Sabtu, 12 Februari 2011

Sebelum Hujan Turun

LAKI-LAKI yang dipanggil ‘Mas' oleh Dhesi, telah selesai melakukan ritual sucinya. Sepasang pengantin, telah selesai bercinta di tengah malam yang hitam. “Mas, kalau tadi berkisah tentang hujan yang turun di suatu kota. Aku ingin Mas berdongeng tentang kejadian sebelum hujan. Ayo, dong Mas...”

Laki-laki itu bingung, ia merasa kehabisan napas. Masih ada letup birahi yang menjilat tubuhnya. Keringat masih membasahi tubuhnya. “Sebelum hujan? Sebelum hujan bagaimana?”

“Ya, peristiwa yang terjadi sebelum hujan. Adakah cerita tentang itu.”

Lelaki itu termenung sebentar. Ia menatap lekat kedua bola mata Dhesi. Kemudian ia memulai ceritanya.

Engkau melangkahkan kakimu tergesa, melewati jalanan itu. Seperti ingin cepat sampai ke dalam kamar. Menghirup udara dengan tenang. Engkau begitu tergesa, jalanan begitu ramai. Langit melulu mendung, tanpa sadar langkah kakimu tersandung di kelokan. Engkau melihat orang-orang juga sama melakukan pekerjaan, seperti dirimu, berjalan dengan tergesa. Menelusuri bahu jalan. Angin dingin menyergap, membuatmu tambah kasmaran. Sebuah ujung yang mungkin akan membawamu pada rumah yang nyaman. Di mana engkau bisa menentramkan pikiranmu, mengisap peristiwa yang pernah terjadi di dalam dirimu. Barangkali engkau akan terbiasa, mengenangkan semuanya. Tetapi tak kau dapati jalan menuju rumah, cuma kelokan, persimpangan yang membuatmu melulu jemu menunggu.

Lalu engkau mengenang hujan akan turun deras. Engkau mengkhayalkannya begitu rupa, seperti sebuah lengkungan yang tumbuh di kornea matamu, ketika engkau mengingat kisah dirimu di bulan lalu yang ditaburi kebahagiaan. Engkau tak tahu, apakah perempuan yang kau taksir itu, juga mengetahui jika dirimu menyukainya. Engkau memang pernah menemuinya beberapa kali. Acap kau jadi malu sendiri ketika matamu tertangkap basah bertemu dengan kedua matanya yang berpijar merupa lembut lampion itu. Engkau memang mengaguminya, sebagaimana dirimu mengagumi warna-warna yang hambur dan melekat di kedua matamu.

Tetapi engkau terus melangkahkan kaki, begitu cepat. Napasmu panjang-pendek. Gerakanmu menjadi gelisah, kau seperti melihat hujan tengah menunggu di depan dengan basahnya yang lembab. Dengan getarannya yang dingin dan menyelimuti pikiranmu. Dengan hamburan air yang membuatmu terkapar ke sebuah tempat, yang mungkin sering kali kau temui dalam tidurmu. Hujan yang selalu kau kenang, tengah menerbitkan birahimu untuk mempersiapkan rencana-rencana baru, jika hari berganti besok. Makanya, engkau begitu tergesa mencapai pintu rumah, menguakkan besi pintu itu, dan merebahkan tubuhmu, pikiranmu, juga kenangan-kenangan yang semenjak lama mengurungmu. Namun yang kau dapati engkau masih di tengah jalan, bersatu di antara kelindan orang-orang yang mungkin tak menyangka jika hari ini hujan akan turun. Hal itu, nampak dari jinjingan mereka, tanpa jas hujan, tanpa payung, tanpa alat peneduh dari hujan. Bukankah semuanya tak mampu diduga? Cuaca mirip dengan perempuan yang pernah kau taksir itu, melulu menipu.

Demikianlah. Engkau tertahan di sebuah tempat, yang telah kau akrabi sejak lama. Pikiranmu bergulingan, membangun candi baru. Pikiranmu terkapar, sementara jalan masih saja selalu ramai. Kota memang seperti sebuah sulap, yang mudah menyihir pandangan, yang ternyata sulit diakrabi dengan dekat. Dan kau terus saja bergegas, melewati lengkungan jalan, yang nampak makin basah. Langit benar-benar gelap. Engkau membayangkan, jika hujan jadi turun, engkau akan menampung ingatanmu pada perempuan yang pernah kau taksir itu, kau akan merampungkannya. Barangkali, kau akan meneleponnya lama-lama, berbicara sampai kau merasa muak mendengar suaranya. Atau mungkin juga engkau akan menuliskan sebuah puisi —yang tentunya selalu saja tak sempat kau berikan padanya, sebab ia lebih suka pada musik-musik di CD atau MTV. Sebab ia terlampau menyukai acara sinetron atau FTV. Sebab, engkau mengetahui, ia tidak menyukai sedikitpun puisi yang kau ciptakan. Sebab ia kerap mengenyek tata bahasamu yang kacau ketika kau memilah diksi dalam puisi. Sebab ia lebih suka keluyuran di diskotik sampai jauh larut malam, sambil berjingkrak-jingkrak di antara dentuman house music. Tetapi, toh, kau tetap menyukainya. Tetapi kau memang menginginkan dirinya menjadi kekasihnya. Sebagaimana ingatanmu pada Jack pada Rose Dawson dalam film Titanic, “you jump, then I jump.” Tetapi engkau mungkin telah mencintainya sejak lama, semenjak engkau mengajaknya jalan-jalan ke tengah kota , dan berbisik, shit! berkali-kali, ketika ia menerima panggilan di telepon selulernya dari seseorang yang tak dikenalnya. Sebab engkau sudah tergila-gila sejak lama pada dirinya, yang mungkin telah membangun sebuah ingatan yang kuat pada dirimu.

Engkau masih saja berjalan tergesa, sembari berharap hujan jangan dulu turun. Engkau tak ingin kebasahan di seluruh pakaianmu. Engkau ingin hujan turun ketika dirimu telah masuk ke dalam rumah. Ah, bagimu, saat ini rumah semakin jauh saja.

Meskipun demikian, kau masih terus merasakan hujan akan segera turun. Secapat mungkin. Kau telah memahami cuaca ini semenjak engkau gemar memperhatikan semua tanda-tanda. Dan tiba-tiba, kau tersentak, seperti ucapan kakekmu yang bilang, “Apabila langit mendung, itulah tandanya hujan akan turun. Dan sebelumnya angin akan berhembus kencang, kemudian bergerak perlahan. Dan mulailah hujan datang perlahan-lahan, menyirami tanah sampai basah.”

Engkau mengingatnya, perkataan dari kakekmu yang membuka pengetahuan baru bagimu, tentang sebuah hujan. Dan inilah saatnya, ketika langit mulai mendung, dengan bayangan gelap yang bergulung. Inilah tandanya, ketika langit menjadi kelabu dan membeku. Itu pula yang berarti kau harus memburu waktumu, untuk segera tiba di rumah. Itu pula yang menyebabkan kau harus bergegas, sekadar menemukan tempat berlindung bagi dirimu sendiri agar tak kebasahan.

Ah, padahal kau sejak lama merindukan hujan turun lagi. Bukan seperti hujan yang kemarin. Bukan hujan yang justru menambah ruwet pikiranmu, ketika kau tengah kasmaran pada seorang perempuan. Bukan hujan yang banyak-banyak datang, sehingga membuat dirimu seharian tak bisa keluar rumah. Kau ingin hujan yang sedikit saja, yang justru menandakan suatu hal yang baru. Kau ingin hujan turun seperti itu, atau mungkin seperti yang ditulis dalam sajak Sapardi, hujan yang cuma rintik-rintik saja. Dengan demikian, kau akan memaknainya sepenuh tenaga, dengan demikian kau akan dilecut oleh keberanian baru untuk segera mengucapkan perasaanmu pada perempuan itu.

Ya, engkau ingin menikmati hujan lewat jendela kamarmu. Memandanginya perlahan, memetik air yang turun begitu lembut sembari meneguk segelas kopi. Sembari santai-santai mengenang perempuan itu. Tetapi detik ini, menit ini, kau masih di jalan. Langit masih gelap dan berat. Kau melihat orang yang terhuyung-huyung, bergegas, sebagian lagi berjubel masuk ke pelataran mall, sebagian lagi menunggu di tepian toko, seperti sudah tahu hujan akan turun dengan deras. Tetapi engkau tak menginginkan hujan turun deras, tak henti-henti, sehingga membuatmu tak bisa jalan ke mana-mana. Kau tak mau. Kau hanya ingin hujan yang sedikit saja, supaya kau dapat menghitung-hitung dirimu. Supaya kau mampu merenungi suatu peristiwa.

Engkau masih melangkah cepat-cepat, melewati kelokan-kelokan agar segera sampai di rumah. Tiba-tiba, kau melintasi kafe yang sepi, kafe yang seperti menggoda untuk disinggahi. Lama kau tertegun di depannya, untuk segera masuk ke dalam. Mungkin kau akan singgah saja, memesan minuman, dan menunggu hujan turun dari dalam kafe. Toh, dari jendela kafe yang terbuka itu, kau juga begitu leluasa memandang keluar. Kalaupun hujan akan turun, kau masih sempat memandang rintik air yang mengalir itu. Toh, kau masih sempat mengenang wajah perempuan yang kerap menyilet kepalamu itu. Toh, kau masih sempat merenung.

Lama engkau berpikir, apakah akan memasuki kafe yang sepi itu. Lama engkau berdiri membatu, dirimu mendadak bimbang. Sementara langit tambah berat dan gelap. Sementara angin dingin terus saja menghampiri, menggoda tubuhmu, kau merasakan sengat gigilnya yang masih kecil. Kau merasakan hujan akan turun dengan segera. Namun engkau masih mematung di depan kafe, seakan memilah berbagai pertimbangan yang sempat hadir di kepalamu. Apakah kau akan menikmati hujan dari kaca jendela kamar atau kaca jendela kafe? Kau benar-benar bingung. Serba salah.

Barangkali di kafe sepi itu kau akan mendengarkan lagu-lagu pop yang cengeng, yang kata orang begitu sentimental. Mungkin kau akan mendapati seseorang yang juga sepertimu, memutuskan untuk masuk ke dalam kafe menunggu hujan turun dan berharap rintik air itu segera berlalu. Mungkin kau akan menemukan sepasang kekasih yang duduk bersebelahan, yang datang ketika hujan baru mulai turun, dan sesekali saling membelai begitu mesra, yang justru melecut ingatanmu pada perempuan itu. Barangkali kau hanya sendirian di kafe itu, sementara di luar hujan turun, suaranya yang mengganggu dan memintamu untuk menatapnya.

Waktu terus saja berjalan. Menyergap. Langit makin kelabu. Angin dengan sengat dingin kecil-kecil merayapi tubuhmu. Akhirnya kau menyerah, kau terus melangkahkan kaki. Melalui kelokan-kelokan. Perjalanan menuju rumah sebentar lagi akan sampai. Kau kepingin memburu langkah dengan cepat. Rindumu pada ruangan kamar begitu gelisah. Kau mendadak tergoda untuk segera tiba di rumah saja, menikmati hujan yang kau harapkan turun kecil saja, dari jendela kamarmu. Dan kau akan melamun lama-lama di depan jendela. Kau ingin memetik ranum air yang curah dari langit itu. Kau ingin hujan menjadi semangat baru bagi tubuhmu, katakanlah untuk menemui perempuan itu, dan mengucapkan jika engkau telah jatuh cinta padanya.

Kelokan kecil. Jalan sempit. Pintu rumah, kau segera mendorong pagar besi yang beroda. Kau merasakan besi pagar itu telah menjadi dingin, dengan tergesa juga kau masuk ke dalam beranda. Menguakkan daun pintu. Memasuki kamar. Rebah. Lalu kau menyiapkan air panas, menyeduh kopi kegemaranmu, memahami kenanganmu pada perempuan itu. Kau mengingat peristiwa-peristiwa yang pernah dialami bersama ketika jalan dengannya.

Kau sudah menyeduh kopi. Menambahkan bubuk creamer. Asap panas masih mengepul dari cangkir kopi yang ingin kau reguk. Kau sudah bersiap duduk di muka jendela kamar, memandang keluar, menyaksikan hujan cepat turun. Mungkin kau akan bersalaman dengan rintik airnya. Kau menunggunya. Lama kau menunggu. Nyatanya, langit masih tetap saja berat dan gelap. Sedangkan hujan belum juga turun. Matamu membeku, seperti melihat bayangan perempuan itu, mungkin di dalam tidurmu, dan ia berlalu darimu...

***

LELAKI itu memandang keluar jendela. Hari sudah pagi. Dhesi sudah tertidur di sebelahnya. Ia membereskan selimut yang terjatuh dari dada istrinya. Ia tersenyum. Pagi masuk dengan tergesa lewat celah jendela. Barangkali dirinya juga sedang menunggu hujan itu. Mungkin.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Sweet Tomatoes Printable Coupons