Sabtu, 12 Februari 2011

Berbisik-bisik dengan Cinta

PEREMPUAN itu suka berbisik-bisik dengan cinta. Malam, ia duduk di taman memandang bulan dan bintang-bintang, atau di teras, atau di mana saja di rumah yang gemerlap bercahaya itu. Dan cinta datang menemani.

Dia dan cinta bertatapan, saling senyum bak pasangan kekasih, berbisik-bisik lunak. Begitu lunaknya sehingga tak ada yang mendengar selain mereka. Orang hanya melihat perempuan itu duduk tenang, kadang melunjurkan kaki yang indah, panjang, rileks sekali. Sekujur tubuhnya kuyup dipeluk cinta. "Jangan sekali-kali kau tinggalkan aku," bisiknya manja kepada cinta.

"Tidak," sahut cinta, juga berbisik. "Selama engkau menginginkanku."

"Oh, jangan ragukan aku." Ia menatap sedih. "Aku menginginkanmu. Aku..."

"Ya, aku mengerti. Cup. Sudah, sudah." Cinta membujuk dan keduanya saling senyum kembali, bagai pasangan ke- kasih.

Lalu perempuan itu tegak, berjalan ke bilik anak-anak. Ia buka pintu perlahan, melongok ke dalam. Lalu ditutupnya pintu kembali, perlahan-lahan. Di kamar lain dia perbaiki selimut yang melorot atau ia kecilkan volume AC.

Dengan kakinya yang lampai, bersih berkilau kena cahaya lampu, perempuan itu berjalan ke kamar mandi di kamarnya. Membasuh muka. Mengenakan gaun tidur halus setara kulitnya. "Selamat malam," bisik cinta yang terus mendampingi.

"Selamat malam!" Perempuan itu tersenyum, melenggang anggun ke kamar tidur. Dia sadar hari sudah berakhir dan berharap esok seelok yang dilalui. Suaminya pun telah tidur. Napasnya teratur. Dia rebahkan tubuh di sebelah laki-laki itu. Kadang mereka bercinta tetapi tak kerap lagi. Anak-anak sudah lahir, juga ada yang besar, dan seks jadi lebih sakral.

Ukurannya bukan kuantitas seperti tempo-tempo yang lewat. Ada yang tumbuh lebih indah, hari ke hari semakin subur, wangi melebihi napas bayi. Atau ibarat sayap dari saat ke saat makin lebar, kuat, serta indah bak sayap malaikat. Menerbangkan mereka pada kesadaran-kesadaran yang lebih luas.

"O," bisik perempuan itu suatu waktu, beberapa tahun lalu, tak kuat menahan tangis. "Betapa banyak orang tak berdaya. Alangkah banyak anak yang telantar."

"Tapi jangan menangis," bujuk cinta. "Bukan air mata yang mereka perlukan."

"Betapa ingin aku meringankan beban mereka," kata perempuan itu kembali.

"Mesti ada prioritas," suaminya serta-merta menukas. "Tidak bisa kau tangani semua sekaligus. Tentukan prioritasmu."

"Jadi, kau setuju?" tanya dia girang. Lelaki itu mengangguk. Memeluknya.

*

PEREMPUAN itu bangun seiring lahirnya hari, dicegat cinta saat ia membuka kelopak mata. "Selamat pagi," bisik cinta menciumnya. Tubuhnya kuyup, bergetar.

"Selamat pagi," sahutnya lirih. Lalu melirik suaminya. "Dia masih tidur."

"Lebih baik begitu, ' kan ?"

Ia mengangguk, tersipu. Tubuhnya makin kuyup dan bergetar dipeluk cinta. Ia keluar dari tempat tidur, jalan bersijingkat, dengan tangan-tangan cinta masih melekat. "Kau takkan kulepaskan," bisik cinta seolah berjanji. Perempuan itu melenguh manja, balas memeluk laiknya kekasih.

Sementara itu suaminya masih di alam bawah sadar. Namun biasanya setengah jam lagi saja. Kemudian lelaki itu akan tiba di ujung mimpi: melihat perempuan itu di antara bunga-bunga, tersenyum, cantik sekali.

Dulu, kala muda, ia tergeragap melihat ada yang bersama perempuan itu di sela bunga-bunga. Tetapi tahun-tahun belakangan tidak lagi. Laki-laki itu paham dan mengerti.

Selang setengah jam laki-laki itu bangun, mencari kopi, setelah segala sesuatu yang bersifat personal ia bereskan di kamar. Tak lama loper koran datang. Dia minum kopi dan baca koran. Di langit ti- mur dia lihat sinar fajar mekar, terus mekar menjelma matahari. Cahayanya menjalar pada daun, memupus sisa-sisa embun.

Banyak hal terjadi dalam waktu setengah jam itu. Lampu padam satu-satu. Rumah hidup oleh aneka suara. Anak-anak melengking, tertawa, menjerit, bernyanyi. Dalam kamar mandi, atau di kamar, sambil membenahi tempat tidur. Hidup adalah melayani. Dimulai dari diri sendiri, kamar serta tempat tidur sendiri.

Di luar, mobil-mobil dicuci. Sopir juga memanaskan mesin, bersiul dangdut. Suara air, mesin mobil, berbaur siul dangdut dan dialog riang serta lucu.

"Memangnya bapak dan ibu mau berenang?"

"Lha, tidak."

"Kenapa kolam renang kamu bersihkan?"

"Lha tiap pagi aku bersihkan, kayak kamu merawat bunga. Coba. Memangnya ibu pagi ini mau ke taman memetik bunga?"

"Ya, ndak."

"Memang tidak!" Seorang sopir melintas. "Jadwal ibu padat! Ke panti asuhan, rumah jompo, bank, sekolah Mbak Nita, rumah singgah..."

"Jadi karena itu mas-mas sopir cuci mobil pagi-pagi?"

"Lho, ya ndak. Tiap pagi kami juga cuci mobil, panaskan mesin. Seperti kalian nyiram kembang, membersihkan kolam renang!"

"Tuh, kan!" Mereka tertawa, berseri-seri seperti matahari menjalarkan cahaya. Dan sopir tertegun. "Mati aku! Keran belum kututup!" Ia pun lari terbirit-birit.

"Dasar pikun!" Perawat kolam renang dan tukang kebun mengeraskan ketawa sambil terus bekerja. Hidup adalah tangan yang bekerja.

*

MATAHARI terus mendaki. Perempuan itu usai mandi, mematut diri di muka kaca. Lelaki itu telah berangkat ke kantor. Anak-anak sekolah. Di belakang dan ruang lain hanya suara-suara pembantu, lapat-lapat. Rumah sunyi.

"Jangan memandang aku terus," ujar perempuan itu melihat cinta menatap tak putus-putus. "Aku jadi malu."

"Kamu cantik."

"Ah." Ia tersipu. "Aku tidak muda lagi. Sebentar lagi empat puluh."

"Tapi wajahmu bercahaya."

Perempuan itu kembali tersipu-sipu, bak gadis remaja.

"Apalagi hatimu," bisik cinta. "Dari waktu ke waktu semakin cantik."

"Oh. Itu... itu karena kamu."

"Tidak. Karenamu. Aku tidak berarti bila kau tak sudi padaku."

Telepon bernyanyi. Perempuan itu menyambarnya dengan jemari yang lampai. "Selamat pagi! Oh. Sudah siap. Mau berangkat. Panti asuhan dulu. Ya, jumpa di situ, saja Bu Budi!" Ia tegak, aroma wangi merebak. Diambilnya tas, bergegas melangkah. Hak sepatunya berdetak-detak di lantai marmer, memantulkan betis yang indah.

"Sibuk sekali hari ini?" bisik cinta saat ia melintas di ambang pintu.

"Sangat!" Ia tersenyum.

Jadwalnya memang padat. Panti asuhan, rumah jompo, bank, sekolah anaknya, rumah singgah... Tapi ia senang. Bergairah, terlebih dengan rupa-rupa kegiatan sosial yang digeluti sejak lama. Dia bukan sekadar penyumbang materi.

Di panti asuhan dia tebar kasih, dan harapan berkilau di mata anak-anak. Pun begitu pada penghuni rumah singgah. Di rumah jompo dia menyanyi, bercakap-cakap, menyuapi, dan sunyi berlalu dari mata orang-orang tua tiada daya itu. Hidup adalah melayani, bisiknya selalu.

Matahari terus mendaki, tak henti-henti mendekat puncak hari. Urusannya pun sudah selesai di sekolah anaknya. Juga di bank. Perempuan itu meluncur menuju panti asuhan. Tapi sopir itu teledor lagi. Lupa memencet sentral lock . Di kemacetan lampu-merah seorang lelaki menerobos pintu belakang, masuk, merenggut tas, menusukkan belati. Cepat sekali. Perempuan itu tak sempat menjerit.

Hanya terpana, lalu merintih, terkulai. Bahunya luka. Bajunya berdarah. Sopir teriak, memijit klakson keras-keras, bergegas ke luar. Namun lelaki itu lenyap di sela-sela mobil. Cepat sekali!

*

KINI perempuan itu terbaring di rumah sakit. Pundaknya dijahit. Suami, anak, kenalan, sahabat, berdatangan. Orang-orang memandang cemas, bertanya-tanya.

"Dokter bilang tak apa-apa," jawabnya menenangkan. "Cuma kulit dan sedikit daging bahu saya robek. Tampaknya penjahat itu ingin bikin shock saja. Agar saya tak sempat teriak."

Suaminya manggut-manggut, membenarkan. Tapi orang-orang tetap khawatir, meski tak nyinyir lagi bertanya. "Ya," sambung suaminya. "Sekarang pun sebetulnya bisa pulang. Tapi, baiknya besok saja. Ada kalanya seseorang istirahat di rumah sakit, bukan?"

Para pengunjung tersenyum. Perempuan itu juga. Dan saat itulah dia lihat ada yang tidak ikut tersenyum. Malah muram, dan menjauh, seperti merasa amat bersalah. "Hai," bisik perempuan itu. "Kemarilah, mendekat ke sini. Mengapa jauh- jauh?"

"Biar di sini saja. Aku cuma mau melihatmu. Dan ingin mengucapkan selamat tinggal. Kini kau tentu tidak peduli lagi padaku, setelah peristiwa itu."

"Oh, jangan bilang begitu." Perempuan itu berbisik. Seperti biasa tak ada yang mendengar. Orang cuma melihat dia berbaring, pucat, tapi itu wajar bagi orang sakit; usai mengalami peristiwa mengerikan. "Biar ia istirahat. Mari!" Dan mereka keluar.

"Jangan pergi! Jangan tinggalkan aku!" Perempuan itu memohon melihat cinta juga hendak bergerak meninggalkan kamar bersama pengunjung.

"Kau tak memerlukan aku lagi." Cinta menoleh sedih.

"Oh, jangan katakan itu. Aku perlu kamu. Aku selalu menginginkanmu."

"Kau telah bertemu lelaki buas itu. Sekarang bahu, besok mungkin jantungmu dia tikam. Dan sekarang hatimu tentu mulai ditumbuhi dendam."

"Tidak," bisiknya serak, merasa amat berduka. "Jangan nilai aku serendah itu. Aku kasihan. Aku iba padanya. Aku sempat melihat matanya. Kemiskinan dan putus asa yang membuat dia begitu."

"Begitukah?"

"Mengapa kau ragukan aku?" ia balas bertanya.

Cinta terdiam. Dan tiba-tiba menangis. Bercucuran air matanya. Perlahan-lahan didekatinya perempuan itu. "Maaf, bila aku mendugamu yang bukan-bukan," bisiknya lunak, seperti biasa. "Tidak, aku tak akan pergi. Kau tidak akan kutinggalkan!"

"Oh." Perempuan itu mendesah lega. Dan ia pasrahkan dirinya dipeluk tangan-tangan cinta. Tubuhnya terasa kuyup bergetar. Pengunjung yang baru datang melihat matanya terpejam, juga tersenyum, seperti biasa. "Biar dia istirahat," bisik mereka.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Sweet Tomatoes Printable Coupons