Sabtu, 12 Februari 2011

Mata yang Mudah Kasihan

Istriku mempunyai mata yang mudah jatuh kasihan. Melihat wanita-wanita malam dirazia aparat ketentraman-ketertiban, yang diseret, ditendang, atau didorong ke atas mobil dengan bak terbuka seperti yang ditayangkan televisi, dia merasa kasihan. Melihat pengamen dan pengasong di perempatan lampu merah dia juga kasihan. Melihat pengemis terseok-seok di bawah terik matahari, apalagi yang tua renta serta anak-anak, lebih-lebih lagi. Tangan istriku segera terjulur di jendela membagikan uang, kala mobil kami dihentikan sopir di perempatan jalan berlampu merah."Awas. Jangan sampai jarimu pula dikerat mereka!" kubilang.Aku memang tidak menyukai perbuatannya. Bagiku itu kecengengan dan kelemahan. Pekerjaan sia-sia, mubazir, dan juga teramat berbahaya. Para pemalas yang berkeliaran di lampu-lampu merah itu dalam beberapa detik bisa berubah menjadi serigala, memangsa siapa saja termasuk atau apalagi si pemberi uang. Bukan sekali dua kali hal itu terjadi. Dan setiap kali selalu disertai cucuran darah, bahkan dengan melayangnya nyawa.Tetapi istriku tak menggubris peringatan-peringatan itu. Istriku diam saja saat diingatkan, apalagi sekadar disindir-sindir. Belakangan malah ia memandangku sembari tersenyum. Ya. Awak pula yang dilihatnya dengan sinar mata menyorotkan rasa kasihan, sehingga jengkelku menjadi-jadi."Aku tidak mengada-ada," kataku suatu kali, seusai dia melakukan perbuatan konyol itu. "Sering terjadi, begitu kaca mobil dibuka sebilah belati langsung ditodongkan lewat jendela. Kadang-kadang kapak berwarna merah. Dan, cincin, gelang, kalung, subang, ponsel, tas, uang, dompet ... pokoknya semua dikuras bajingan-bajingan itu!""Tapi itu kan penodong atau perampok, Bang.""Sama saja!" kataku geram. "Kamu tahu, mereka terorganisir. Ada yang mengatur. Ada pembagian kerja yang rapi dan solid. Ada mata-mata, pemberi isyarat, dan eksekutor. Juga pembagian pendapatan. Mengemis bagi mereka hanya sampingan, sebagai kedok, bukan target utama!""Ah, Abang berlebih-lebihan." Istriku tersenyum. Dipandangnya aku dengan sinar mata mengasihani. Lalu beralih melihat jalan raya ketika aku menggeleng-geleng."Tidak!" kataku. "Banyak orang tahu mereka berpura-pura!""Bagaimana mereka berpura-pura kalau berjalan saja tertatih-tatih, Bang," balas istriku. "Mata mereka kuyu lagi. Wajah mereka juga tidak ada yang bercahaya kulihat.""Ala, akting itu. Sinetron, telenovela!"Dasar istriku, dia tetap tidak terpengaruh. Juga waktu kusindir, mestinya dia menjadi menteri sosial saja, atau sekalian menggantikan Bunda Teresa, istriku tetap tidak goyah. Senyumnya malah tambah melebar dan matanya makin rajin memandangku dengan sinar iba. Mengjengkelkan sekali. Istriku beranggapan, orang-orang itu sungguh tidak bersandiwara, tapi benar-benar lapar dan terlalu banyak beban. Karena itu langkah mereka terseok-seok, mata mereka kuyu, dan wajah mereka muram tidak bercahaya.Artinya, istriku terus melakukan kebiasaan buruk yang sangat berbahaya itu. Menjulurkan lengannya yang lampai kuning langsat lewat jendela saat mobil kami berhenti di depan lampu pengatur lalu lintas diperempatan jalan, membagi-bagikan uang dengan jarinya yang lentik berhiaskan cincin berlian.Aku selalu berdebar setiap kali menyaksikan adegan itu. Aku cemas dan risau. Dongkol bukan kepalang. Di kantor pun tempo-tempo aku merasa cemas dan jengkel membayangkan kalau istriku tetap dengan kekonyolannya, padahal dia pergi berdua dengan sopir. Apalagi bila dia nekat menyetir sendiri, misalnya menjemput anak-anak ke sekolah. Bagaimana jika sebilah belati sekonyong-konyong ditempelkan tangan kekar bertato ke lehernya yang jenjang? Atau kapak merah tiba-tiba teracung, siap menebas lengannya yang ramping.Melihat istriku tenang saja dan tidak percaya kemungkinan-kemungkinan buruk itu bisa terjadi, aku juga heran serta bertanya-tanya dalam hati. Apa yang dicekokkan orangtua dan lingkungannya dulu di kampung sehingga dia begitu yakin pada manusia? Mengapa belasan tahun hidup di Jakarta, kuliah, bekerja, berumah tangga tidak membuat dia berubah? Padahal dia mestinya tahu di kota ini kepedulian harus kita perhitungkan masak-masak. Perasaan jangan sekali-kali diumbar. Di kota ini perasaan dan kepedulian tak ubahnya fulus. Menyelamatkan jika dihemat, dan mencelakakan bila dihamburkan untuk sesuatu yang tidak berguna.Kupandang wajahnya dengan harapan menemukan jawaban di sana. Namun istriku asyik menyimak berbagai adegan di jalan raya dengan mata yang mudah jatuh kasihan itu.Dan mobil kami dihentikan sopir lagi di perempatan berlampu merah. Bagai kerumunan lalat, orang-orang malas itu beterbangan ke jalan, hinggap dari mobil ke mobil. Suaranya mendengung-dengung. Istriku membuka jendela, menjulurkan lengannya yang lampai dan membagi-bagikan uang kepada setiap pengemis yang mengerumuni mobil kami. Mungkin ada lima atau sepuluh orang."Kamu benar-benar tidak mendidik!" kataku mencela.Tiba-tiba dia tertegun. "Apa maksud Abang?" tanyanya dengan alis bertaut dan suara yang tak seperti biasanya."Apalagi?!" aku membalas dengan perasaan dongkol."Bahwa mereka malas berusaha, karena lebih gampang dapat uang dengan meminta-minta?""Tengok yang kamu beri uang barusan," kataku. "Kakinya utuh, dan tangan mereka pun tidak satu setengah!""Tetapi itu bukan alasan memvonis mereka pemalas!" istriku menyergah. Aku tersenyum sinis."Jangan senyum seperti itu, Bang.""Lalu?""Keadaan yang membuat mereka jadi peminta-minta!" sergah istriku. "Toh tak banyak yang bisa diperbuat orang sekarang. Semua menyempit, serba sesak.

Abang kan paham ada 40 juta penganggur karena lapangan pekerjaan baru nihil. Berpuluh-puluh juta orang hidup dalam kemiskinan, sangat melarat. Tidak punya tanah, sawah, ladang, pekerjaan, juga tak memiliki rumah. Anak-anak mereka tidak bersekolah!" Dia terhenti sejenak. Mengatur napas."Jadi kuncinya ekonomi," lanjutnya. "Selama ekonomi masih buruk, hanya ditata lewat omongan melulu di koran serta televisi, melalui pidato-pidato politik, sementara korupsi jalan terus dan keadilan tidak bersungguh-sungguh ditegakkan, orang-orang malang itu bakal bertambah banyak, berkeliaran di jalan-jalan!"Aku terperangah. Argumentasinya. Lebih-lebih semangat dan sikapnya. Sungguh tidak kusangka dia akan berlaku demikian. Rupanya dalam mata yang mudah jatuh kasihan itu juga tersimpan semangat serta ketegasan yang tidak bisa ditawar lagi. Dalam hatinya yang lemah ada yang bisa mengeras serupa baja.Mengapa semua itu selama ini tidak kukenali? Padahal telah kuhapal tubuhnya yang ramping dalam sepuluh tahun perkawinan kami. Aku hapal wangi tubuhnya yang khas. Juga desah napasnya yang lembut di kala tidur. Aku benar-benar merasa berada di dekat manusia asing. Bukan istriku. Ah. Apakah kita bakal tetap asing satu sama lain, tak kecuali dengan istri sendiri?Sementara itu suaranya masih terdengar: "Ironisnya, dalam situasi seperti itu banyak orang beranggapan tidak mendidik jika orang-orang yang tak berdaya itu disedekahi seribu dua ribu rupiah. Semua seakan ingin mendidik mereka tapi tanpa menunjukkan atau membukakan jalan. Dan, siapa yang akan membantu orang-orang itu mengatasi beban yang mendesak seperti lapar yang tidak mungkin ditunda? Sakit yang terpaksa ditanggungkan lantaran tidak punya uang untuk berobat?"Aku belum juga menemukan diriku. Masih terkatung-katung antara istriku dan sosok asing yang muncul dari dirinya. Juga ketika waktu berlalu dan lengannya yang lampai terasa merangkul tanganku, seolah berkabar dia tetap perempuan yang sepuluh tahun belakangan ini mendampingi hidupku, sosok asing itu tidak lenyap.Lalu kudengar istriku menarik napas. "Aku tahu Abang hanya terlalu letih saja," bisiknya lunak. "Bagaimana jika minggu depan kita libur ke luar kota bersama anak-anak?"Aku cuma manggut-manggut. Lengannya kembali memeluk tanganku, lebih erat dan mesra. Tetapi sosok asing itu tetap tidak lenyap. Atau barangkali memang tidak akan pernah pergi lagi, tinggal menetap sebagai unsur baru dari diri istriku yang menuntut dikenali.Sejak itu aku agak berhati-hati menyikapi perbuatan istriku yang konyol dan berbahaya itu. Betapapun tidak elok memelihara bibit konflik dengan manusia paling dekat dalam hidup kita. Dan, jangan-jangan istriku nanti malah menyangka uang receh yang ia bagi-bagikan itu penyebab ketidaksukaanku. Bukan akibat buruknya. Buruk bagi pemalas yang berkerumun di lampu-lampu merah itu, terlebih buat istriku. Akan makin runyam kalau sopir kami ikut-ikutan menduga demikian."Biar sopir memberikan, tak usah kau julurkan tanganmu ke luar," kataku di suatu perempatan jalan berlampu merah."Begitu juga bagus, ya Bang. Yang penting manfaatnya untuk mereka, bukan siapa yang memberi."Sesukamu, ucapku dalam hati. Yang penting bagiku, lenganmu tak ditebas kapak merah. Masak istri manajer perusahaan multinasional, dan tidak pernah mengemplang uang negara, tangannya buntung!"Toh anak-anak yang kita bantu biaya pendidikannya juga tak mengenali kita ya Bang? Memang tidak penting amat, kan ?"Suka-suka kamu, kataku lagi dalam hati. Asal jarimu yang lentik tidak dikerat belati berkilat. Atau, lehermu yang jenjang tidak ditembus ujungnya yang lancip. Begitulah aku mengelola bibit konflik itu supaya tidak tumbuh berduri di antara kami. Aku rasa istriku pun melakukan upaya yang sama, tanpa harus ke Singapura atau Amerika Serikat untuk mengoperasi matanya agar tidak mudah lagi jatuh kasihan.Namun kedua anak kami, si kembar Audi dan Auya yang baru kelas dua SD, juga mengejutkanku. Berjalan-jalan ke mal bertiga dengan mereka suatu hari tanpa sopir, mobil segera kuhentikan di pertigaan saat lampu lalu lintas menyala merah. Tiba-tiba keduanya membuka jendela lalu menjulurkan tangan ke luar. "He, he, apa yang kalian lakukan?""Ngasih uang, Pa. Kasihan!" mereka menyahut dan menengok. Mata keduanya berbinar dilumuri rasa kasihan, persis mata istriku. Dadaku berdebar."Kalian tak takut dijahati orang-orang itu?" tanyaku saat lampu lalu lintas menyala hijau."Kata Mama mereka yang tulus membantu tidak akan dijahati orang, Pa," jawab Audi."Mama bilang, orang bisa melihat ketulusan orang lain dari matanya, Pa," sambung Auya bangga.Aku menarik napas. Lalu kuawasi saja anak-anakku dengan semangat melindungi. Dua gadis kecilku kini bercakap-cakap sembari tertawa-tawa. Dan aku merasa itu memang yang lebih bijak bagi seorang ayah.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Sweet Tomatoes Printable Coupons