Sabtu, 12 Februari 2011

Aku, Nenek dan Halte Bus

Setiap pagi, aku selalu berada di halte bus untuk menunggu Mas Budi men-jemputku dengan mobilnya. Di halte bus itu selain terdapat beberapa orang yang menunggu bus, terdapat pula seorang nenek tua tengah berjualan koran. Nenek yang dikenal bernama nenek Peni ini, menjual beberapa koran dan beberapa tabloid yang digeletakkan begitu saja diatas plastik. Aku sengaja selalu berada di halte itu setiap pagi karena permintaan Mas Budi.

"Biar kujemput saja, dan kamu tunggu saja aku di halte itu," kata Mas Budi lewat telepon. Karena aku tak mau banyak omong, kuturuti saja permintaan Mas Budi. Dan nyaris dua tahun lamanya aku selalu setia menunggu jemputan Mas Budi untuk mengantarku berangkat ke kantor dengan mobilnya.

Mas Budi ini adalah seorang pria yang sangat aku cintai. Tapi sayangnya, ia sudah beristri. Entah kenapa aku mau berhubungan dengan pria yang sudah beristri? Aku sendiri tak tahu. Cinta memang buta, pikirku. Tapi sebenarnya, aku mulai pusing memikirkan hubungan ini karena tiada kejelasan sikap dari Mas Budi sendiri. Aku hampir-hampir putus asa, pasrah atau meninggalkan Mas Budi. Kalau sudah didera beribu pertanyaan seperti itu, aku jadi salah tingkah dan tidak bisa berbuat apa-apa. Entahlah, aku jadi bingung kenapa aku bisa kecantol dengan Mas Budi begini rupa. Memang tak bisa dipungkiri, kisah ini berawal dari seringnya kami berjumpa. Mas Budi yang bekerja sebagai seorang manager di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang ekspor impor, dan kebetulan perusahaannya ada kerja sama dengan dengan perusahaan dimana aku bekerja, jadilah aku dan Mas Budi sering mengadakan pertemuan. Dari urusan kantor sampai ke urusan pribadi. Dengan demikian bermunculan benih-benih cinta yang begitu besar dan menggebu. Sampai akhirnya aku seperti istri simpanan Mas Budi yang terus bergantung kepada aturannya. Dan di halte ini lagi, aku menunggu kedatangannya untuk kesekian kalinya sambil memperhatikan cara nenek Peni menjajaki dagangannya.

"Koran Non, beritanya rame-rame!" begitu cara nenek Peni menawarkan dagangannya padaku. Awalnya aku merasa geli dengan cara nenek Peni menawarkan dagangannya seperti itu, tapi akhirnya aku senang juga dan kuanggap itulah ciri nenek Peni yang tak bisa aku lupakan. Untuk menyenangkan hati sang nenek, akhirnya aku membeli satu buah tabloid wanita. "Korannya nggak sekalian, Non?" tanyanya kemudian.

"Tabloid ini dulu saja, Nek. Buat iseng baca di kantor," sahutku sambil mengeluarkan uang pembayaran.

"Sungguh Non, korannya beritanya rame-rame," tawarnya lagi. "Kok Nenek tahu?" tanyaku sekadar menanggapi.

"Lihat saja foto-fotonya. Ada demo, ada kebakaran, ada tawuran antar warga," ungkapnya polos. Aku nyaris tertawa lepas saat mendengar omongannya. Giginya yang sudah banyak ompong itu mengingatkan aku pada seorang nenekku yang berada di kampong halaman. Belum sempat aku melihat-lihat tabloid yang lain, Mas Budi keburu datang dengan mobilnya. Aku permisi pada nenek Peni, dan tampak ia memperhatikanku tanpa berkedip ketika aku masuk ke dalam mobil yang dikemudiakan Mas Budi.

"Kenapa kamu tersenyum-senyum seperti itu?" tanya Mas Budi sambil menjalankan kembali mobilnya.

"Aku merasa geli melihat cara nenek tadi menawarkan dagangannya."

"Kenapa?"

"Ya lucu saja," jawabku singkat. Lalu sepi. Mobil berjalan biasa saja. Biasanya dia main kebut setelah aku berada di dalam mobilnya. Ini kali sungguh kalem.

"Santy," panggilnya sambil matanya tetap mengawasi ke depan. Aku menoleh ke arahnya, "Apa kamu sudah menemukan jalan lain untuk kelanjutan hubungan kita?" tanyanya kemudian. Senyumku kurasakan tiba-tiba hilang. Urusan kembali rumit. Betapa tidak, aku sudah nekat dijadikan istri keduanya bila Mas Budi benar-benar mau adil. Eh, sekarang malah menanyakan padaku soal 'jalan lain', anehkan! Dan bila itu terjadi tentu akan jadi masalah bagi istri pertamanya. Aku sadar, aku merasa orang yang paling berdosa dalam hal ini. Tapi siapa bisa menentang koderat kalau Tuhan sudah memberi jalan hidup seperti yang kualami sekarang. Meski pada dasarnya tak ada seorang istri pun mengijinkan suaminya kawin lagi, dan wanita mana yang mau dijadikan istri kedua kalau tidak ada masalah lain?

"Jalan lain, maksud Mas?"

"Ya, jalan lain,"

"Tentu menikahlah, Mas!" cetusku. Mas Budi tersentak. "Kenapa? Berat!?"

Mas Budi menoleh, "Bukan begitu, Santy. Kamu tahu kan , keadaanku?"

"Dari dulu aku tahu kalau Mas Budi sudah beristri. Lalu kenapa? Apa Mas menginginkan aku kawin dengan lelaki lain, dan kita bubar secara baik-baik! Begitu maksud Mas?"

Mas Budi hilang suaranya. Wajahnya beku menghadap ke depan. Aku tiba-tiba ingin menangis, tapi mobil Mas Budi tak terasa sudah berhenti di depan kantorku.

Pagi itu, aku kembali berdiri di halte bus untuk menunggu Mas Budi menjemputku. Dan nenek penjual koran itu tersenyum ketika melihat kedatanganku.

"Korannya Non, beritanya rame-rame!" tawarnya seperti itu lagi. "Coba Non lihat, orang-orang yang ada di koran ini, kan semuanya orang-orang jahat. Tapi kenapa ya, matanya tidak ditutup. Dulu, pada zaman nenek muda, kalau ada orang jahat di koran, matanya selalu ditutup. Kenapa sekarang tidak. Bagaimana cara membedakan orang jahat sama orang yang tidak jahat?" lanjutnya dengan nada bertanya.

"Nenek kan bisa baca untuk mengetahui apa yang terjadi di koran itu," kataku sekedar menjelaskan. Nenek itu tiba-tiba tertawa, dan kembali aku melihat ompong giginya.

"Nenek tidak bisa baca, Non," akunya. "Nenek dulu tidak sekolah. Nenek cuma bisa mengaji."

Sebuah bajaj tiba-tiba berhenti di depan halte bus. "Eh, entu cucu Nenek," tunjuknya ke arah seorang anak muda yang membawa kendaraan bajaj. Anak muda itu menyodorkan beberapa tabloid kepada nenek Peni. Lalu tanpa basa-basi anak muda itu ngeloyor pergi membawa bajajnya. "Itu cucu Nenek. Tadinya dia jualan koran di sini, tapi dia tertarik kepingin narik bajaj, terus Nenek disuruh nunggu dagangannya di halte ini. Nenek mau, karena Nenek kasihan sama cucu Nenek, karena kedua orangtuanya, yaitu anak Nenek, sudah meninggal sewaktu terjadi kerusuhan di pasar Ciledug," lanjutnya panjang lebar. Hatiku tiba-tiba saja terenyuh. Tapi kulihat nenek itu begitu tegar. Aku ingin seperti dia, tegar mengalami berbagai macam cobaan.

Sepuluh menit kemudian, Mas Budi muncul dengan mobilnya. Aku masih tertarik dengan cerita nenek Peni, tapi tidak mungkin aku selalu berada di situ jadi pendengar setia lakon hidupnya. Aku sendiri pun merasa perlu ada orang yang mau membantu mencari jalan keluar seperti Mas Budi sebut 'jalan lain' untuk masalah yang sedang kami hadapi.

"Aku baru menemukan jalan lain untuk kita berdua," cetusnya setelah membawa mobilnya jauh dari halte bus. Aku sebenarnya sudah bosan dengan pendapat-pendapat Mas Budi yang terkesan menguntungkan dirinya sendiri. Tapi 'jalan lain' yang dia bawa ini, mungkin lebih masuk akal atau bisa melegakan pikiranku yang selama ini terus-menerus di 'belenggu' bila yang akan disampaikan nanti dapat memuaskan hatiku.

"Jalan macam apa, Mas?"

Mas Budi menoleh padaku, "Rumahku yang di Bintaro, tak ada yang menempati. Aku ingin kamu yang menempati dan mengurusinya. Sekaligus rumah itu sebagai hadiah ulang tahunmu, dariku."

"Maksud Mas, biar aku tinggal di situ?" potongku karena aku tak paham maksudnya.

"Iya, dan nanti setiap dua hari sekali, aku akan pulang ke Bintaro untuk menemuimu. Bagaimana, kamu setuju?"

Mukaku seakan ditamparnya. Aku tak menghendaki ini. Aku tak menginginkan harta ataupun yang lainnya. Kecuali aku dinikahi secara resmi. Itu saja. Tinggal dimanapun aku tak masalah. Yang penting aku jadi istri yang sah, bukan sekedar pacar gelap seperti sekarang ini. Aku tak mau dicap selingkuh dengan suami orang. Aku tak mau. Aku pusing. Aku tak bisa berkomentar apa-apa kecuali menghapus air mataku yang menetes di kedua pipiku ketika aku turun dari mobil Mas Budi.

** *

Pagi itu, pikiranku masih kusut. Pekerjaanku di kantor cukup padat, menumpuk. Seperti persoalan-persoalan di ruang pengadilan, begitu kompleks. Aku kelihatan diam, tapi hatiku seperti dipenuhi suara-suara pasar, atau seperti sebuah stasiun yang begitu bising dan sumpek. Aku berangkat lebih pagi agar semua pekerjaanku bisa kuselesaikan satu persatu. Soal Mas Budi, sudah aku SMS agar ia tak menjemputku pagi ini di halte yang biasa. Aku hari ini mau sendiri, mau lebih cepat tiba di kantor. Akan tetapi, setibanya aku di lokasi tempat halte bus itu berada, aku tak melihat halte bus itu berdiri, melainkan halte bus itu telah roboh ke tanah dengan atap yang hancur berkeping-keping. Sedangkan di bawah halte yang roboh itu berserakan pecahan kaca mobil. Pot-pot bunga yang berada di samping halte itu tak luput berantakan seperti terkena benturan yang cukup keras. Aku melihat selembar plastik sebagai alas untuk berjualan koran nenek Peni tampak tertindih atap halte yang sudah tak karuan bentuknya. Orang-orang berkerumun saling membicarakan perihal kejadian yang sebenarnya. Seorang wartawan sedang memotret dari beberapa sudut..

" Ada kejadian apa, Bang? Apa ada demo kemarin sampai-sampai halte bus dirobohkannya?" tanyaku memancing untuk sekadar mencari tahu.

"Halte bus ini kemarin siang, diseruduk bus kota yang supirnya ugal-ugalan."

Aku terkejut, " Ada yang ketabrak, Bang?"

"Tiga orang meninggal seketika!" ungkap wartawan itu. Aku tambah penasaran.

"Penumpang bus, atau pejalan kaki yang meninggal?" kejarku.

"Dua orang calon penumpang yang sedang menunggu bus, dan satu lagi seorang nenek-nenek yang sedang berjualan koran di bawah halte itu," jelas si wartawan sambil memotret bagian-bagian lain. Napasku terasa sesak. Tubuhku mendadak gemetar.

Oh, betapa malang masib nenek penjual koran itu, renungku. Nenek Peni yang baru kukenal tapi telah bercerita banyak tentang anak dan cucunya. Sedangkan aku belum sedikitpun bercerita kepadanya tentang diriku yang setiap hari menunggu lelaki bermobil sedan yang sering menjemputku di halte bus itu.

Nenek Peni keburu dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Rasanya, seperti ada yang ikut lepas setelah mendengar nenek Peni meninggal. Entah itu apa. Dan di mana Mas Budi, apakah dia telah menemukan 'jalan lain' lagi untuk mengatasi diriku yang semakin terpuruk di dalam penantian. Sepertinya, aku harus lebih teliti dan berhati-hati setelah tahu bahwa hidup ini penuh dengan misteri.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Sweet Tomatoes Printable Coupons