Sabtu, 12 Februari 2011

Terbang

Matanya menatap tajam layar monitor computer di depannya. Berita Tempo interaktif menimbulkan dorongan adrenalin yang kuat dalam diri.

Frekwensi kecelakaan pesawat terbang niaga komersial Indonesia tertinggi di Asia atau rata-rata sembilan kali per tahun. Sedangkan di negara Asia lain hanya 3-4 kali setahun. Kecelakaan yang dimaksud adalah kecelakaan yang menimbulkan korban jiwa, luka-luka, dan fisik pesawat rusak serius.

Informasi dari media lain, rubung merubung di depannya. Yang intinya, pesawat celaka, merenggut nyawa. Tepat memulai tahun barui, Adam Air lenyap terperosok di dasar lautan barat Sulawesi . Semua penumpang dan awak pesawat ?habis?. Dan teranyar Garuda terbakar di bandara Adi Sucipto, 22 orang dijemput maut. Belum lagi tahun-tahun sebelumnya, Mandala Airlines terjerambab tak jauh dari lapangan udara Polonia Medan, nyawa hingga ratusan penumpang.

Ah, Ibarat arisan saja, yang lain menunggu giliran.

Negara ribut. Jabatan seorang mentri pun diancam renggut.

Ia menelan ludah, menerawang, kemudian berdesis untuk sebuah pilihan tegas."Ya, paling tepat naik pesawat terbang!"

Segera ia bersiap-siap memesan tiket. Dan sebenarnya mudah saja, tinggal angkat telpon menghubungi ke biro perjalanan mana, yang ada beriklan di Koran-koran. Tapi, ah, lebih baik datang langsung. Dengan begitu, ia bisa memilih-milih harga pesawat yang paling murah. Ada yang bertariff seongkos taksi ke bandara, untuk bisa mencapai Jakarta dari Batam. Meskipun harus menjalani layaknya naik bus, mencari tempat duduk sendiri, tanpa bernomor.

Bersiap diri kering tenggorokan, jika tak membawa bekal air minum sendiri atau membeli dari pedagang di dalam pesawat. Yang sedang-sedang saja tarifnya, ada camilan ala kadar. Yang agak tinggi sedikit tarifnya, camilan lumayan atau tariff yang tinggi dengan layanan non kelas ekonomi. Namun, apakah siapa yang bisa pastikan mana yang paling aman? Mana yang paling tidak aman? Karena itu pula, sebuah pertanyaan baru menggelayut di kepalanya. Menentukan pesawat yang akan ditumpangi!

Ia pun kembali di depan layar monitor computer, melanjutkan searching, untuk menemukan informasi tentang pesawat mana yang paling sering ditimpa musibah dan mana yang tidak. Ia kian terjerat dereten infromasi yang tersaji. Ada pesawat yang gagal terbang. Yang gembos bannya. Melengkung lambungnya. Juga mendarat darurat karena nyasar terbang. Apalagi turbulensi sudah langganan hampir pesawat yang mengudara.

"Sangat banyak pilihan?" kembali ia berdesis.

Tak lama melamun, ia sampai pada keputusan memilih.

"Pesawat itu saja..sepertinya cukup tepat."

Tapi, tunggu dulu. Otaknya kembali menyemburkan pertanyaan baru lagi. Bagaimana dengan layanan asuransi, jika celaka terjadi? Demi mendapatkan jawaban, searching info mengenai ini harus dilakukan.

Tiga detik, paparan maskapai penerbangan dan klaim asuransi ditemukannya. Ah, ternyata bervariasi sekali. Tidak sama. Ada yang tinggi, ada yang rendah.Ada yang mudah diklaim. Ad pula mesti menunggu nyaris setengah tahun, klaim asuransi dibayarkan.

Dari info-info itu, ia menimbang-nimbang. Pilihan pesawat yang ada di benaknya tadi, sepertinya tidak memenuhi kriteria yang diinginkannya. Dari tariff "oke", pengalaman menantang maut "oke" tapi tidak "oke" kompensasi asuransinya.

Namun,bodo amat! Yang menikmati hasil asuransi bukan aku?Dan pesawat yang dipilih semula, sepertinya paling memenuhi criteria yang diinginkan.

Melaju cepat ke biro perjalanan yang lumayan jauh dari kediamannya mesti dilakukannya. Jarak tempuh bisa diatasi yang kebutan cerdas. Artinya, bisa menmebus jarak dengan cepat dan cermat menghindari bahaya.Karena jalanan tak akan dibiarkannya mencelakakan diri.

Pertanyaan perempuan manis dan ramah customer service biro perjalanan itu, membuatnya tercenung dan malu. Tergagap ia menjawab, "Ke Pontianak!" kata itu keluar setelah hitungan detik terpikirkan. Meskipun mengutuk diri dalam hati, kenapa dari tadi tak terpikirkan. Ah, semoga saja pilihan terbang ke kota itu tepat memenuhi keinginan.

Perempuan di depannya itu tersenyum meminta sabar sejenak, lalu mengecek jadwal penerbangan apa saja ke Pontianak.

Ada tujuh penerbangan. Tinggal memilih pesawat yang mana, dan harga yang mana. Pilihannya tak berubah. Ia memilih pesawat yang sudah ada dibenaknya sedari rumah. Diyakini akan membawanya mencapai keinginan yang sudah memberontak di hati. Juga memeras otaknya untuk selalu berpikir cara tepat untuk meluahkan niat dan keinginan yang menyenak itu. Yang membuat hari-harinya tak lepas dari kerubungan rencana-rencana lalu terbantahkan. Sebab, cara-cara yang ditemukannya terpikir tidak akan tepat untuk segera mencapai niatnya. Disebabkan terlalu beresiko dengan hasil yang belum tentu pasti. Dan meskipun cara ini mungkin tidak feminim dan mungkin pula brutal mengenaskan, tapi paling memungkinkan untuk sebuah kepastian merealisasikan segera keinginannya. Dan akan terlihat sebagai sesuatu yang natural. Sehingga ia tidak akan menerima tudingan lagi, sebagai orang bodoh, "sakit" bahkan tidak waras.

"Aku sangat waras dengan semua perjalanan hidupku." desis pemberontakan itu membuat gerahamnya menggerutuk lagi, seperti biasa-biasanya. Demi untuk sebuah komitmen waras, niat itu muncul. Bagaimanapun, ia tidak akan mau memaksakan keinginan atas orang lain. Orang yang semestinya bagian dari dalam perjalanan hidup. Bagian dari jiwanya. Tapi soal penyatuan jiwa siapa yang bisa memaksakan? Dan memang kesia-siaan atas hidup adalah ketika diri tidak lagi dibutuhkan oleh yang paling diinginkan. Lagi pula, jiwanya sudah lama mati...Tinggal fisik yang lelah menopang jiwa yang sedemikian.

Namun, sampai kapanpun ia tidak akan mencemarkan sejarahnya dengan sesuatu yang terlihat bodoh oleh siapapun.

Tangannya bergetar menerima tiket tersebut. Tenggorokannya tercekat, sehingga kalimat terimakasih pada perempuan customer service itu tak begitu terdengar jelas. Dan segera secepatnya berlalu membawa tiket dalam genggamannya.

*****

Lapangan terbang Supadio, Pontianak , sudah diinjaknya. Meski injakan kakinya limbung, badannya masih dingin. Airmata sudah mengering membekas di wajahnya yang masih nampak pucat pasi. Ia tidak kuat melangkah lagi, berselonjor di salah satu sudut ruang. Seorang jururawat menyambar tangannya, agar bisa dipapah.

"Maaf, aku tak apa-apa. Biar aku duduk rileks di sini." sergahnya.

Jururawat itu memastikan," Tapi Mba lemas, dan pucat sekali.."

"Aku hanya ingin duduk di sini, tolong tinggalkan aku."

Jururawat itu paham,"Nanti ada yang bawakan air putih, kalau ada apa-apa tinggal bilang yah?" katanya segera beranjak cepat, menyusul beberapa penumpang lain yang lebih memerlukan pertolongannya.

Dan ia memang termasuk yang baik kondisinya, selain beberapa orang lain. Sementara tak sedikit yang benar-benar memerlukan pertolongan jurrawat itu. Belum lagi yang mungkin tengah meregang nyawa dalam bangkai pesawat yang kian membara, tak jauh dari landasan pacu.

Beberapa orang kembali mendekatinya, yang diusirnya halus. Karena duduk berselonjor memang sangat dibutuhkannya saat ini. Untuk menenangkan diri dari puncak kepanikan yang dialami beberapa menit lalu. Juga orang-orang di ruangan ini, karena telah bertemu dengan sanak keluarga. Meskipun masih banyak yang masih panik dan bergerak tak tentu arah. Yang masih sadar mencoba untuk bersabar. Yang bertemu sanak saudara memeluk tangis seolah tak mau dipisahkan lagi. Meskipun berpisah adalah muara dari setiap pertemuan dan pasti akan terjadi. Yang misteri hanyalah waktu. Kuasa waktu, empunya cuma satu. Dan bukan kuasa dan hak siapapun. Iya, bukan hak siapapun. Terlalu arogan untuk mengambil hak itu dari si empunya yang satu.

Matanya kembali berlinang. Ia ingin menjerit meskipun terwujudkan desis saja, "Tuhan maafkan kelancangan jiwaku?."

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Sweet Tomatoes Printable Coupons