Sabtu, 12 Februari 2011

Bursa Efek Jakarta, Suatu Senja

Bursa Efek Jakarta, Tower 2 lobi depan. Jam 7 pagi. Manusia-manusia global penghuni kompleks perkantoran masih terbenam di jalan raya. Hiruk-pikuk lalu lintas. TransJakarta yang penuh sesak. Three in one nan menyebalkan akibat dari sebuah metropolitan yang ketinggalan dalam sistem transportasi umum. Akhirnya menyisakan satu pilihan: macet di jalan atau berangkat pagi-pagi. Kupilih pilihan kedua, berangkat pagi-pagi. Lebih baik pagi datang ke kantor ketimbang dihajar kemacetan yang semakin luar biasa di Ibukota sebuah negeri elok bernama Jakarta .

Starbucks Coffee menyempil di Tower 2 lobi gedung Bursa Efek Jakarta. Jam 7 pagi. Ketika waiter pertama kali membuka pintu dan para barista masih sibuk dengan racikan kopi. Kakiku langsung memasuki gerai kopi anak kandung dari budaya global. Selalu begitu ritual pagi di Starbucks Coffee. Waiter membuka pintu, barista meracik kopi, aku duduk di kursi belakang sebelah kiri. Di bawah poster ' the world history of coffee ." Secangkir espresso ditemani sepotong pastry . Ah, betapa eksotiknya.

Lalu ritual pagi semakin eksotik ketika beberapa menit berikut muncul wanita berparas ayu dengan dua anting di telinganya: Anna Karenina Wijayanti. Nama yang mengingatkan aku pada novel besutan Tolstoy. Anna, namanya seindah parasnya, secerdas otaknya. Anna biasa memilih cappuccino. Kesukaan lainnya espresso macchiato. Dan kesukaan Anna yang lain lagi; duduk di hadapanku. Menyibakkan rambut sebahunya. Memperlihatkan dua antingnya. Menyeruput cappuccinonya. Lalu Anna mulai membuka bibir. Bercerita apa saja. Mulai dari urusan politik lokal, sastrawan peraih nobel, harga minyak dunia yang tidak pernah stabil hingga diskon celana di Plaza Senayan.

Seperti pagi ini. Blouse hitam berpasangan dengan celana panjang hitam. Sepatu berhak tinggi. Bau parfum estee lauder . Rambut dibiarkan tergerai sebahu. Secangkir cappuccino. Sepotong tiramisu. Anna menelanjangi wajahku.

"Matamu masih merah. Apa semalaman pikiranmu berkelana sehingga bantal tidak mampu menyelamatkan kantukmu?" Anna membuka ritual percakapan pagi.

" The Conch Bearer -nya Chitra Divakaruni. Membuat saya semalaman harus menyelesaikannya," kusebut buku terbaru karya sastrawati besar India . "Dua anak keturunan India - laki-laki dan perempuan - yang hidup di Amerika. Anak-anak imigran yang tidak tercerabut dari akar budayanya. Lalu Divakaruni membawa pembacanya ke dalam petualangan untuk belajar, menerima dan mengagumi budaya India. Sungguh luar biasa."

"Aku juga sudah melahap dua novel Divakaruni, Sister of My Heart dan The Mistress of Spices . Memang luar biasa tuh si Diva." Anna melahap tiramisunya. Diaduk cappuccinonya. Lalu dua teguk masuk ke mulutnya.

"Bukan hanya Divakaruni yang hebat. Prakash Rham juga luar biasa." Anna menyebut nama bosnya,"Saking hebatnya Rham, sampai-sampai perusahaan memberi dia rumah mewah di Permata Hijau dan Jaguar keluaran terbaru." Kali ini Anna menyindir bosnya. Alis matanya menaik. Tanda kata-katanya belum selesai. Kutunggu lanjutan kalimatnya.

"Tapi mau apa lagi. Kapitalis-kapitalis global itu tetap lebih mempercayai orang-orang Asia Tengah dan Asia Timur ketimbang manusia-manusia lokal. Yah nasib warga negara dari sebuah negeri yang eksekutif dan legislatifnya selalu berkelahi."

"Berkelahi itu bagian dari demokrasi, Saudariku. Apalagi demokrasi yang masih seumuran jagung. Tapi lumayanlah, ketimbang masa lalu. Legislatifnya mati di ketiak eksekutif," aku berucap. Cangkir berisi espresso kuraih. Kunikmati tiga tegukan. Pembicaraan kemudian beralih. Dari sastra menjadi politik.

"O ya, sekarang ada rumor ampuh yang ramai didiskusikan orang. Pemberantasan korupsi beserta produk-produk turunannya," kulanjutkan kalimatku, "Pembentukan komisi antikorupsi, kampanye polisi bersih, mengganyang mafia peradilan hingga memindah koruptor ke Nusakambangan."

"Terlalu banyak program, Bung. Satu saja, fokus; kampanye polisi bersih. Hong Kong 25 tahun lalu mirip negeri ini. Banyak koruptor. Bertumbuh preman-preman berdasi. Kolusi penguasa dan mafia. Sampai penyelundupan yang direstui. Tapi apa yang dilakukan pemerintah Hong Kong ? Fokus pada satu hal, mencetak polisi bersih." Anna menimpali.

"Analisismu luar biasa, kawan. Polisi Hong Kong sekarang merupakan polisi paling ramah di seluruh jagat."

Espresso tinggal sepertiga cangkir. Kulirik jam tangan. Angka-angka digital menunjuk ke 07.52. Segera kuteguk habis sisa espresso. Anna setali tiga uang dengan polahku. Disambar habis tiramisunya. Diteruskan dengan menenggak habis sisa-sisa capucinno. Kami berbarengan meninggalkan Starbucks Coffee. Menuju pintu lift . Terbenam di dalamnya. Di lantai 21 Anna meloncat keluar. Menuju kantornya. Enam lantai berikut, di lantai 27. Di sini kantorku.

Laptop kunyalakan. Jaringan internet kupasang. Memeriksa puluhan e-mail . Sebagian besar e-mail sampah. Sisanya e-mail yang layak dibaca dan dibalas. Setengah jam berikut, Tini, sekretarisku, membawa guntingan koran. Ada sepuluh kliping berita dan analisis. Semuanya tentang saham dan keuangan. Kuamati satu analisis. Kubaca judul tulisannya, "Merekayasa Laporan Keuangan: Tanggapan Atas Tulisan Agung Kusuma." Lalu kupelototi penulisnya, Anna K Wijayanti.

Anna, namanya seindah parasnya, secerdas otaknya. Menanggapi analisisku. Analisis tentang penggorengan saham yang dilakukan oleh perusahaan kliennya. Kuserang habis perusahaan klien Anna. Kutelanjangi intrik-intrik laporan keuangannya. Kubeberkan perkembangan nilai-nilai sahamnya yang nyaris tidak masuk akal. Pagi ini, gantian Anna membela habis-habisan kliennya. Bahkan pada tulisannya, aku disebut analis kacangan yang cuma mencari sensasi murahan. Lalu ditutup dengan kalimat pendek namun amat tajam. "Beginilah kalau tukang kayu mencoba menjadi pemain saham. Semua dianggap sebagai paku." Wow, luar biasa tanggapan wanita berparas ayu dengan dua anting di telinganya.

Tulisan Anna kusimpan di laci. Nanti sore akan kubuat tulisan untuk menanggapi ulang analisis Anna. Kuraih guntingan koran lainnya. Kali ini direktur utama perusahaan yang kutelanjangi laporan keuangannya angkat bicara. Kulihat fotonya dengan jajaran direksi lain. Membuat konferensi pers. Isinya tunggal; menuntut aku.

Tulisan-tulisanku tentang perusahaannya dianggap mencemarkan nama baik perusahaan. Harga saham perusahaan yang dalam seminggu terakhir meluncur jatuh dianggap karena ulahku. Aku dituntut mengganti rugi sebesar 100 miliar rupiah. Wah, luar biasa tuntutan perusahaan klien wanita berparas ayu dengan dua anting di telinganya. Dari mana akan kututup uang tuntutan sebesar itu?

Sejenak berikut HP-ku berdering. Dari penyiar televisi. Katanya mau mewancarai aku. Tentang tuntutan perusahaan klien Anna. Jam dua belas tiga puluh wawancaranya. Kusetujui.

Kliping koran selesai terbaca. Laptop yang tadi sibuk dengan e-mail sekarang berganti dengan angka-angka saham. Harga saham perusahaan klien Anna semakin meluncur. Aku tersenyum. Aku berkelana memelototi saham lainnya. A ha , ini dia saham incaranku. Perusahaan milik negara yang sedang sibuk dengan pergantian direksi. Bukan karena direksi lama tidak becus. Tetapi ada pergantian penguasa. Direksi lama yang tidak punya cantolan politik terpaksa dilengserkan oleh penguasa baru. Saat yang tepat untuk membeli saham.

Segera kuhubungi Daniel, mitraku. Dalam percakapan singkat langsung terjadi kesepakatan; memborong saham perusahaan itu. Tugas Daniel berikutnya menggoyang lantai bursa dengan rumor-rumor tentang direksi baru perusahaan milik negara itu. Ketika rumor sedang panas-panasnya, saat tepat untuk menjual saham. Tentu dengan harga yang berlipat-lipat. Luar biasa, dalam sekejap perusahaanku akan mendapat keuntungan mahabesar.

Jam dua belas lebih tiga puluh. Aku sudah di depan kamera tivi. Membeberkan tentang skandal keuangan besar di tahun ini. Angka-angka ajaib laporan keuangan dari perusahaan klien Anna. Harga saham yang aneh. Setiap jam empat lebih lima puluh menit di hari Jumat pasti harga sahamnya terkerek tinggi. Aneh ini. Sepuluh menit lagi bursa saham di tutup. Kok selalu terjadi jual beli dengan angka fantastis.

Tiga puluh menit di layar kaca. Bertubi-tubi telepon datang ke redaktur televisi. Sebagian besar memuji analisisku. Sebagian kecil memaki. Para pemaki ini pasti gerombolan manajemen perusahaan itu. Kemungkinan besar Anna ikut memaki aku. Kubayangkan bibir Anna marah-marah di ujung telepon. Kuimajinasikan wajah cantik Anna berubah buas memaki-maki aku. Ah, memaki pun Anna masih tetap ayu.

Jam dua aku sudah terbenam dalam angka-angka saham. Segepok saham berinisial ATK masih tergenggam di tanganku. Kuajak diskusi Daniel. Kata Daniel, simpan dulu saham ATK. Dua hari lagi pasti akan terkerek harganya. Daniel, kupercayai nasihatnya. Jam tiga sore, tiba-tiba terjadi hiruk-pikuk di lantai bursa. Harga saham ATK yang aku kuasai dalam sekejap meluncur jatuh. Dari nilai Rp 1.575 turun tiga ratus poin menjadi Rp 1.275. Aku gelagapan. Nyaris berteriak. Semakin sore, mendekati penutupan, saham ATK semakin sakit. Lalu di ujung penutupan bursa, saham ATK terjun bebas sebanyak 520 poin. Harga saham menjadi Rp 1.055 per lembar saham. Imajinasi otakku langsung menghitung, ratusan juta melayang.

Aku tepekur diam. Tanpa ekspresi. Nyaris mati. Kubiarkan Daniel yang mencoba membuat seribu alasan. Ratusan juta hilang dalam sekejap. Bagaimana aku mempertanggungjawabkan peristiwa ini ke kantor pusat di New York sana ?

Pikiranku kacau. Metabolisme di tubuhku tidak karu-karuan. Lunglai. Sebelum akhirnya sebuah suara keluar dari HP-ku. Suara wanita berparas ayu dengan dua anting di telinganya, " Frappucino cream atau iced latte ? Jangan dijajah pekerjaan. Kutunggu kau di Starbucks."

" Iced latte !" segera kusahut suara Anna. Kuangkat tubuh. Kulangkahkan kaki. Di Starbucks Coffee, Anna sudah menunggu. Terhidang satu frappucino cream . Satu lagi iced latte .

" Ada film bagus. Bintangnya Tom Cruise. The Collateral . Kau sudah nonton?" tanpa ditunggu Anna sudah membuka bibir begitu aku menaruh tubuh di hadapannya.

"Belum. Hanya membaca resensinya saja.," langsung kuteguk iced latte . Senja hari. Apa yang lebih eksotik dibanding secangkir iced latte dan ditemani gadis ayu cerdas bernama Anna Karenina?

"Sayang Tom Cruise tidak mendulang Oscar di film itu. Oh ya, tadi aku diberi buku kumpulan puisi. Kekasihku . Penulisnya satrawan lokal, Joko Pinurbo. Sudah baca?" Anna bertanya. Kugelengkan kepala. Lalu dikais isi laptop- nya. Buku warna hijau. Diserahkan kepadaku. Joko Pinurbo, sastrawan generasi baru nan luar biasa. Kulahap beberapa puisinya.

Senja semakin merangkak. Mentari menghilang berganti bulan. Bintang-bintang di langit bermunculan. Jam mendekati angka tujuh. Kuselesaikan iced latte -ku.

"Anna, sudah jam tujuh. Three in one berakhir. Kita teruskan ngobrolnya besok pagi. Malam ini ada tulisan yang harus aku selesaikan. Terima kasih iced latte -nya," aku mengangkat tubuh. Sejenak kutatap Anna. Kusalami tangannya. Lalu kuangkat kaki. Dua langkah dari kursi, tiba-tiba Anna sedikit berseru. Kuhentikan langkah. Kubalikkan badan.

"Hari ini sahammu hancur. Aku yang menghancurkan. Hari ini kamu kalah," Anna menelanjangi wajahku."

"Dugaanku begitu. Pasti kamu yang melakukan. Hari ini aku memang kalah. Lalu?" kutanya Anna.

"Orang kalah layak dihukum."

Kubalikkan tubuh lagi,"Apa hukumannya?"

Anna menelan ludah. Menelanjangi wajahku. Lalu bibirnya terbuka. Berbisik. Sebuah bisikan yang sudah lama aku tunggu-tunggu.

"Malam ini, kau dihukum untuk menemani tidurku...."

Anna Karenina Wijayanti. Hari ini menjadi pemenang. Pemenang yang menghukum pecundang. Sebuah hukuman nan elok. Akan kujalani hukuman itu.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Sweet Tomatoes Printable Coupons