Sabtu, 12 Februari 2011

Wayan Cantik

"JIKA saya laut, apa Bli Tanius masih mau memandang-mandang seperti itu!" Suara Wayan Cantik yang berdetus-detus dalam logat Bali , di belakangku. Di dekat gadis itu Suardika jalan bergegas, cengar-cengir. "Coba saya kamu tanya begitu," dia bilang. "Jangan lagi memandang, merenangimu tiap hari saya mau, Wayan!"

Wayan Cantik cemberut. Kemudian tertawa, memukul bahu Suardika. " Beh , kamu pukul saya Wayan!" Suardika meringis, ikut tertawa. Kami tertawa di bawah matahari pagi yang melimpah-ruah. Di bibir pantai, Rai Sulastra kulihat masih jeprat-jepret dengan kamera walau sunrise telah lewat. Matahari kini menghangatkan Sanur. Bersama Sulastra ada Dwija, Naria, Dayu, Joko, Diana, Agus -semua gembira dalam usia muda, serupa pagi dengan matahari.

Anak-anak muda itu aku bawa ke Sanur subuh tadi, berdesakan dalam Kijang, melihat matahari terbit dan makan bubur ayam. Besok koran kami tidak terbit, libur. Ide itu lahir dua hari lalu. Kusuruh Sulastra mengajak orang-orang di kantor tapi cuma mereka yang mau. Tidak apa-apa. Sembilan orang lebih baik daripada bertiga dengan Sulastra dan Suardika, apalagi sendiri.

"Mereka bilang Bli Tanius aneh. Orang ke Kuta lihat sunset , Bli kemari lihat sunrise ." Wayan bicara lagi, berdetus-detus. Duduk dekatku pada kursi kayu di muka resto-pantai. Suardika sudah lenyap, bagai angin -agaknya ke resto lagi, melanjutkan rayuan pada gadis pelayan.

"Sekarang kamu ikut aneh," balasku tertawa.

" Ndak , dah . Saya juga suka sunrise ."

"Mengapa?"

" Sunset kesannya sendu. Sunrise seperti memberi semangat."

Rumusan yang bagus dari gadis 21 tahun, seusia adik bungsuku. Tetapi Wayan Cantik telah berjalan jauh dalam usia muda. Sebelum di koran kami dia kerja di hotel, pindah ke biro perjalanan. Waktu SMEA, malah SMP, dia gabung dengan grup tari, menari untuk turis asing di hotel. Tidak seenak yang terdengar. Rombongan penari itu kadang dijejalkan saja dalam truk, laiknya barang. "Tapi kalau tak begitu, mana dapat tiyang sekolah, Bli ," tutur Wayan suatu kali.

Aku pandang gadis itu; makin sayang padanya. Pipinya putih kemerahan bagai jambu air. Biasanya gadis Bali sawo matang, tapi Wayan dari dataran tinggi, kulitnya bak kulit gadis pegunungan. Seperti juga di daerahku, apalagi yang tinggal di lereng Singgalang. Dulu, sering kusiuli mereka kalau turun ke kota bawa tebu yang dikerat kecil-kecil, diletakkan di dalam panci, ditutup daun pisang. Tebu mereka manis persis penjualnya.

"Hei, kenapa Bli lihat saya seperti itu?"

"Kamu mengingatkan pada gadis- gadis kotaku. Juga adikku."

"Sudah pernah dah Bli bilang begitu."

Aku tertawa, merasa sudah berubah nyinyir serta pelupa.

"Adik Bli enak, punya kakak baik. Bisa kuliah. Bisa...."

"Kamu juga bisa, kalau mau."

" Piih , mana bisa. Lagian, saya ndak mau. Enak kerja. Biar adik saya kuliah."

Sulastra masih jeprat-jepret. Aku curiga filmnya habis. Wartawan, dan pemain drama-gong itu, hanya berakting.

"Nanti saya ke Kintamani. Bli mau dibawakan apa?"

"Eh, kamu tidak bilang mau mudik," kataku. "Kalau bilang, tak perlu ke sini, biar tidak mengantuk di jalan."

"Tidak mengantuk saya, Bli . Bli mau dibawakan apa?"

"Tak usah. Bagaimana tak mengantuk, semalam begadang. Biar nanti diantar sopir saja!"

" Ndak usah, Bli . Saya pulang sama kawan."

"Pacar?"

Wayan tertawa. "Kawan perempuan. Ktut Rini."

Acara kuakhiri, justru karena Wayan mau mudik. Tapi mataku pun mengantuk kena sinar matahari -modal yang baik buat tidur, kalau bisa hingga esok.

*

Itu terjadi setelah aku enam bulan di Denpasar. Saat itu dapat kurumuskan, yang kutakuti adalah perasaan kosong. Mulanya tidak. Bulan-bulan awal ditugaskan dari Jakarta menerbitkan kembali sebuah koran tua, kami sangat sibuk. Setelah koran terbit dan segalanya berjalan, mulai ada yang tidak beres. Nyata benar beda Denpasar dengan Jakarta. Hari panjang di Denpasar. Bak lazim di daerah, aktivitas perkantoran hingga pukul dua atau tiga. Di Denpasar juga kerap libur tidak resmi karena banyak upacara. Di Jakarta hidup menderas sampai larut malam, darah berdenyar-denyar dalam gairah, dan kita terus bergegas sebab waktu terasa sebentar.

Keempat rekanku agaknya juga merasakan. Zarman, wakil komandan proyek, sejak awal pacaran dengan gadis Tabanan, tiap sebentar dilagakkan. "Pokoknya, gerak Astuti adalah tarian. Kedip mata, kuak bibir, lenggang saat berjalan!" Kami tertawa.

"Pak ndak cari pacar?" Dwija menggodaku.

"Asal ini!" Kutunjuk gadis berpakaian adat di sebuah foto, pada suatu upacara.

" Beh , Wayan Cantik! Dia melamar di bagian iklan!"

Kami tertawa lagi, berderai.

Macam-macam dilakukan agar bebas dari rasa hampa. Syarif, yang mengelola percetakan, total bekerja. Lubis berpantun-pantun mengedit berita: Pure Kehen Ulu Watu, adik mendehem abang rindu...Toya bungkah di Danau Batur, pipi indah diberi pupur .... Lantas tertawa atau bersorak bak orang berubah ingatan.

Arsil, komandan proyek, sibuk mengontrol ini-itu. Loncat dari rapat ke rapat, merancang proyeksi tiras, iklan, lalu kaget melihat angka-angka yang muncul. "Wah! Wah!"

"Tidak terlalu besar target iklan itu, Bli ?" tanya Wayan suatu hari, usai rapat.

Dugaan banyak orang aku jatuh cinta pada gadis itu meleset. Ia kuperhatikan, kami sering mengobrol, pergi dan makan bersama, tetapi ada sesuatu dalam dirinya membuatku jatuh sayang seolah pada adik sendiri. Juga salut, dan hormat.

" Ndak pesimis saya, Bli . Hanya, ini Denpasar."

"Upayakan semampumu," kataku. Aku juga tak percaya dia akan pesimis, atau mengeluh. Dari beberapa yang kujumpai, kulihat keluh seolah tak tercatat pada wanita Bali. Mereka tidak asing dengan kerja, seberat apa pun, sebab industri pariwisata tidak memberkahi semua orang.

"Tentu, Bli . Ini justru tantangan," kata Wayan Cantik. "Saya cuma mau bilang, belanja iklan di sini tidak sebesar Jakarta."

Lantas, ia tunjukkan api dalam dirinya. Dari tujuh pencari iklan Wayan Cantik menghimpun perolehan terbesar. Kami tercengang. Itu sekaligus menunjukkan upaya Arsil keluar dari kehampaan berbuah positif. "Hahaha!" komandan proyek itu tertawa. "Ternyata, proyeksi yang saya buat realistis juga!"

*

Aku pun menggeliat dari rasa hampa itu. Pergi dengan Wayan Cantik, Dwija, dan lainnya; jumpa banyak orang. Juga ke provinsi tetangga, saat kudengar ada bupati baru sekali seumur hidup masuk koran, ketika dilantik. Padahal, prestasinya lumayan. Kuwawancarai. Lain waktu terbang ke Timor Timur (namanya masa itu), dan kulihat pemerintah pusat menghabiskan fulus amat banyak dibanding untuk provinsi sebelah, meneguhkan keyakinan ongkos politik melebihi yang lain-lain.

Balik ke Denpasar, dua-tiga hari aku bergairah, senyum menugaskan redaktur atau wartawan. Lantas kosong kembali. Seperti gelap kala senja, rasa hampa menjalar, tahu-tahu hati dikuyupi gelita. Pernah juga kupenuhi undangan Armet, anak Minang pengelola kafe di Kuta, tapi pada kunjungan kedua aku sudah tak betah. Merasa asing, seolah tidak di Bali, tidak di Indonesia -di tengah bule, kuning, hitam, yang di mataku sengkarut-marut belaka.

Aryantha, seorang kawan Bali tertawa waktu kuceritakan. "Mau apa ke sana? Mencari Bali, ya, tidak bertemu di Kuta. Pergilah ke...," dia sebutkan banyak tempat: Desa Tenganan, Kamasan, Penglipuran....

Sebetulnya sudah dua kali kukelilingi Bali, tapi kuikuti anjuran Aryantha. Hari Minggu kuajak Wayan Cantik, Sulastra, Suardika. Pulang ke Denpasar, bergairah lagi. Setelah itu, rasa kosong muncul kembali, serupa gelung rambut perempuan dilepas. Merambat, menyungkup bahu dan pinggang.

Memang ada selingan. Misalnya, pulang ke Jakarta, menengok keluarga. Atau kunjungan kawan-kawan dari Ibu Kota. Suatu hari, malam-malam, muncul sastrawan Gerson Poyk naik sepeda, entah dari mana. Ngobrol, tertawa-tawa. Esoknya, aku beli sepeda dan bersepeda tiap pagi, sore, malam -kapan saja rasa kosong menyerangku.

Tak sampai sebulan, sepeda itu kuberikan ke office-boy , setelah aku tercampak ke selokan diserempet sepeda-motor. Di Denpasar pengendara sepeda-motor terutama yang muda-muda kelewat bersemangat. Semangat mereka tidak luntur meski sering kecelakaan, dan ibu mereka meletakkan sesajen di tempat-tempat kecelakaan terjadi.

Tetapi, semangatku lenyap bersepeda. Apalagi setelah tahu Wayan meletakkan sesajen di tempatku kecelakaan. Tanpa banyak kata namun nyata menyimpan duka, ia menemaniku ke dokter, membawakan tukang urut Banyuwangi. Ia prihatin melihatku aneh-aneh. Pernah dia tanya, mengapa keluargaku tidak dibawa ke Denpasar. "Di sini juga ada sekolah, Bli ," jawabnya waktu kubilang anak-anak masih kecil dan sekolah.

Perlakuannya membuatku makin sayang, kagum, miris. Dengan kecelakaanku, tambah banyak yang dia urus: ibu, adik-adik, ayah yang suka tajen , lantas aku -yang dianggap bli karena tidak dia miliki- yang diburu-buru rasa hampa sepanjang waktu.

Rekan-rekan berdatangan ke mes. Semua bersimpati, seolah-olah aku prajurit dari medan laga, penuh luka. Aku terharu. Maka, waktu aku sudah di Jakarta dan bom menghancurkan Legian-Kuta, banyak orang kucemaskan di Bali. Diantaranya Wayan Cantik. "Pak ndak tahu, Wayan jadi korban," suara Sulastra bergetar, saat kuhubungi lewat telepon.

Sebelumnya kudengar gadis yang cantik hati, nama, maupun wajah itu, pindah kerja lagi. Terakhir di sebuah hotel di Nusa Dua. Mengapa hari itu Wayan ke Kuta? Adiknya tiga. Satu dia kuliahkan di Yogya. Dia tiang keluarga; tiang yang lumat oleh hati dan tangan hitam manusia.

Catatan:

bli = abang

beh = bah

dah = deh, lah

tiyang = saya

piih = aduh

tajen = sabung ayam

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Sweet Tomatoes Printable Coupons