cepat. Chating dan segala sesuatu yang ada kaitannya dengan internet yang biasa selalu menggodaku, mendadak kehilangan pesona. Setiap kali ada waktu luang, aku akan segera melesat pulang. Bagiku berada di samping si mungil dan memandanginya tanpa berkedip adalah kenikmatan yang tiada tara. Bahkan saat mengaji rutin pun aku lakukan di samping si mungil. Ayat demi ayat dari kalam Ilahi aku senandungkan di depannya. Meskipun matanya terpejam, tapi aku yakin apa yang kuperdengarkan kepadanya tak sekadar berlalu tanpa kesan. Pun saat si mungil terbangun di tengah malam dan aku harus sholat tahajud. Di dalam pelukanku bayiku begitu tentram mengikuti setiap gerak yang kulakukan dalam munajad pada sang Pemurah lagi Penyayang di sepertiga malam yang hening.

Memilihkan nama adalah kehebohan di antara aku dan istriku yang tak kunjung tuntas. Meski telah melewati banyak sidang pleno, tetap saja tak kunjung tersepakati satu nama bagi si mungil. Padahal waktu pemberian nama semakin dekat. Sebagaimana yang disunnahkan Rasul mulia, memberikan nama sangat bagus dilakukan tujuh hari setelah kelahiran seorang bayi. Pada saat itulah aku berencana mengundang saudara, handai-taulan dan sekalian karib kerabat untuk menjadi saksi pemberian nama atas bayi pertamaku. Ada banyak usulan nama yang bermunculan. Tak hanya datang dari aku dan istriku, tapi banyak juga saudara dan kenalan yang berbaik hati memberikan usulan nama terbaik untuk bayiku. Tetapi semakin banyak usulan nama, maka semakin alot ‘sidang paripurna' berlangsung. Satu nama yang paling cocok dan disepakati tak kunjung didapatkan. Meski hingga cerita ini kutuliskan nama terbaik bagi bayiku belum juga didapat, tetapi aku yakin setelah tujuh hari dari kelahirannya, yaitu saat dilangsungkannya pemotongan dua ekor kambing sebagai tebusan atas gadai dirinya dalam bentuk aiqah, nama itu insyaallah akan kupersembahkan kepada bayi mungilku.

Kini anugrah teragung itu telah Allah karuniakan kepadaku. Aku terharu dan tak sanggup menuntaskan segala perasaanku dalam bentuk cerita. Tetapi aku sadar, sesadar-sadarnya bahwa di balik anugrah teragung ini, terselip tanggung jawab teramat besar yang kini tersandang di pundakku. Aku sadar kini tanggung jawabku bertambah satu jiwa. Tanggung jawab nafkah, insyaallah Allah akan cukupkan, tetapi tanggung jawab akhirat.... Sungguh inilah yang paling aku takutkan. Anugrah teragung itu telah aku terima. Aku syukuri sebagai sebuah karunia. Mustahil anugrahnya aku terima, namun tanggung jawabnya kuabaikan. Kini aku tak sekadar punya tanggung jawab melindungi diri dan istriku dari api neraka, tetapi ada satu jiwa lagi yang menjadi tugasku melindungi dirinya dari api neraka. Ya Allah Engkaulah muara pengharapan atas pertolongan bagi hamba.

Hujan Telah Selesai

Sore itu, ruang pengantin telah lengang. Ranjang perlahan-lahan mendingin. Pacu birahi padam. Lelaki yang dipanggil "Mas" itu menatap Dhesi, istrinya. Hujan di luar masih turun. Hening. Waktu berbenturan di setiap sudut ruangan. Selebihnya diam. Mereka berdua kembali mengenang percintaan yang baru saja selesai.

Sisa dingin dari hujan seperti berjingkat kecil, pelan-pelan, seperti langkah yang berjinjit. Hanya suara angin yang berdesir, mengatup semua bulir. Di tubuh sepasang pengantin itu, masih ada sisa peluh yang menetes, merayap, jatuh ke tempat yang paling rendah. Lelaki itu menatap peluhnya sendiri, yang mengingatkannya pada pelajaran di masa sekolah tentang hukum-hukum air. Mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah.

Ia mendesah napas. Perlahan, lebih lambat dari detak jam. Ada semacam riuh yang terendam.

"Jam berapa, Mas?" tanya Dhesi, mengejutkan lamunannya.

"Jam setengah enam sore," setelah wajahnya melirik ke arah dinding yang bercat putih.

"Apa hujan telah reda?" tanya Dhesi. Ia berjingkat, membuka katup jendela kamar, mengintip dari celahnya. "Ya." Lelaki itu masih melihat basah yang berumah di dedaunan, mengkilapkan reranting, tanah yang lembab-peta yang menandakan hujan pernah mampir di situ.

"Adakah ceritamu tentang hujan yang sudah kelar?" istrinya seakan menantang, "Ayo dong, Mas, ceritakan aku lagi tentang itu!"

Lelaki itu masih saja mengintip dari celah jendela. Melihat sore yang mulai gelap. Ia menduga, sebentar lagi malam akan datang. Ia melihat wajah Dhesi lama. Terdiam, hampir lima menit, "Hujan yang reda, maksudmu?" Dhesi menganggukkan kepala tanda setuju.

Dan, dimulailah cerita itu: Barangkali, seseorang, mungkin dirimu, telah kehilangan sesuatu. Padahal, kau kerap menunggunya berwaktu-waktu. Bagimu, hujan adalah sebuah napas, yang mengisyaratkan sebuah ruang yang tersembunyi.

Sebagaimana dalam film-film klasik Cina, hujan selalu meninggalkan sebuah bekas. Di mana kau akan merajut ulang kenangan, mimpi, atau pijar harapan yang masih tertinggal. Bagimu, hujan bukan sekadar tumpahan air yang jatuh dari langit. Hujan merupakan pelambang, yang membuatmu terpaksa memikirkan leluhur-leluhur yang menebarkan sulur baru. Hujan yang terus memburu-buru seluruh pengetahuanmu. Yang memaksamu terus terkenang pada perahu besar dari kayu, mengarungi daratan yang telah menjelma jadi lautan. Ya, kau terus saja mengingat Nuh, yang begitu tegar sendirian mengarungi samudera. Air dingin itu akan memeluk apa saja dengan ikhlas. Mungkin sebagai potret dirimu yang tak henti-henti mengalir, melewati batas-batas pencarianmu. Hujan pulalah yang mengingatkanmu pada sebuah film Hounted Manson, ketika Eddie Murphy sekeluarga terjebak di tengah parau hujan yang deras di tengah rumah dipenuhi hantu. Hujan yang selalu menahan, dan memaksa untuk menciptakan atap-atap baru, katakanlah untuk sekadar menutupi diri agar tak basah. Atau bunyi petir di tengah langit yang getir, yang membuka ingatanmu pada sebuah perang dalam The Last Samurai, di mana potongan besi pedang beradu, mendentangkan gemerincing besi.

Ah, betapa hujan selalu memijakkan jejak yang menapak. Melalui genangan-genangan. Menciptakan lautan baru. Kau baru saja menuju rumah. Melewati jalanan yang sepertinya akrab kau lalui. Kau sedang menghitung-hitung, adakah kejutan baru yang kau dapati di rumah nanti? Sebab berulang kali, kau hanya menemui labirin kesunyian abadi, setiap kali tiba di rumah. Tak ada seorangpun yang enak diajak bicara, hal yang membuatmu terlampau cepat bosan sehingga kau ingin keluar saja dari rumah. Berjalan, mungkin sendirian, ke mana saja. Terkadang kau mengunjungi kenalan perempuanmu. Tertawa banyak-banyak, sekadar menyembunyikan gulanamu. Tetapi itupun tak kekal.

Perempuan itu cepat menghilang, ketika malam tambah hitam, justru waktu juga yang membatasi sebuah pertemuan. Mendadak perpisahan di depan mata. Ya, sudah berulang kali pula, kau berjumpa dengan perpisahan, dengan kekasihmu, misalnya.

Pertama kali kau merasa begitu kehilangan. Pertama kali, kau menyesali, mengapa cintamu tak pernah bisa abadi. Tetapi akhirnya, setelah perempuan baru datang, kau berangsur-angsur melupakan perempuan lamamu. Segalanya nampak jadi biasa. Hal-hal biasa pula, yang memakumu. Seperti juga ketika hujan selesai, kau mungkin agak sedikit menyesalinya, tetapi, toh, kau pikir kau akan berjumpa hujan yang baru juga suatu waktu.

Dan kau melintasi jalanan setelah hujan selesai. Kau melihat orang-orang membenahi segelanya. Keluar masuk dari dalam kepalamu. Beberapa wajah ada yang sempat kau kenal, mungkin di masa lalu. Begitu banyak mereka. Ketika melewati perempatan itu pula, kau mendengar percakapan dua kekasih yang bertengkar.

"Jadi apa kau lebih memilih dirinya dibandingkan aku? Apakah dirinya lebih cantik dariku?" jerit seorang perempuan. Si lelaki hanya terdiam. "Lalu, apa diriku selama ini? Apakah aku memang tak layak untuk kau cintai?" Mereka terus saja bertengkar. Membongkar keterjagaanmu. Ah, cinta! Selalu saja tak mampu dijelaskan dengan metafisika.

Pada mulanya, kau menduga, si perempuan benar-benar akan meninggalkan lelaki itu. Tetapi kau keliru, saat perempuan itu menangis dengan liris, si lelaki justru memeluknya. Mereka berpelukan rapat, dan semakin rapat. Beberapa saat kemudian, pasangan itu justru tertawa-tawa kecil. Beberapa waktu kemudian, mereka saling melumat bibir, berciuman, seolah-olah tak ada orang di sekitarnya. Kau menyaksikan itu, tetapi kau membuang pandang. Kau merasa cemburu, bukan pada prempuan itu, toh kau juga tak mengenalnya. Tetapi ternyata mereka dapat menyelesaikan masalah setelah hujan berhenti. Tidak seperti dirimu, yang tiba-tiba kalah. Tidak seperti dirimu, yang ternyata ditinggalkan kekasihmu.

Mungkin, kau berpikir, lebih baik hidup tanpa cinta. Dengan begitu, kau bisa bebas berjalan dengan perempuan yang mana saja. Tanpa mesti terlibat terlalu jauh. mungkin hanya cinta sehari saja. Hubungan yang sebentar. Seperti sebuah hujan, turun dengan deras, kemudian selesai. Esok hari, masih ada hujan yang lain. Di hari yang lain juga, kau akan bertemu dengan perempuan yang lain. Justru kesetiaan yang macam itu terus tiba, hujan yang bagimu, terkadang mirip dengan perempuan. Perempuan dan hujan sama saja, ia akan selalu datang di hari yang lain, waktu yang kemudian. Yang mampu menyejukkan pandangan. Tidakkah itu sebuah kesetiaan? Seperti juga hujan di mana di dalam diri perempuan acap kau temui semacam tatapan teduh dari kornea mata, yang memintamu untuk masuk ke dalamnya, kemudian berendam lama-lama di sana. Tak peduli, jika tubuhmu nanti akan menggigil di sana.

Justru di kelengangan itu, kau seakan menemui lautan baru. Kau berkhayal seperti Nuh, berlayar di sana. Tiba-tiba kau ingat Sapardi Djoko Damono, yang menulis sajak begini: Kuhentikan hujan. Kini matahari merindukanku, mengangkat kabut pagi perlahan-ada yang berdenyut dalam diriku: menembus tanah basah, dendam yang dihamilkan hujan dan cahaya matahari. Tak bisa kutolak matahari memaksaku menciptakan bunga-bunga.

Tetapi hujan telah selesai, adakah yang tertinggal di sana? Selain kasmarannya yang penuh sengat birahi, yang meraba dengan tungkai lengannya, dengan jemarinya yang lentik, ke seluruh batang pohon, liuk tanah, juga daun-daun yang basah? Kau tak pernah tahu, tetapi matahari nampaknya telah malu-malu pukimak keluar di ujung langit. Cahayanya seperti menebarkan getah yang sengit. Seperti kepingin mengintip, seperti kasmaran purbamu pada perempuan itu. Ah, bukankah tadi kau bilang bahwa cinta itu melulu menipu? Tetapi mengapa rasa kangen kerap merajam, yang terkadang membuatmu tersengal, ingin mendengar suaranya, ingin menatap wajahnya, ingin menatap dengan lekat bagaimana ia menggigit bibir bawahnya dengan gigi seri atasnya ketika sedang dirundung cemas. Kau ingin melihat pipinya yang merona bundar merah, ketika kau daratkan percakapan-percakapan yang setengah lucu. Terkadang dari binary pipi merahnya, kau kepingin mencubit kecil pipinya yang rada tembem itu. Meski sebenarnya kau punya sejumlah kenalan perempuan lain di kota tempat tinggalmu, yang bisa kau kunjungi, dan kau ajak ke mana saja pergi, tetap saja terkadang terlintas pikiran pada perempuan itu.

Siapakah perempuan itu? Yang terus mengurung dirimu menjadi asing? Tidakkah kau merasa dipermainkan olehnya. Kau tak tahu, seperti ketika kau mengingat dirinya sekarang, pada saat hujan baru saja selesai. Di mana kau menapakkan kaki dengan langkah pelan-pelan, di mana tak sempat kau tampung seluruh pikiranmu yang melompat-lompat. Betapa biografi perempuan itu telah menciptakan enigma baru buatmu.

Lalu kau merasakan hujan tak melulu berkisah tentang kesetiaan, sesekali juga mendaratkan pengkhianatan. Dan bagimu juga, itu merupakan hal yang biasa. Terlebih lagi dalam hidupmu, kau mengenal dengan jelas siapa-siapa orang yang berkhianat padamu, bahkan ketika kau berikan padanya rasa percaya. Terkadang, memang menyakitkan juga, tetapi pengkhianatan itu kerapkali datang berulang-ulang sehingga kau merasa kapalan akannya.

Padahal hidupmu sendiri, tak hanya memikirkan hujan, bukan? Kau masih banyak kegiatan lainnya, seperti pergi ke tengah kota, menyelesaikan tugas-tugas kantor, pergi ke tempat teman yang masih bujangan, sama seperti dirimu. Dan juga, pekerjaanmu lainnya masih banyak, bukan hanya memikirkan perempuan itu, yang membuat batinmu nelangsa, pikiranmu tumpang-tindih, kau masih memunyai sejumlah agenda. Agenda yang kerap kau susun dengan hati-hati.

Meskipun, terkadang segala yang kau rencanakan selalu ada yang terlewat. Kau masih saja melewati jalanan yang basah itu, hujan memang telah berhenti, kau mendapati barisan orang-orang, berkerumun, mengusung bendera warna-warni, tumpah-ruah ke jalan. Orang-orang itu, bersorak-sorai, membuat jalanan macet, kau menatapnya hanya sekilas.

Tiba-tiba kau merasa mereka menjelma jadi robot, yang membawa bendera dengan warna serupa. Seketika kau ingat negeri, di mana kau dilahirkan, tanah di mana kau minum airnya, kau hirup udaranya. Negeri yang bagimu selalu mengguratkan kecemasan. Di mana harapan terus saja beranak-pinak, tumbuh, dan bersemi. Tetapi kemudian mati kembali. Kau ingat negeri yang selalu menciptakan tanah pekuburan yang luas, bagi siapa saja, negeri yang selalu menyala dengan pijaran api yang tiada henti. Negeri yang berubah jadi sebuah pom bensin, ketika ada bara yang menyulut langsung meledak. Tiba-tiba kau ingat negeri yang seperti pelampung, terus saja mengapung di lautan, tanpa bertemu pulau atau daratan. Tiba-tiba kau merasa jadi pesakitan di tanah kelahiranmu.

Dan, memang kau melihat banyak orang-orang yang sakit. Semua orang jadi sakit, sampai-sampai ketika salah seorang yang sembuh, maka mereka bilang, "Kau yang sebenarnya sakit!" Ada semacam kegilaan yang tumbuh, yang mengayuh.

Meski kau merasa, di sinilah kau dilahirkan, dibesarkan, bermain-main lepas dengan penuh kegembiraan. Kau ingat, bagaimana di waktu kecil dulu, kau bisa mengejar laying-layang yang putus ke tanah lapang, bermain bola di tengah deras hujan, main petak umpet, kelereng. Kau merasa begitu bahagia tinggal di negeri ini. Walaupun kau merasa di negerimu tak ada perang yang membunuhi orang-orang. Tetapi tetap saja, banyak kejanggalan lain yang tumbuh dengan cepat di dadamu.

Padahal, seandainya saja kau masih punya Ibu di negeri ini, kau akan mengadukannya. Kau akan menumpahkan seluruh keluhanmu. Barangkali, Ibu akan mengusap kepalamu, sehingga kau merasa teduh. Meski bagimu, Ibu biasanya hanya membisu, termangu, dan tak lagi berbicara. Padahal, kau butuh Ibu untuk menampung semua keluhanmu. Tetapi nyatanya segala nampak sia-sia, kau mungkin telah kehilangan Ibu, barangkali orang-orang yang berkerumun itu yang turut membunuhnya.

Kau masih saja berjalan, jalanan yang mengkilap seperti sebuah percikan yang menyeretmu pada sebauh masa lalu. Kau melalui tukang-tukang becak yang berjejer di mulut jalan. Setiap kali ada orang yang lewat, dengan sigap menawarkan jasanya. Kau menatap beberapa tukang becak yang duduk dengan pandangan yang kosong. Ah, sebenarnya kau ingin sekali bercerita banyak pada Ibumu. Ya, kau ingin sekali menceritakan pada Ibu, mengapa banyak orang yang tidak bekerja di negeri ini, mengapa banyak anak-anak kecil yang berkeliaran di jalan, mengapa banyak pertanyaan yang tak diselesaikan dengan sebuah jawaban.

Kau masih saja melangkahkan kaki. Jalanan masih saja basah. Kau merapatkan tubuhmu, sekadar menghangatkan diri, supaya gigil tak sampai ke pembuluh. Kegiatan yang mengingatkanmu pada sajak dari seorang penyair: aku merapatkan mantel dan krah kemeja/ orang-orang menyusun masa lalu/ yang terus tumbuh/ memasuki otakku.

Meski masih ada selusup dingin yang begitu tak terjaga, yang tak mampu kau singkirkan berulang-ulang. Bahkan ketika kau silangkan kedua lenganmu, pun pada saat kau dekap dirimu dengan seluruh waktu.

Langkahmu terhenti di sebuah tikungan. Padahal beberapa kelokan lagi, kau akan sampai di rumah. Namun kau memutuskan berdiam. Kau merencanakan sesuatu, kau ingin ke kota . Menatap lama-lama orang-orang yang berkerumun tadi. Barangkali kau akan bercakap-cakap dengan mereka, sebab kau ingat, kau melihat dirimu seperti ada di sana.

"Kemudian?" seru Dhesi seperti memburu akhir cerita, seperti ada yang tak jelas.

"Kemudian, bagaimana?" tanya si-Mas. "Ya, bagaimana tokoh "kau" dalam cerita itu?"

Si-Mas berpikir, mengintip dari celah jendela kamar yang sedikit terbuka. Di luar, ia melihat sisa basah hujan masih lekat menjilat dahan, dedaun, juga pagar besi.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Sweet Tomatoes Printable Coupons