Sabtu, 12 Februari 2011

Bonsai

Dulu, ayahku jarang sekali tinggal di rumah lama-lama di siang hari. Sehabis makan siang, mengaso sebentar, lalu pergi lagi. Tak terkecuali hari Minggu. Kadang-kadang, ayah pergi sehari dua hari ke luar kota dan pulangnya selalu membawa oleh-oleh untuk kami. Kalau ayah pulang pagi hari dari perjalanan luar kotanya, biasanya ayah tinggal di rumah sampai habis zuhur, lalu pergi dan pulang malam hari. Kalau ayah sudah lewat dua hari tidak pulang, saya akan bertanya pada ibu kemana ayah pergi. "Ayahmu pulang ke rumah istri mudanya," jawab ibu tanpa ekspresi yang meyakinkan. Tapi, sebagai kanak-kanak yang berusia enam tahun lebih, sudah duduk di kelas satu, aku menangis tanda protes. Aku akan memukul-mukul ibu dengan tanganku yang kecil, ketika ibu sedang menyusukan adik bungsuku. "Jangan pukul ibu, nanti ibu mati. Kamu mau kalau ibu mati? Kamu tinggal dengan ibu tiri, mau?" Aku semakin menangis, sampai-sampai adik bungsuku yang asyik menyusu itu kucubit tanda kesal dan mengkal. Adik menangis pula. Ibu marah dan mengancamku dengan seikat lidi. Menangis terisak-isak, lari ke beranda mencari belas kasihan kakak perempuanku yang sudah gadis remaja. Dialah ibu kedua bagiku, yang begitu telaten mengasuhku sejak usia dua tahun, ketika adikku lahir. Aku panggil dia uni. Uni akan membujukku pergi ke warung membeli kerupuk atau kembang gula. Setelah usiaku sepuluh tahun, barulah aku tahu bahwa ayahku seorang dai. Kalau tidak jadi Khatib Jumat, ia memberi wirid pengajian. Sehabis shalat Asyar di masjid pasar yang cuma satu kilometer dari rumah, ayah mengajar bahasa Arab untuk remaja dan anak-anak. Karena aku sudah kelas empat, aku disuruh ayah ikut belajar bahasa Arab setiap sore, kecuali hari Jumat dan Minggu. Sejak itu aku merasa tak enak pada ayah. Aku ingin main layangan atau apa saja permainan kanak-kanak sebayaku. Aku ingin cepat besar sebesar uda, kakak lelakiku yang sudah STM. Udaku itu begitu bebas pergi dengan banyak alasan, seperti belajar tambahan, olah raga, dan praktik bengkel. Sedang aku? Meski dibelikan kopiah dan sarung baru, aku lebih suka main daripada belajar bahasa Arab. Tak jauh dari rumahku, hampir tiap sore anak-anak sebayaku berkumpul menyaksikan latihan musik di rumah Pak Daud, tepatnya di pekarangan rumahnya yang luas dan rimbun oleh pepohonan. Di bawah pohon jambu yang besar, ada dua ambin bambu berhadap-hadapan. Di situlah orkes itu digelar, tepatnya latihan. Pak Daud memegang biola, dua temannya yang kira-kira sebaya dengannya memainkan gitar akustik, lalu seorang lelaki muda yang selalu bercukur pendek dan berbadan kekar memainkan string bas. Sementara dua pasang gendang, yakni gendang besar dan tinggi serta sepasang gendang kecil yang pendek, marakas yang terbuat dari batok kelapa yang diberi tangkai, tak ada pemegang tetap. Untuk alat-alat itu, Pak Daud meminta anak-anak yang hadir untuk memainkannya dengan terlebih dahulu diberi petunjuk sekadarnya. Mengagumkan, si Ujang yang baru kelas lima itu sudah pandai memainkan gendang besar, begitu juga Amir dan Danu yang masing-masing bisa bergantian memegang gendang kecil dan marakas. Aku iri pada mereka. Aku berharap Pak Daud sekali-sekali juga menunjukkan, lalu mengajarkan sedikit. Sedikit saja pun jadilah, tapi tak pernah kebagian. Soalnya, ketiga anak-anak itu rajin datang. Belum pukul tiga, mereka sudah main di sana dan lalu ikut membantu mengangkat alat-alat musik itu dari gudang ke luar. Karena itu, aku sering mendoakan agar salah seorang dari mereka absen datang, agar Pak Daud menyuruh aku menggantikannya. Sebenarnya, dengan beberapa kali saja ikut menyaksikan latihan orkes Pak Daud, aku sudah bisa memainkan gendang dan hafal nama-nama temponya seperti: rumba, kalipso, caca, dan joget. Aku rajin latihan di mana saja ada kesempatan dan dengan alat apa saja yang dapat kupukul, seperti gendang. Di rumah, aku sering dimarahi ibu karena menggendang meja makan. Sekali, ibu menjewer telingaku karena aku memainkan dua kaleng roti tempat penyimpan bawang kering dan bumbu dapur sebagai gendang. Akibatnya, adik bungsuku terbangun dari tidur siangnya. Tapi itulah, kadang-kadang hari Jumat saat aku libur sekolah bahasa Arab, tak ada latihan orkes, atau kebetulan hari hujan. Aku kecewa. Tapi, bila hari tak hujan dan tak ada latihan orkes, aku memberanikan diri juga main ke sana. Suatu kali di Jumat sore, aku melihat Danu dan Ujang di sana membantu Pak Daud membersihkan bunga-bunga kesayangannya. Dengan langkah ragu-ragu, aku mendekati mereka. Kedua teman sebayaku itu tampak akrab dengan Pak Daud. Konon Pak Daud tidak mempunyai seorang anak pun dengan Bu Zulaikha sudah punya anak dengan suaminya yang pertama, seorang laki-laki yang kini sekolah di Jawa bersama mamaknya. Kulihat Bu Zulaikha turun dari rumah membawa nampan berisi cerek dan gelas-gelas serta stoples berisi kue-kue. Ia melihatku dan tersenyum, terlihat sinar sebutir gigi emasnya. "O, ada tiga anak. Tadi ibu pikir hanya Ujang dan Danu. Tunggu, ibu ambilkan gelas satu lagi," ujarnya sambil berbalik setelah meletakkan nampan itu di atas ambin bambu. "Hei, kamu kok jarang ke sini? Dilarang ayahmu ya?" tegur Pak Daud begitu melihatku datang. Rupanya aku juga diterima di sini. Hatiku berbunga-bunga. Pak Daud memotong-motong daun-daun yang tidak dikehendakinya pada bonsai-bonsainya dengan sebuah gunting khusus. "Datanglah hari Minggu pagi, kamu boleh ikut main musik," tawar Pak Daud. "Kita akan bentuk orkes anak-anak." Sejak itu aku sudah menjadi anggota orkes Pak Daud dan kami latihan dua kali seminggu. Ayah tidak begitu gembira ketika kukatakan bahwa aku sudah pandai main gitar dan string bas. Ketika kusampaikan pada ayah, bahwa kami akan tampil di gedung Pancasila di malam resepsi perpisahan dengan para sukarelawan yang akan berangkat ke perbatasan, ayah mengerutkan kening. Penampilan orkes di gedung Pancasila itu tidak pernah terjadi karena Gerakan 30 September/PKI keburu meletus. Pak Daud dan istrinya Zulaikha ditangkap karena dituduh terlibat PKI.

Rumah besar kayu itu kini sunyi. Taman bunganya mulai bersemak oleh rumput. Tersuruk di balik pagar tanaman asoka besar, belasan pot bonsai merana, beberapa pot telah menguning. Tanpa sepengetahuan orang, aku membawa tiga pot bonsai beringin ke rumah. Ketiganya kutaruh di bawah pohon jeruk bali di samping rumah, di atas susunan bata bekas. Kupotong cabang-cabangnya yang tidak menarik, meniru Pak Daud yang pernah kulihat beberapa kali. Kusiram tiap sore tanpa sepengetahuan ayah. Bukan apa-apa, jangan-jangan ayah menyuruh aku mengembalikan tanaman bonsai itu karena telah melanggar aturan agama, yakni: mencuri. Hanya kakak perempuanku yang tertarik dengan tanaman kerdil itu. Malah ia mengajak pacarnya menyaksikan tiga pot bonsaiku itu. Meski begitu, kata kakakku, "Ini namanya menyiksa tanaman. Tanaman yang diciptakan Tuhan hidup bebas di alam, kini dipaksa hidup di lahan yang sangat sempit." "Ini? Bukankah ini karya seni?" sergahku. "Dengan menyiksanya?" "Dia tidak tersiksa. Dia hidup terus dengan bentuk yang lebih indah. Konon di daratan Cina, bonsai hidup ratusan tahun karena dipelihara dengan kasih sayang," ujarku meniru kata-kata Pak Daud yang pernah kudengar. "Uni tahu, ini hasil kerja Pak Daud yang Gestapu itu kan? Nah, kalau dia memperlakukan tanaman seperti ini, pantas. Sebab, dia tidak pernah punya anak." "Apa hubungannya?" "Kalau sempat istrinya melahirkan anak, Tuhan akan memberinya anak yang kerdil." Aku tidak bertanya lagi karena kakakku itu sudah pergi jalan-jalan sore dengan pacarnya. Masa itu sudah berlalu tiga puluh tujuh tahun yang silam. Kami sekeluarga pulang ke desa setelah ayah pensiun dari jabatannya sebagai pegawai kantor urusan agama. Kota kecil yang telah mengajarkanku memainkan alat-alat musik untuk pertama kali, dan memperkenalkanku dengan tanaman bonsai, kini hidup kembali dalam ingatanku. Hampir tiga bulan lalu, tetanggaku Ruhut Panjaitan dan istrinya pulang ke Medan secara mendadak karena bapaknya meninggal. Hari-hari sepeninggal keluarga tak beranak itu, rumah kami (mungkin juga tetangga dekat lainnya) terasa sunyi. Tak ada dentingan piano atau gesekan biola lagi yang biasanya mengalun dari jari-jari Pak Panjaitan. Begitu juga lantunan suara Ibu Panjaitan yang sering mengiringi piano suaminya. Konon, Pak Ruhut jatuh sakit dan meninggal pula setelah sebulan kematian bapaknya. Rumahnya yang ditinggal pergi itu kini dijuluki anak-anak sebagai rumah hantu. Ayam-ayam kate yang berbulu putih piaran Pak Panjaitan raib entah kemana. Tanam-tanamannya, terutama bonsai-bonsai beringin, asam jawa, jeruk kingkit, dan entah apa lagi banyak yang mati kekeringan. Dari balik pagar, kulihat masih ada yang hidup, dua atau tiga pot dari jenis beringin atau ficus. Dengan melompati pagar, aku berhasil "menyelamatkan" tiga pot bonsai yang sudah harus dibenahi daun dan dahannya serta perlu penggantian media tanah baru. Dalam tempo dua minggu, ketiga bonsai itu kembali cantik dan mengasyikkan untuk dinikmati. Tapi putri bungsuku bilang, "Itu barang haram." "Justru ayah menyelamatkan hidupnya. Kalau keluarga Panjaitan datang, nanti kita kembalikan dalam keadaan sehat," kilahku. Pot ketiga bonsai itu sudah kuganti dengan pot keramik cantik yang kubeli di supermarket. Dengan sangat bangga, kupajang di teras, di atas bandul terali. Sehabis shalat subuh, kusirami dengan penuh kasih sayang. Tapi sayang, seminggu kemudian ketiga bonsai itu lenyap. Istri dan ketiga anakku tenang-tenang saja. Aku kecewa seperti kanak-kanak kehilangan mainan. Sampai-sampai suatu malam aku bermimpi bertemu dengan Pak Daud yang rambutnya sudah memutih. Ia tersenyum dan memperkenalkan seseorang yang tidak kuingat lagi, tapi rasanya pernah jumpa. Teman Pak Daud itulah yang menyerahkan tiga pot bonsai padaku. Akibatnya, aku bangun lebih awal. Belum subuh, aku sudah membuka jendela agar udara pagi yang segar masuk. Lalu membuka pintu depan dan menghirup udara pagi dengan penuh semangat baru. Tak lama, ketenangan itu diusik oleh suara deru sebuah mobil kijang pick-up berhenti di depan gerbang pagar rumahku. Kupikir, itu Samsu, adik iparku yang tempo-tempo datang dari Pekanbaru. Aku memberanikan diri membuka gerbang pagar, membuka gembok. "Pak, maaf ya Pak. Pagi-pagi sekali saya mengganggu," kata seorang lelaki muda yang menyetir mobil itu. "Anda siapa?" "Saya disuruh teman saya yang mencuri bonsai Bapak seminggu lalu, mengembalikan lagi pada Bapak. Ia menyesal dan minta maaf. Ini, saya bawakan kembali. Terimalah." "Siapa temanmu itu?" "Bapak tidak usah tahu. Tapi yang perlu Bapak ketahui, kini ia jatuh sakit. Setiap malam ia bermimpi jelek, didatangi orang-orang yang menakutkan. Semua memintanya untuk mengembalikan bonsai-bonsai ini." Aku terharu. Orang itu pergi. Azan subuh pun berkumandang bersahut-sahutan dari mesjid-mesjid di sekitar kompleks perumahan tempat tinggalku. Aku baru yakin, aku tidak bermimpi, bahwa bonsai itu kembali lagi setelah aku selesai shalat subuh. Padang , 21 Mei 2002

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Sweet Tomatoes Printable Coupons