Sabtu, 12 Februari 2011

Au Revoir Oblie-Moi

PERSOALAN yang selalu kuhadapi saat bertemu dengan Dhesi adalah kenanganku padanya yang teramat purba. Seperti senja yang purba acapkali melahirkan jingga yang tua, jingga yang renta dan tak habis-habisnya menjalar ke tirap rumah, sepanjang sudut, jalan-jalan yang makin berjelaga. Sesungguhnya, ia perempuan yang biasa. Teramat biasa. Ketika seorang teman menanyakan, "Apa keistimewaan yang terletak pada dirinya, sehingga kau merasa begitu takut untuk meninggalkannya?" Aku tak pernah bisa menjawab, pangkal lidahku seperti mampat, tak mau ereksi. Cinta memang selalu gagal menemukan bentuknya sendiri, jika terus-menerus dipertanyakan. Membuatku selalu merasa kasmaran, terperanjat, seperti suara angin yang hilir-mudik, memasuki relung telinga. Membuat telingaku selalu kehilangan suara yang sejati.

Di senja semacam itu, aku ingin menulis surat buat dirinya. Aku berharap senja itu hujan kucur, dengan gerimis yang pelan. Sehingga gerimis itu terlihat begitu sendu mengiringinya. Sepucuk surat buat mantan pacar: setelah senja redup, ada tangis yang kucur. Rindu purba yang meletup, seketika kau melayang jadi harihari yang akan hancur. Meski musim gugur belum juga tiba, mencandai kenangan bulan yang melulu ngeluh. Meski hidup sudah sedemikian tertata, membuka lembar-lembar cuaca. Tinggal lambai tangan, gugur daun, atau debu yang lentur dalam udara lebur. Setelah ini cinta tinggal tanda sebagai mimpi. Serupa pecahan kaca

Dengan kenangan tersebut, aku terkadang merasa begitu cepat tersentuh. Membuat bulu kudukku naik dengan segera, seperti habis melihat hantu. Pembuluh ingatan yang begitu kuat menyentak tubuhku. Membuat badanku terhuyung, mengerahkan segala daya untuk sekadar melupakannya. Tetapi yang aku herankan aku tak pernah bisa melupakannya. Ya, kita memang tak bisa bertahan diri dengan kenangan yang silam, yang memaksa kita untuk bertahan.

"Kau menawan," ucapku di suatu tempat, suatu ketika. Aku tak mau mengatakan dia cantik, toh kecantikan akan cepat pudar seiring waktu berjalan. Apalagi kecantikan yang melulu dieksploitasi di layar televisi. Begitu banyak pelembab, begitu banyak komestik yang menghalangi keindahan yang sebenarnya pada wajahnya. Sebagaimana yang dihadirkan oleh para pembawa acara itu, para ratu kontestan kecantikan itu, sungguh penuh dengan manipulasi. Dipenuhi dengan topeng kepalsuan yang bercadar di wajahnya. Sesungguhnya, aku lebih suka melihat perempuan apa adanya, tidak perlu ditambal-sulam dengan peralatan yang serba modern ini. Memoles gincu pada bibir. Wig di kepala, atau kuteks yang beraneka warna itu. Jika melihat perempuan semacam itu, aku selalu membayangkan kesuraman yanhg teramat pekat menggantung di wajahnya.

Tetapi kenanganku padanya, pada perempuan itu barangkali sudah lama. Kenangan yang berjalan di mana-mana, setiap aku membuka mata, mencungkil pori-pori ingatan yang ada di kepala. Kenangan yang merasuk, setiap hari-hari gugur dan menjadi coklat. Begitu banyak yang tak dapat diungkapkan, selalu melahirkan pertanyaan-pertanyaan baru. Bagaimana tiba-tiba aku tergoda untuk selalu disampingnya, sepanjang waktu. Padahal itu hanyalah sebuah tindakan tolol yang terasa amat sia-sia. Mengapa cinta selalu melahirkan hal-hal semacam itu? Pun ketika aku begitu mudah terbakar emosi, begitu cepat tersulut rasa cemburu, bila Dhesi menceritakan kisah cintanya yang lalu. Cinta yang didapatinya dari laki-laki sebelum aku. Api cemburu itu semakin membesar, meminta aku untuk segera memukul realitas masa lalu yang selalu diutarakan. Tetapi Dhesi memang dengan lihai menceritakan segalanya, membuat aku tersendak. Atau, benarkah perempuan memang begitu suka melakukan hal semacam itu?

Dhesi memang tidak istimewa, tetapi setidaknya aku masih ingat, bagaimana ia dengan ketulusannya mengajari aku dengan segala remeh-temeh kehidupan. Ia selalu menasehati diriku agar tidak terlalu liar memasuki dunia. Dunia ini sudah teramat memabukkan, sudah begitu pusing untuk dihadapi. Jadi buat apa ditambah pusing? Bagaimana ia merawat diriku ketika aku dilanda sakit panas yang berkepanjangan. Di kota ini memang banyak kenalan, tetapi entah pada saat aku membutuhkan pertolongan mereka, dengan seketika mereka menghindar. Kemudian aku merasa dalam kaca, berdiri di tengah kaca yang tembus keluar, namun tak bisa meminta pertolongan.

Aku pikir, aku akan lama menjalin hubungan dengannya. Bermusim-musim. Nyatanya, tidak. Dhesi dengan cepat gegas dari hadapanku. Aku kehilangan lagi orang yang tercinta, sungguh hal yang konyol. Orang-orang yang pernah ditinggali seseorang yang dicintainya pasti akan merasakan kesedihan yang teramat dalam. Begitulah. Mendadak aku begitu rapuh, begitu mudah desole terhadap segala perjalinan tali ini. Mungkin, ada baiknya aku pergi sebentar, mengepakkan sayap dan bermimpi jadi burung. Tetapi itu pun tak lama, burung akan kembali ke dalam sarang. Membangun impiannya kembali, menciptakan harapan yang baru kembali.

Maka aku pun berusaha tegar. Seorang lelaki memang harus begitu, tidak boleh cengeng-pada segala yang menghadangnya. Lelaki harus kuat. Aku perlu mengambil jarak, merenungi kembali setiap kegagalan dalam menjalin hubungan dengan seseorang.

Meski terkadang rasa kangen tiba, mengharu-biru. Setiap aku mengingat masa lalu, saat bagaimana kami senda bersama, bergandengan tangan, atau memilih buku favoritnya. Tawa-tawa yang terasa begitu bahagia. Tawa itu pada mulanya begitu nyata. Namun, selang beberapa bulan, aku merasa jika tawa yang kulahirkan setiap bersama dengan Dhesi hanyalah semu. Terlebih lagi, ia selalu suka menonjolkan kehebatannya di hadapanku. Seakan, ia tak membutuhkanku untuk apapun. Pertamanya, aku merasa bangga dengan perempuan yang mandiri semacam ini. Namun ama-kelamaan, aku merasa tak memiliki tempat lagi di sampingnya.

Sehabis menonton film, yang di dalamnya ada adegan, bagaimana seorang suami menampar istrinya. Adegan film yang melulu melecehkan kodrat perempuan. Ia langsung mengutarakan pendapatnya pada diriku. Katanya, semua lelaki memang begitu. Selalu begitu, dianggapnya perempuan ini makhluk yang lemah, sehingga bias dibuat begini dan begitu. Aku terkesiap. Mungkin itu hanya di film, atau taruhlah hanya beberapa lelaki saja yang kerap melakukan hal semacam itu.

"Kau tidak bisa menarik kesimpulan dengan cara dangkal semacam itu! Tidak semua lelaki semacam itu," aku menjawab penuh semangat. "Buktinya, itu kekerasan terhadap peempuan selalu lahir dari tangan lelaki. Lihatlah film-film, di mana perempuan cuma sebatas pemanis rasa," aku hanya terdiam. Aku tinggalkan ia, aku ingat kata Ibuku, tidak baik menghadapi perempuan yang sedang marah.

Hari-hari kembali lewat. Jam begitu cepat berputar. Kemarahanku pada Dhesi belum juga sirna. Aku tak mau menemuinya. Tiba-tiba relung sunyi itu datang dalam hari-hariku. Aku sudah terlalu biasa untuk tetap bersamanya. Sehingga ketika kudapati waktuku yang pernah hilang itu, aku seperti terkesiap. Membuatku bingung dan linglung.

Sudah hampir dua bulan belakangan ini aku tak menghubunginya. Barangkali, dirinya denganku memang berbeda. Teramat berbeda, yang terus-menerus mengingatkanku pada sebuah selat. Begitu jauh jarak yang membentang antara kami. Sehingga percakapan hanya melahirkan sungai-sungai api. Yang hanya meninggalkan sekelumit emosi. Jika aku bertemu dengannya, hanya akan mencercah perasaanku saja. Membuatku pangling, mesti bagaimana. Terkadang cinta memang begitu abstrak, terlalu banyak hal-hal yang tak bisa diselesaikan. Untuk menyatukan isi dua kepala menjadi satu, memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Cinta bukan hanya sekadar itu saja. Bukan pula hanya percakapan, bunga, telepon, rindu, cemburu-masih begitu banyak yang hinggap di lain tempat.

Aku memang sudah sempat untuk mengajaknya bicara. Dari hati ke hati. Sebab mulut kita terkadang begitu terasa pasi untuk mengeluarkan kata-kata yang indah. Mungkin masih ada vibrasi di dadanya, sebagaimana diriku ketika aku mengingat semua kenangan laluku. Ketika kami masih bergandengan tangan berdua, saling berbicara hal-hal yang remeh tentang kehidupan ini. Tetapi rupanya antara aku dan dirinya telah menderita amnesia yang berkepanjangan. Yang mungkin tak lagi bisa untuk mengingat kesalahan yang telah lalu.

Suatu malam, aku masih mengenang setiap benda pemberiannya: buku kumpulan cerita pendek perempuan, sapu tangan handuk kecil berwarna merah jambu, surat cinta, sms bergambar hati dengan bedak, novel Harry Potter, kembang mawar yang sudah layu. Aku kembali terkesiap, tetapi aku memang mesti kuat menghadapinya. Maka segera saja kukirimkan sms ke ponselnya, kalimat-kalimat yang terasa cengeng dan lirih.

Au revoir, oublie-moi, begitu banyak desole. Bikin afasia, terus eksidis. Oublie-carte du jour-billet doux. Merci buat segalanya. Aku jadi eros, melihat utarid yang melulu padam. Sekali lagi, au revouir, oblie-moi, Dhesi!

Aku pikir, lebih baik aku dan Dhesi jalan sendiri-sendiri saja. Segalanya telah berakhir sudah. Dhesi memang masih tetap menawan, seperti dulu, sebagaimana pertama kali aku bertemu dengannya. Dengan berpisah mungkin ada sesuatu yang akan mendewasakan diri kami. Barangkali, itu memang hal yang terbaik. Walau aku tahu, aku sudah memulai untuk mencintai perempuan dengan setulus hati.

Jakarta-Bandar Lampung, Juli 2003, terima kasih kepada Josepha Violenna Simatupang.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Sweet Tomatoes Printable Coupons