Sabtu, 12 Februari 2011

Keluarga R

WAKTU menyempurnakan segalanya. Memburai, mengacak, juga menatanya kembali. Tidak ada yang abadi. Juga di rumah seberang jalan itu. Dulu ada sembilan kepala, sembilan mulut, sembilan perut di rumah itu. Kami sebut keluarga R karena namanya semua diawali huruf R. Mulai Rus'ad, sang ayah; ibu, Rakena; lantas tujuh anak yang berleret susun paku: Ridwan, Rosmalia, Ruslan, Rustam, Rismun, Rusmin, dan Ramena.

Keluarga R dapat pula kita tandai dari kepala mereka yang terlihat lebih besar dari rata-rata kepala manusia, serupa jerangkong. Serta mulut menerowong seakan tak pernah mengatup, perut bagai tidak berlantai. Khusus Rustam yang sebaya denganku, dan Rismun sang adik, ditambah perangai balaku baruak alias nakal, rakus, bandel, kurang ajar tidak ubahnya beruk. Rusmin juga mulai mengarah perilaku itu, kendati masih tiga tahun. Apa saja dipanjat. Apa yang terlihat direbut, dipurukkan ke mulut. Ramena yang berumur beberapa bulan pun demikian. Tidak henti menggeliat, meliuk-liuk. "Lasaknya!," ujar ibu, tiap kali bayi serupa kera itu dibawa ibunya atau Rosmalia main ke rumah. Ditepuk-tepuk ibu pinggulnya tetapi Ramena tetap meliuk-liuk seolah terbuat dari karet.

Rustam dan Rismun, bukan cuma lincah memanjati tembok halaman belakang, bergayutan di pohon jambu, mangga atau pisang; juga menyusup masuk dapur, duduk mencangkung melihat ibu memasak. Tepatnya, mengamati yang dimasak ibu. Begitu yang dimasak diangkat dari penggorengan, mereka sambar. "Tunggu!," seru ibu, tidak jarang dengan menokok tangan keduanya. "Basuh tangan dulu!," Dua bersaudara itu terbirit-birit ke kamar mandi, sementara ibu menyendok dua piring nasi, sayur, sekerat ikan, atau kentang goreng balado.

Sedang lahap-lahap begitu kadang aku muncul. "Rustam! Rismun!" Keduanya tergeragap, menyeringai menampakkan taring dan gigi-gigi yang kuning. Dan selesai makan ngeluyur beriringan bak beruk kekenyangan. Lebih seru bila aku muncul saat mereka dicegah mencomot sesuatu. Selain kubentak, kusepak. "Rakus!," Keduanya lagi-lagi menyeringai, kabur, tetapi tak lama mencogok kembali. Ngehek benar!

Hanya saja, ibu dan ayah tak suka aku begitu. "Kenapa harus kasar dan marah-marah," tegur ayah. "Jangan biasakan dirimu dihuni rasa marah dan tidak suka kepada sesama!"

"Kasihan," ibu menambahkan. "Lagi pula, takkan mengurangi kalau kita beri."

Memang tidak mengurangi. Mangga atau jambu kami tetap lebat buahnya, dan yang diminta Rustam juga potongan potlot tidak terpakai, sisa hapusan atau buku tak digunakan. Ibu sesekali memberi pakaian bekas. Tetapi, jengkel terus aku menengok kepala bak jerangkong, mulut menerowong itu. Apalagi kalau bermain, tidak pernah Rustam tak membawa adik. Bila tidak Rusmin, ya, si Rismun. Keduanya sama, cuma nama saja dibolak-balik.

Satu-satunya yang meredam rasa gusarku, Rustam pintar di sekolah. Apa saja dijelaskan Bu Ainah langsung terperangkap dalam kepalanya yang besar, lekat bahkan berkembang biak di situ. Ia juga tidak pelit. Maksudku, kalau ada ulangan aku cukup mendesiskan "ssst" maka lembar jawaban dia dekatkan hingga bisa kusalin seutuhnya, hingga ke titik-koma.

Tetapi itu tetap tak membuatku cepat kaki ringan tangan disuruh ibu ke rumah seberang jalan itu; mengantar gulai, nasi, ubi, talas, keladi, pisang, serabi atau apa saja sebagai pengganjal perut. Ada saja alasanku, hingga adik atau kakak perempuan yang pergi. Sekembali mereka kasak-kusuk aku bertanya, "Bagaimana, bagaimana? Sedang mengapa mereka?"

"Menyanyi!"

"Menyanyi?"

"Menyanyi. Ngobrol. Tertawa-tawa!"

Itu lagi kebiasaan sekaligus keanehan keluarga R. Kumpul sore-sore, termasuk Pak Rus'ad dan nyonya, kemudian mengobrol, bernyanyi, tertawa-tawa, seolah tidak ada apa-apa.

Pernah, usai magrib, aku tak dapat mengelak disuruh ibu mengantar serantang makanan ke rumah seberang jalan itu. Memasuki halaman sudah kudengar suara-suara orang menyanyi, bercakap-cakap, diselingi gelak tawa. Lantas senyap, terhenti, waktu aku tiba-tiba mencogok di ambang pintu. Berpasang-pasang mata terpaku kepadaku. Persisnya, bawaanku. Kemudian Bu Rakena senyum-senyum menghampiri.

Pulangnya, iseng aku berbelok ke samping, dan diam-diam kulekapkan kuping ke dinding. "Mak, aku dulu Mak! Aku dulu!" Kalau tidak Rusmin, tentu Rismun. Bisa juga Rustam.

"Sabar, sabar. Semua dapat. Semuanya diberi."

"Tapi aku dulu Mak! Sejak siang aku belum makan!"

"Adik dan kakak-kakakmu juga. Nah, ini, makanlah!"

Sesampai di rumah kuceritakan semua, disertai rupa-rupa bumbu.

ANGGOTA keluarga R kemudian lenyap satu-satu. Mula-mula Ridwan, anak pertama, yang suka senyum serta penyapa. Konon dibawa famili ke Jakarta. Menyusul Ruslan, ke Medan, juga dibawa keluarga. Di tempat kami wujud kekerabatan seperti itu. Mereka yang merantau, apalagi jaya, menjelma lokomotif penarik bagi yang lain. Jadi wajar bila Anda jumpa orang daerahku di mana pun kapan pun di pelbagai belahan dunia. Mereka pasti tidak sendiri di sana.

Lalu kepala keluarga, Rus'ad, lenyap. Tapi tak lama, sekitar lima-enam bulan. Barangkali penguasa tahun '66 juga berpikir, tak mungkin tukang gerobak seperti Pak Rus'ad ancaman bagi negara, sehingga ia dilepas kembali setelah di bui. Jika pun ikut-ikutan organisasi pasti agar lebih mudah dapat minyak tanah, sabun, atau gula; seperti ayah masuk koperasi.

Tetapi Pak Rus'ad tidak balik ke profesi semula pulang dari bui. Alih profesi jadi anak-ula , alias kernet lepas bus jurusan Bukittinggi --terkadang ikut bus ayah. Tubuhnya tambah kurus, kepalanya makin mirip jerangkong, keluar penjara. Dengan kondisi begitu bisa-bisa dia yang didorong gerobak disarati berkarung-karung beras, kelapa, minyak goreng, sayur-mayur, entah apa lagi. Masa itu, pedagang di kota kami mengandalkan gerobak bertenaga manusia mengangkut mata dagangan dari stasiun ke pasar atau sebaliknya. Sejumlah orang bergiat dalam jasa ini, tetapi tidak seorang pun bertubuh kerempeng dan berkepala besar bagaikan jerangkong.

Sementara itu, Rosmalia dan Rustam lenyap saat Pak Rus'ad di penjara. Rosmalia dibawa famili entah ke Dumai, Rumbai, Duri, tidak kuketahui. Yang tahu dan merasa kehilangan abangku, Zein. Selain sama-sama kelas satu SMA, sekelas pula, Zein ada hati pada Rosmalia. Itu sebabnya Zein oposan kami di rumah selain ibu dan ayah.

Tapi Zein berlebihan. Mati-matian dia bela keluarga R. Juga kelewat sensitif. Misalnya, kalau aku mengacungkan lidi sate kota kami yang terkenal sedap itu dengan menggoyang-goyangnya, Zein langsung membelalak. "Tidak baik begitu!" dia bilang. "Kalau rezeki Pak Rus'ad sebaik ayah tentu anak-anaknya sehat seperti kita!"

Rosmalia sebenarnya manis. Bahkan cantik, dengan kulit halus warna gading, suara dan senyum lembut, bola mata hitam-bulat tidak berputar-putar liar. Tapi seperti saudara-saudara serta orang tuanya, tubuh Rosmalia lurus saja, panjang, dan memang mirip lidi sate.

Ke mana raibnya Rustam diajak famili, tidak kuketahui. Mungkin ke Bandung , Semarang , Surabaya , sungguh tak terang. Aku juga tak bernafsu mengetahui. Sebagai kawan Rustam hanyalah mentimun bungkuk, ada tapi tidak masuk hitungan --kecuali ada ulangan. Selain itu, setahun setelah kepergiannya, tamat SD, giliranku lenyap dari kota kami. Ikut, sekaligus disekolahkan abang sulung yang sudah mandiri di Jakarta .

Hari-hariku selanjutnya sarat dengan kesibukan sekolah, kuliah, bekerja, lantas menikah. Keluarga R sesekali saja teringat. Misalnya jumpa relasi bernama Risman, Rasmin, Rismuji. Dan kalaupun ingat tidak merangsang tanya bila aku pulang sesekali ke kota kelahiran. Sampai satu hari tiga puluh tiga tahun sesudah kepergianku, mataku bagai terganjal tidak dapat berkedip menatap seorang pemakalah dalam suatu seminar di Bandung. Rustam Rus'ad, PhD ekonomi lulusan universitas kenamaan di Amerika Serikat!

Memang sulit dipercaya. Tapi ketika moderator membaca biodatanya, perlahan mataku berkedip lagi. Ia memang Rustam si mentimun bungkuk, keluarga jerangkong. Namun mulutnya tidak lagi menerowong. Dan meski bagian depan kepalanya botak bagai kepalaku, karena usia, kini tak mirip jerangkong. Malah serasi dengan tubuhnya yang bugar berisi, membuatku teringat kembali ucapan abangku Zein yang telah tiada, mati muda.

Kudekati dia saat rehat. Dan bila aku masih tertegun-tegun, Rustam langsung terbelalak. Sekejap kemudian didekapnya aku erat-erat. "Mandius! Mandius!” ujarnya dengan suara bergetar, dan serak. Kepada orang-orang yang terpana di sekitar kami, ia lalu berucap: “Saudara saya! Sahabat baik waktu kecil!" Alamak!

***

PULANG libur ke kota kelahiran bersama istri, anak-anak, dan calon menantu, kuceritakan pertemuan itu kepada ibu. "Jumpa aku si Rustam di Bandung," kataku.

"O, ya," balas Ibu. "Memang di Bandung dia. Abangnya si Ruslan sekarang di Batam, pengusaha hotel. Adiknya Rusmin, jadi dosen di Medan."

Betapa ajaib sang waktu memburai-burai nasib, sekaligus menatanya kembali. Kutoleh rumah seberang jalan itu melalui jendela yang lebar terbuka. "Siapa sekarang penghuninya?"

"Anak si Ridwan nomor tiga," sahut Ibu. "Si Ridwan pun kerap pulang setelah pensiun dari departemen luar negeri. Selalu singgah dia kemari."

Dari Ibu pula kutahu Rismun sudah meninggal dunia. Bukan jatuh dari tembok pekarangan kami, tetapi helikopter, pulang survei minyak di lepas pantai Pulau Pagai. Rismun insinyur perminyakan. Rosmalia istri wali kota di Sumatra. Dan ibu mereka, Rakena, bersama Ramena. Ramena sendiri, yang sejak kecil dibawa abangnya Ridwan ketika tugas di sejumlah negara Eropa, guru balet di Paris; menikahi pria bule, punya anak satu. Tentu bukan karena namanya serupa nama Rumania, atau orang-orang Eropa Timur.

"Senang hidup si Rakena itu sekarang, telah dua kali naik haji," ujar ibu. "Tapi Tuhan punya rencana lebih sempurna, buru-buru memanggil suaminya, seperti juga ayahmu."

Sebagaimana ayah, Pak Rus'ad telah wafat. Jauh lebih dulu dari ayah, kira-kira setahun sekeluar penjara. Walau lima-enam bulan saja di bui, agaknya tidak kuat batin dan tubuhnya yang tipis-kerempeng bak jerangkong menanggung derita.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Sweet Tomatoes Printable Coupons