Sabtu, 12 Februari 2011

Tubuh yang Melingkar di Dalam Kamar

PAGI-PAGI sekali. Bola matahari menggelembung besar, cahaya rindang. Memasuki kamar dengan telanjang. Perempuan itu, duduk di sisi ranjang, menyisir rambutnya yang hitam bagai malam. Ia mengambil cermin membayangkan dirinya mengenakan gaun pengantin. Ah, mengapa pagi-pagi begini mesti ada genit berahi yang menyentak, menelusup ke gigir puting payudara. Ia merasakan pagi telah lama berubah, bukan seperti yang dulu, di mana ia lalui dengan gembira bersama seorang lelaki. Apakah aku telah sekian waktu kasmaran pada lelaki itu? Merayakan pacu tubuh saat kami bercumbu.

"Koran... koran...." sepagi itu sudah ada yang menjual berita. Seperti ingin berkaca dalam rangkaian kata-kata yang baginya begitu penuh darah. Ia melongok ke jendela, rerindang perdu halaman rumah menyentak seluruh gelisah. Ia ingin sekali melontarkan gelisah itu keluar, dan biarkan ia tumbuh sebagai tanaman. Ia terdiam. Waktu menjelma jadi patung yang bisu, menggapai-gapai dirinya, mengendap di setiap ujung kepala, sekaligus pengetahuannya.

Lalu ia ingat kembali masa-masa bahagia, saat ia berkelana ke sebuah kota, memasuki pantai, rebahan memandang senja bersama lelaki itu. Ia tersenyum, bayangan itu begitu kuat menggoda. Duh, betapa rindunya! Ingin ia rasakan sentuhan-sentuhan hangat lelaki itu, seperti anak kecil yang mendambakan pelukan dari ibunya. Ia terperanjat, pagi sudah meninggi, saatnya untuk pergi, tinggalkan kamar ini....

SESORE ini ia sudah pulang. Malam sebentar lagi nyalang datang, malam yang acap kali gagal ia sembunyikan. Bersama kelimun gelap yang menciutkan kegelapan. Bersama tombakan mimpi saat ia rebah di atas ranjang. Ia ingin mengisap waktu yang nampaknya makin kerucut itu, menyingkirkan ketakutannya pada cinta. Tadi siang, ia bertemu seorang lelaki tanpa sengaja, di sebuah swalayan, saat mendorong kereta belanjaan. Ada yang terjatuh dari kereta belanjaan, dan lelaki itu memungutnya, duh! Betapa baik hatinya lelaki itu! Ia menoleh sekilas pada wajahnya, ia melihat aura yang lain. Ia tergeragap membenahi sikapnya. Laki-laki itu lebih manis dari dugaannya. Ia ingin lagi mencuri pandang, tapi malu. Terpaksa ia tundukkan kepala, sembari mengucapkan, "Terima kasih...."

Adakah jarak yang terjadi membunuh dirinya? Mungkinkah cinta datang tanpa diduga sehingga ia tak sempat berpikir sejenak sekadar memikirkan: betulkah lelaki itu cocok berdampingan dengannya kelak. Katakanlah sampai usia senja, masih tetap menyayanginya. Tadi siang, lelaki itu mencatat nomor teleponnya. "Nanti aku hubungi kamu. Boleh 'kan kalau sempat aku singgah ke rumah barang sebentar?"

Ia tak sanggup menjawab. Cuma dari tatapan matanya, ia memang ingin lelaki itu untuk segera bertemu lagi dengannya. Ia ingin lagi memandang wajahnya lama-lama, supaya bisa hilang seluruh sedih saat ditinggal kekasihnya ke negeri seberang. Sedih yang baginya teramat menyiksa, sehingga ia tak pernah bisa tenang untuk sekadar tidur, atau melewati malam dengan gemilang.

Di dalam kamar, telepon belum juga berdering. Ia terpaksa meraih sebuah buku. Tetapi apa yang sedang ia baca di sana, selain kalimat yang menandakan sesuatu tentang dirinya. Kalimat yang ternyata menyusun seluruh dirinya, sehingga ia jenuh. Ia cuma membolak-balikkan halaman demi halaman. Pikirannya hampa. Ia berharap lelaki itu segera meneleponnya.

Terkadang ia suka berpikir, lebih enak menjadi gadis yang kecil saja. Tak peduli dengan cinta, tak perlu kenal dengan cinta seorang lelaki yang kerap kali buat dirinya jengah. Meski nyatanya, ia tak bisa menepis kenyataan bila dirinya telah besar, sebagaimana mamanya. Kelak ia akan menikah, melayani suaminya, dan punya anak. Barangkali ia akan mencari kerja di luar, bangun pagi-pagi, menyiapkan segalanya. Tidak lupa mengatur menu makan dari pagi sampai malam. Ah, menjadi perempuan dewasa. Apakah ia sudah dewasa? Ia mengambil cermin, ia menatap kedua matanya yang bundar, pipi yang ranum, ia melihat ada sebutir air mata yang jatuh di pipinya.

Besok ia akan menghadapi pagi yang sama lagi. Pun pagi-pagi lainnya.

"AKU sudah di Malaysia, Mir! Kelak lusa dapat kerja, apabila aku sudah punya uang banyak kau akan kupinang. Kita akan menikah!"

Perempuan itu menjawab dengan kecut percakapan telepon. Meski rindu yang dirasakan buat kekasihnya itu sudah berkurang jauh. Barangkali ia sudah jenuh dengan kata-kata yang penuh harapan. Yang ia mau ialah kekasihnya ada bersama dirinya, saat ini, duduk berdua, dan mereka saling bersitatap lama sekali. Ia merasa kangennya sudah berkurang jauh, tidak sama lagi seperti yang dulu. Tetapi hanya getar suaranya yang mengganggu.

"Sudah dulu, ya! Telepon ini sudah banyak memakan pulsa. I love you...."

Ia meletakkan gagang telepon itu kembali, ada rasa tolol yang membuncah kemudian ingin sekali pecah. Membuat dirinya tergeragap, ia merasa dadanya pengap. Tak terasa butiran air mata melingkar di bola matanya yang bening. Tak terasa ia segera saja teringat pada lelaki yang ditemui di swalayan seminggu yang lalu, "Mengapa ia tak kunjung menelepon?" Padahal ia rindu mendengar getar suara lelaki itu, yang sepertinya telah lama melemparkannya di atas tanah penuh dengan bunga.

Betapa rindu menjadi liar dan licik. Tak bisa ia atur dengan sekuat tenaga meskipun ia telah berusaha sepenuh hati. Tetap saja rindu tak pernah mampu untuk diajak kompromi. Ia selalu terjebak kangen, terutama saat melewati barisan malam-malam yang sunyi. Saat dirinya teringat bagaimana kekasihnya di negeri seberang, saat-saat bersama. Bagaimana lelaki itu menyentuh pipinya dengan punggung tangan, melepas jaket dan memberikan padanya saat berjalan di saat malam dingin. Atau bekas bibirnya di dahi, pipi, juga bibirnya. Ia merasakan kulit yang kasar membelai dirinya, namun membuatnya merasa terlindungi, membuat dirinya terasa tentram.

Sesungguhnya ia telah menemukan segelanya di dalam diri lelaki itu, meskipun berulang kali ia sering kesal sendiri, mengapa kekasihnya memilih untuk mencari pekerjaan yang jauh? Pertama kali, ia mencoba mengerti jika yang dilakukan adalah untuk membahagiakan dirinya. Tapi, saat ini. Ah, bagaimana ia melewati derasnya rindu yang mengucur ini? Ia benar-benar tak tahu.

HARI-HARI selanjutnya ia terbenam dalam rutinitas kesehariannya yang mulai beku. Menyimak pagi dan tingkah orang-orang, atau membaca buku saat malam. Sampai saat ia mendapat kabar, jika beberapa tenaga kerja di Malaysia masuk dengan cara yang ilegal. Kecemasan berkerumun di dadanya. Tiba-tiba ia merasakan sakit, ia ingat kekasihnya yang sedang bekerja di Malaysia.

Di kamar. Tubuhnya melingkar, ia tak pernah tahu dengan pasti, siapakah kelak yang akan dipilih. Seandainya dua lelaki itu meminangnya sebagai istri. Ia gamang, pilihan yang baginya sama-sama sulit. Seperti ia kesulitan menghadapi soal-soal matematika saat ujian di sekolah menengah dulu. Seperti pilihan sulit saat melepas kepergian kekasihnya ke negeri seberang dulu. Seperti kesulitan yang kerap kali diceritakan Ibunya saat melahirkannya. Tubuhnya masih saja melingkar di dalam kamar. Perempuan yang penuh teka-teki, tersudut dengan kepala yang dipenuhi pilihan.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Sweet Tomatoes Printable Coupons