Sabtu, 12 Februari 2011

Ibu Memandang Gunung

IBU memandang gunung dari beranda. Di mata beliau gunung dan juga bukit mendekat dan mendekat, lalu merunduk. Lengkap dengan pohonan, daun, serta batu-batunya. "Lihat, lihat!" seru ibu. "Bahkan gunung tidak kuat menahan getar rinduku!"

Adik-adik tercengang, saling pandang. Adik-adik merasa iba sekaligus cemas. Tapi ayah tidak menoleh. Cuma mendengus. Bagi ayah rindu justru sesuatu yang suka ngelunjak tak ubahnya penjajah, yang dulu ia perangi habis-habisan di masa revolusi. Diberi kaki minta paha, diberi paha mau hati. Lantas mengebat, mendikte, menguasai. "Padahal, orang harus bebas!" ujar ayah. "Siap sendiri, kapan saja di mana saja. Sebab lahir dan mati juga sendiri-sendiri!"

Terdengar gagah, dingin, dan kukuh. Tapi sebetulnya tidak. Itu cuma semacam keangkuhan, atau kepura-puraan lelaki belaka. Sebutlah masih bagian dari superioritas laki-laki, yang selama ini ditonjol-tonjolkan

Nyatanya, di hari keberangkatanku dan sebelumnya saudara-saudaraku, justru ayah yang banyak petuah. Sementara ibu hanya menatap, seakan memetakan wajah-wajah kami lekat-lekat dalam benak. Sekaligus menyalakan suluh pada jalan pulang, supaya anak-anaknya tetap ingat dan tidak tersesat. Dan dalam petuahnya antara lain disebut-sebut ayah harapan untuk mendapat surat . "Lebih afdol lagi bila dalam tempo-tempo tak terlalu lama, kalian sendiri yang datang berkunjung," tambah beliau, meski tidak diucapkan dengan mata berkaca-kaca atau suara terbata, melainkan tetap dengan rahang yang kukuh. Serta mata yang menatap lurus.

"Mengapa begitu, Yah?" adikku terkecil bertanya.

"Karena itu yang tersisa bagi orang tua," sahut ayah. "Berita. Lebih-lebih rupa, dan suara. Lainnya tentu lenyap. Milik kalian, seiring usia."

"Aku tak mengerti, Yah."

"Kau terlalu kecil untuk mengerti," kata ayah.

Adik terkecil tak berkata lagi. Mungkin benar waktu itu dia masih terlalu kecil buat mengerti. Tapi aku paham. Malah juga getar suara ayah, helaan napas, serta sorot matanya, aku pahami.

Karena itu, sewaktu ibu menatap gunung dan gunung di mata beliau mendekat lalu merunduk seperti hendak sujud, ayah sebenarnya pura-pura tidak peduli. Dapat dipastikan diam-diam ia pun menatap gunung, entah kapan dan di mana. Dan saat ibu berucap "bahkan gunung pun tidak kuat menahan rinduku" dengan mata gabak (lalu turun menjadi hujan, juga mengalir jadi sungai), ayah hanya berlagak saja mendengus. Hati beliau sebenarnya kuyup bergetar, bisa jadi bak gambaran sajak penyair Prancis itu: air mata dalam kalbuku, bagai hujan di atas kota .

Anehnya, menurut adikku terkecil, ibu pun bagai tidak tahu. Atau beliau pura-pura tidak tahu, lantaran berniat menohok keangkuhan atau kepura-puraan lelaki yang ditunjukkan ayah. "Memang," kata ibu kemudian menyindir. "Dalam petuah lama itu ayah juga tidak disebut-sebut. Hanya: kasih anak sejangkauan, sayang ibu sepanjang jalan."

Ayah ketawa sumbang, tak kuasa terbahak. "Bukan di situ soalnya," ia bilang.

"Lalu, di mana?" ibu menantang.

"Kupikir...."

"Ini masalah rasa," sergah ibu tangkas. "Tidak terselami oleh pikiran."

"Ya, ya." Ayah akhirnya manggut-manggut, tapi tampak goyah. "Kurasa... ya, lantaran selalu dituruti, tanpa sadar bahayanya," dia bilang. "Padahal, rindu adalah air laut, makin dahaga kalau diminum. Tidak. Rindu adalah penjajah. Orang akan dikebat dan didiktenya bila terus dituruti!"

"Itu hitungan akal," jawab ibu. "Sudah kubilang, pikiran tidak akan sampai ke sana . Tidak mampu menyelesaikan."

"Dan perasaan?"

"Perasaan adalah naluri," kata ibu. "Pada makhluk tidak berakal sekalipun ada naluri. Namun naluri paling dahsyat, mulia sekaligus nikmat, walau kadang mendera, hanya bersemayam di hati seorang ibu. Lain pihak, tidak. Kecil saja, sekadarnya saja. Cukup asal memiliki."

Ayah mendengus lagi. Lalu diam memandang halaman. Ibu sendiri tampaknya sudah puas, tidak lagi bicara, serta kembali memandang gunung. Dan menurut adikku, sejak itu kedua orang tua kami sering terlihat saling diam, meski sama-sama duduk di beranda. Dan terkadang malahan berdampingan.

Masing-masing seolah sibuk sendiri. Ibu dengan mata tidak lepas memandang gunung; ayah baca koran, buku, atau majalah. Herannya, walaupun mata ibu terlihat gabak, tapi ketika berdua-dua begitu tak terdengar lagi beliau berucap: "Lihat, bahkan gunung pun tak kuat menahan rinduku". Dan ayah pun, yang sedang membaca, seperti tidak beranjak matanya dari satu halaman ke halaman lain, bahkan dari satu kata ke kata lain.

"Keduanya bukan hanya seperti melamun, akan tetapi juga seolah-olah tengah menyelesaikan sesuatu yang amat berat, dan berkecamuk dalam diri masing-masing," kata adikku.

Konon, berhari-hari berpekan-pekan berbulan-bulan bahkan bertahun ayah dan ibu seperti itu. Sampai uban di kepala mereka tambah banyak, dan adikku terkecil itu tumbuh remaja, serta tinggal dia satu-satunya dari sepuluh saudaraku yang menemani ayah dan ibu. Sedang kami semua saudaranya sudah merantau, bertebaran di berbagai pelosok negeri dan dunia. Berkeluarga, dan juga beranak pinak di rantau, hingga jalan pulang tinggal samar-samar saja dalam ingatan, tak ubahnya kelap-kelip dian di gelap malam.

Lalu pada suatu hari, dengan mata tidak juga lepas dari gunung dan bukit yang menghijau di selatan kota kami, terdengar ibu menarik napas. Lantas berucap lambat-lambat, bak menanam sesuatu dalam diri: "Rindu adalah air laut. Tidak. Bukan. Rindu tidak ubahnya penjajah...."

"Itu tak benar!" ayah seketika menyanggah, seakan telah menyiapkan jawaban itu sejak lama.

"Tidak benar?" Ibu menoleh padanya, untuk pertama kali setelah sekian lama.

"Tidak benar!" Ayah menggeleng. "Itu berlebih-lebihan. Terlalu dibuat-buat!"

"Siapa melebih-lebihkan? Siapa yang membuat-buat?"

"Aku."

"Ah." Ibu mengeluh. Menarik napas. "Lantas, apa ini namanya yang mengebat dan tiap waktu menderaku?" tanya beliau.

"Ia memang mengebat, mungkin juga mendera, tapi tak menjajah," sahut ayah. "Ini takdir para orang tua. Siapapun, di manapun, dan kapanpun. Inilah takdir kita."

"Kita?" Ibu kembali menatap ayah dengan mata tak berkedip.

"Ya, kita!" balas ayah seolah hendak meledak. "Mengapa selama ini berpikir, hanya semata-mata ibu yang menanggung? Amat tidak adil. Petuah lama itu mestinya berbunyi: rindu anak setikungan, rindu orang tua sepanjang jalan. Dan orang tua itu adalah ayah, beserta ibu."

"Ibu beserta ayah," bilang ibu.

"Sama saja," balas ayah. "Ibu beserta ayah juga boleh!"

Perlahan-lahan ibu tersenyum, untuk pertama kalinya pula setelah sekian lama. Sejak mereka biasa duduk berdua saling diam.

Kemudian gerimis turun di kota kami, juga kabut, sehingga segalanya berubah menjadi putih. Sebetulnya bukan suatu yang luar biasa bagi kota kami. Tapi kini jadi peristiwa luar biasa. Bukit dan gunung tidak lagi kelihatan, lenyap di balik kabut serta gerimis, yang menderai bagai jarum-jarum halus. Begitu juga rumah, gedung, kantor, pohon, daun, semua putih. Ayah dan ibu membisu di beranda, duduk berdampingan, menyimak cuaca dengan seksama. Wajah mereka sendu. Pun mata dua orang tua itu, terlihat sayu. Lalu angin bertiup dan matahari mencorong pula. Alam seakan asyik bermain warna-warna. Kini rumah-rumah tampak lagi, berwarna-warni. Gunung dan bebukitan di selatan kota kami muncul kembali, menyajikan warna hijau tua maupun hijau muda yang bersih. Amat bersih, basah, dan segar.

"Lihat! Lihat!" ucap ayah bergetar. "Bahkan bukit-bukit dan gunung pun tidak kuat menanggung rinduku. Kini muncul mereka kembali!" Mendengar itu ibu tak lagi terpana dan tercengang. Dipegangnya lengan ayah, ditepuknya pelahan-lahan. Mereka lalu sama-sama memandang bukit dan gunung. Berdua. Tak bicara, hanya berpegang tangan. Dan sampai senja.

"DEMIKIANLAH, aku ceritakan semua ini lebih rinci kepadamu, seperti juga kusampaikan kepada saudara-saudara kita yang lain," kata adikku terkecil lewat surat. "Karena akulah saksi semua itu. Sejak berbilang tahun. Sejak kau dan saudara-saudara kita berangkat satu-satu meninggalkan rumah, dan tak pernah kembali --atau kalaupun ada, jarang sekali. Dan mudah-mudahan, dengan ceritaku ini dapat lagi kau lihat suluh yang dinyalakan ibu itu pada jalan pulang. Bagiku sendiri cahayanya tetap benderang, tidak pernah pudar."

"Penyair terkenal itu memang pernah berujar," lanjut adikku. "Bahwa anakmu bukanlah anakmu ... dan seterusnya. Dan tanpa berniat mau jadi penyair, tapi aku pun ingin mengatakan di sini: ibu, juga ayah, adalah hati yang tidak lekang menunggu, kendati sadar tidak memiliki . Seperti ditulis penyair itu, anak adalah milik kehidupan. Namun, Saudaraku, kita juga akan menjadi tua. Dan tahu kelak, bagaimana hati yang tidak pernah lekang dalam menunggu."

Tiba-tiba aku sadari betapa lekasnya waktu berlalu, dan aku mabuk bergulung-gulung di dalamnya, sibuk. Hingga masa lalu semakin sayup bagai ekor tikus. Sudah berapa lamakah sejak aku berangkat meninggalkan rumah ibu? Ah. Dan lalu, kini, pun terngiang ujar ayah: "Sebab hanya itu yang tersisa bagi orang tua, Nak. Berita. Lebih-lebih rupa, dan

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Sweet Tomatoes Printable Coupons