Sabtu, 12 Februari 2011

Bunga Mawar Nek Suni

Nek Suni menangis tersedu-sedu di tepi ranjang. Dia tak pernah menyangka cucunya tega berbuat kasar. Barusan tadi, Lusi, yang masih kelas dua SMU, mencengkeram lengannya kuat-kuat. Sakit sekali rasanya. Ia diseret paksa dari halaman, lalu dijebloskan ke kamar. Tubuh ringkihnya gemetar mengingat makian Lusi.

"Dasar orang pikun! Keluar rumah kok lewat jendela?! Mikir, dong!" bentak Lusi sambil menempelkan telunjuk ke dahinya sendiri.

Nek Suni menundukkan kepala ketika Lusi berkelebat di depannya. Mata yang sangar mendelik itu membuatnya gugup. "Bikin malu aja! Untung nggak diteriakin maling sama tetangga!." Amarah di kepala Lusi begitu mendidih. Sambil bersungut-sungut, jendela kamar dikuncinya rapat-rapat. Gordennya di sibak hingga cahaya matahari sulit menerobos kamar. Dan terakhir, brakk!! Pintu di banting kasar. Sunyi mendekap sedu sedan Nek Suni.

Tadi, ketika membuka jendela kamar, mata Nek Suni tertuju ke halaman. Ia tersenyum melihat rumpun mawar yang telah bersemi. Tiba-tiba saja hatinya tergerak untuk memetik bunga itu. Tidak sia-sia menanam dan merawatnya dengan telaten. Dulu, sebelum tinggal di rumah itu, sepetak tanah di depan jendela dibiarkan terbengkalai oleh empunya rumah. Belum lagi sampah dan daun-daun kering menggunung di sana.

Nek Suni bingung. Lompat jendela kan lebih cepat ketimbang lewat pintu. Kenapa Lusi mesti marah? Ah, dasar anak zaman sekarang, suka memperlakukan orang tua seenaknya. Orangtuanya juga salah. Kelewat ngoyo bekerja sampai anaknya lupa diajari tata krama.

Nek Suni bangkit dari ranjang. Mengendap-endap seperti pencuri. Ia tak ingin gerak-geriknya terdengar Lusi. Begitu sampai di dekat jendela, ia menyibak gorden, lalu membuka gerendel kunci sehalus mungkin.

Bunga itu masih di sana. Ada sisa embun melekat di punggungnya. Matahari minggu pagi yang ramah membuatnya berkilat-kilat. Amboi, lihatlah mawar itu! Menari gemulai di buai angin. Seekor kupu-kupu, entah dari mana datangnya, terbang berputar-putar sebelum hinggap di bibir bunga.

Angin berhembus sepoi. Mengirim aroma mawar ke hidung Nek Suni. Oh, harum sekali, desis Nek Suni dalam hati. Tangannya melambai-lambai, mengucap selamat jalan, ketika kupu-kupu itu terbang menjauh.

***

Meja makan ini sunyi sekali. Menu terhidang lengkap, tapi Nek Suni tak ada selera untuk menyentuhnya. Kenangannya melesat ke kampung. Ia ingat Marto anak bungsunya, Sukowati mantunya, dan keempat cucunya yang mungil. Mereka selalu meluangkan waktu untuk makan bersama. Entah sarapan, makan siang, atau makan malam. Itu sudah jadi kewajiban tak tertulis. Meski hanya duduk menghampar di atas tikar pandan, tapi diselingi obrolan ringan dan senda gurau, suasana jadi tambah hangat dan penuh warna. Nek Suni merindukan saat-saat yang hilang itu.

Jauh beda dengan di sini. Lastri, pembantu kenes dan bawel, tadi berceloteh panjang lebar. Katanya Pak Handoyo, putra sulung Nek Suni, sudah tiga hari belum pulang. Kesibukannya makin padat semenjak diangkat jadi pimpro. Proyeknya miliaran. Utang luar negeri. Nek Suni bingung membayangkan bagaimana rasanya mengurus uang sebanyak itu. Apa Handoyo tak tergiur menilepnya? Astuti, mantunya yang pintar merawat badan, sedang pergi arisan. Pulangnya sore karena langsung fitness. Rudi, kakak Lusi, belum pulang. Latihan band sama teman-teman, begitu katanya waktu pamit pada Nek Suni. Sementara Lusi, entah sudah pergi ke mana. Kalau tak dijemput pacarnya barusan, mana berani Nek Suni keluar kamar. Ditaruh di mana mata anak itu? pikir Nek Suni sengit waktu mengintip lewat jendela. "Milih pacar kok yang tampangnya berandalan."

Isi perut yang mulai merintih memaksa tangan Nek Suni meraih piring. Makannya sedikit sekali. Belum sebulan tinggal di rumah itu, tapi ia sudah tidak kerasan. Tempat itu bagai neraka kecil. Percuma Handoyo memboyongnya dari kampung, tapi begitu sampai di rumah mewah ini, Nek Suni justru merasa seperti orang asing.

***

Kening Handoyo berkerut. Berkas-berkas proyek berserak di meja. Lusa, tim review mission ADB datang. Handoyo tak ingin mereka menemukan kejanggalan. Kursi basahnya bisa melayang dan reputasinya pasti anjlok. Jangan sampai kecerobohan rekan-rekan sekantornya terulang lagi. Mereka keburu silau melihat uang banyak, sampai lupa bermain cantik sewaktu menyusun laporan. Astuti dan Lusi sedang menonton sinetron. Rudi mengurung diri dalam kamar sambil main play station.

Ketika Astuti menanyakan Nenek, Lusi merasa itulah saat yang tepat untuk buka mulut. Sambil membolak-balik majalah, dengan suara gamang, Lusi bertanya, "Ma, kenapa sih, Nenek nggak kita titipkan di panti jompo saja?!." Astuti sedikit kaget mendengar pertanyaan macam itu.

"Lho, memangnya kenapa?" selidik Astuti.

"Mmm, kita kan punya kesibukan masing-masing. Waktu untuk mengurus nenek jadi terbatas. Kasihan, kan?! Beda kalau di panti jompo. Ada perawat yang telaten mengurusnya."

Astuti tak langsung menelan kata-kata Lusi. Instingnya mengatakan ada sesuatu yang tak beres. Ia bertanya seperti menginterogasi. Merasa terpojok, akhirnya Lusi membeberkan kejadian beberapa hari lalu. Astusi tak bisa membendung tawa membayangkan kelakuan mertuanya. "Pernah juga Nenek kepergok minum pakai piring. Kebayang gak sih?! Apalagi kalau teman Lusi datang. Semuanya diceramahi. Mereka sih cengar-cengir aja. Lusi malu, Ma. Mau ditaruh di mana muka Lusi?" Unek-unek yang selama ini terpendam, dimuntahkan di depan mamanya.

"Lusi, Nenek kan sudah tua. Kita yang muda, wajib mengurusnya. Makanya Nenek dibawa kemari, supaya bisa istirahat sambil menikmati hari tuanya."

"Iya! Nenek yang istirahat, kita yang kelimpungan." celetuk Lusi. Astuti mendelik. Kalau kalimat itu terdengar suaminya, bisa panjang ceritanya.

"Sudahlah, nanti kita pikirkan lagi." jawab Astuti tak acuh. Tayangan iklan sudah habis. Ia tak ingin ketinggalan lanjutan sinetron kegemarannya.

Tak ada yang tahu kalau Nek Suni menguping percakapan itu. Telinga kirinya menempel di balik pintu. Sesekali ia mengintip dari lubang kunci. Mendengar dirinya akan dititipkan ke panti jompo, Nek Suni terhenyak kaget. Ia melangkah gemetar ke ranjang. Meringkuk di balik selimut.

Jiwa Nek Suni seperti disayat-sayat sembilu. Alangkah getir nasibnya kini. Di usia senja, ia ibarat sampah. Jadi benalu semua orang. Setiap yang dilakukannya selalu salah. Dan sekarang, darah dagingnya sendiri tega membuangnya ke panti jompo. Nek Suni nelangsa. Ia terkenang rekan-rekan seusianya yang sudah lama pergi. Kenapa Tuhan belum juga mencabut nyawaku, rintih Nek Suni dalam hati.

***

Suatu hari, keluarga Handoyo gempar. Nek Suni hilang. Tetangga sekitar rumah ditanya satu per satu, barangkali ada yang melihatnya. Tapi semua hanya menggeleng. Handoyo kalut dibuatnya Sanak famili dan kantor polisi dihubungi. Di zaman kejam begini, jalanan kota besar seperti mulut harimau lapar. Kejahatan bisa menimpa siapa saja tanpa pandang bulu. Nek Suni tentu mangsa yang empuk buat para penjahat. Apalagi ia tak tahu seluk-beluk kota ini.

Dua hari kemudian, sekitar jam tujuh malam, telepon berdering. Handoyo bergegas mengangkatnya. Tombol speaker ditekan supaya yang lain bisa mendengar. Mereka menahan napas. Berharap telepon kali ini membawa kabar tentang Nek Suni. Mereka menduga-duga siapa yang menelepon. Dari kantor polisi, dari orang baik hati yang telah menemukan Nek Suni, dari famili, atau penculik yang minta tebusan….

Tapi semua bayangan buruk itu pupus begitu terdengar suara Marto di seberang sana. Rupanya, ia interlokal dari kampung.

"Ibu sudah pulang, Bang."

"Ha? Pulang? Kapan?"

"Tadi sore, diantar polisi. Kami kaget sekali melihatnya."

"Ha?! Diantar polisi?"

Handoyo terperangah. Astuti, Rudi, Lusi, dan Lastri menoleh serempak ke arahnya. Mereka tak percaya. Bagaimana caranya orang setua Nenek dan menurut mereka sudah pikun, bisa pulang sendirian ke rumah Marto yang jauh di seberang pulau sana. Lalu, diantar polisi? Apa yang dilakukannya?

Terdengar tawa Marto. Nek Suni tersesat di terminal, lanjutnya. Untung ada polisi yang mengantar Nek Suni sampai ke rumah. Handoyo menggelengkan kepala sambil mengembuskan napas lega.

"Coba kau tanya Ibu, kenapa pakai acara minggat segala? Kami di sini kelimpungan, khawatir terjadi apa-apa sama Ibu."

"Sudah, Mas. Semula Ibu bungkam. Tapi setelah dibujuk Suko, baru mau cerita. Katanya dia kangen sama bunga mawar di kampung, Mas. Makanya Ibu langsung pulang tanpa pamit." Handoyo tambah terkesima mendengar alasan yang nyaris tak masuk akal itu.

"Halo,.. Mas Handoyo…hallo?!"

"Eh, ya, ya, Kupikir Ibu ndak betah tinggal di sini."

"Oh, ndak, Mas. Ibu kerasan di kota. Tapi, ia lebih senang di sini, sambil mengurus bunga mawarnya." Handoyo menarik napas lega. Ada-ada saja, pikirnya.

"Mas, Ibu titip salam buat keluarga di sana. Oya, beliau juga ada amanat khusus buat Lusi. Katanya, bunga mawar di depan rumah tolong dirawat baik-baik. Jangan sampai rusak. Kalau rusak, ia akan menyesal seumur hidup. Begitu pesannya…."

Gagang telepon di tutup. Seisi rumah itu saling berpandangan tak mengerti. Lalu, tatapan mereka serempak tertuju pada Lusi, seperti menagih jawaban darinya.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Sweet Tomatoes Printable Coupons