Sabtu, 12 Februari 2011

Jalan Tinda

SETIAP melewati jalan sepanjang kurang lebih satu kilometer itu, perut saya seperti diaduk-aduk. Rasa mual ingin muntah menyodok-nyodok dan memelintir saluran pencernaan. Paru-paru sesak karena harus menahan napas sekian menit agar bau busuk yang menyengat tak sempat mampir dan terhirup oleh hidung saya. Udara panas di luar maupun di dalam kendaraan semakin mempertajam aroma bacin. Untuk kesekian kalinya kepala saya diserang sakit hebat. Keringat menderas.

Sial! Kalau saja kemarin sopir angkutan kota itu tidak ugal-ugalan dan tidak menyenggol sampai penyok spatbor belakang mobil saya, mungkin penderitaan hari ini tidak terlalu parah. Lebih sial lagi, pada saat benar-benar diperlukan seperti saat ini, saya lupa membawa tisu atau sapu tangan. Dan tindakan menutup hidung dan mulut saya sendiri itu pada akhirnya juga sia-sia saja karena lubang-lubang di sepanjang jalan tak pernah memberikan kesempatan bagi saya untuk terus-menerus melakukan hal itu. Kendaraan yang saya tumpangi selalu berguncang karena sopir berusaha menghindari lubang-lubang itu tanpa mengurangi kecepatan kendaraannya sedikit pun. Jika saya tetap mempertahankan salah satu atau kedua telapak tangan saya untuk menutup hidung atau mulut, tubuh saya akan oleng dan menubruk penumpang lain di sebelah kiri kanan saya. Meski mereka juga merasakan hal serupa dan berupaya mempertahankan kelembaman tubuhnya agar tidak berbenturan dengan penumpang yang lain, kejadian ini akan semakin memperparah kejengkelan orang bersangkutan.

"Terkutuk!" umpat laki-laki tua yang duduk di belakang saya tiba-tiba. Saya terperanjat. Suaranya nyaring memecahkan telinga. Hampir saja saya balik mengutuk dia karena telah mengagetkan saya. Penumpang lain sekilas melirik ke sumber suara dengan ekspresi penasaran. Dalam batin mereka mungkin bersyukur, setidaknya, suara itu telah memecah konsentrasi mereka terhadap bau busuk. Walau pada akhirnya mereka kembali disibukkan oleh upaya melindungi hidung dan mulut mereka sendiri sambil harap-harap tidak jelas, barangkali ada kalimat lanjutan yang lebih keras dari mulut Pak Tua. Karena sekilas, dari cara menyemburkan suaranya, orang-orang sudah bisa menyimpulkan bahwa Pak Tua ini memiliki karakter temperamental.

Sambil sesekali menutup hidung dan mulutnya dengan tangan kiri, Pak Tua meneruskan umpatannya. "Apa semua penduduk kampung sini membuang beraknya setiap hari di sepanjang jalan ini? Biadab!" Pak Tua batuk-batuk. Mungkin karena terlalu emosi sehingga kontrol suara yang melewati tenggorokannya tidak terjaga. Orang-orang yang tampak sangat tersiksa itu sedikit terhibur dengan umpatan-umpatannya. Seakan aspirasi kejengkelan kami semakin terwakili. Meski kami juga yakin betul, umpatan-umpatan Pak Tua ini tidak akan pernah dapat mengubah aroma penciuman sepanjang perjalanan sehingga menjadi harum. Busuknya tetap busuk. Dan siapapun yakin, yang tercium oleh mereka, termasuk saya, bukan aroma kotoran hewan seperti sapi, kambing, atau kerbau. Tapi ini benar-benar asli tinja manusia!

Mungkin apa yang dikatakan Pak Tua itu ada benarnya. Orang-orang di kampung sini benar-benar terkutuk. Mereka dengan sengaja membuang hajatnya sembarangan di pinggir-pinggir jalan karena di rumahnya tidak memiliki sarana yang cukup memadai untuk buang hajat. Atau mereka melakukan hal itu karena bodoh? Karena tidak sekolah? Sehingga untuk buang hajat saja mereka tidak tahu di mana tempatnya? Tinja penduduk kampung telah menciptakan kawasan yang benar-benar busuk dan memaksa para pengguna jalan yang tidak bersalah yang harus merasakan akibatnya.

Saya tidak bisa membayangkan, suatu ketika saya terpaksa harus berhenti di kawasan tersebut tengah malam dan jalan kaki mencari bengkel untuk menambal ban mobil atau terjebak kemacetan berjam-jam karena ada kecelakaan lalu-lintas misalnya? Dan saya berada tepat di dekat sumber bau yang paling busuk? Terlebih, saya sangat yakin para pejabat daerah juga pasti menggunakan jalan ini agar sampai ke kota tetangga untuk keperluan dinas maupun pribadi. Tapi mereka tampaknya tidak peduli. Ini yang kemudian membuat kejengkelan saya semakin melebar ke mana-mana. Buat apa saya membayar pajak untuk negara kalau saya tidak menerima jaminan sarana transportasi dan kesehatan yang layak? Karena saya merasa selama ini telah menjadi wajib pajak yang cukup tertib. Jadi saya tidak bersalah kalau ngomong seperti ini. Apalagi sejak tiga tahun ini saya mengidap paru-paru basah.

Saya jadi ingin sekali menghajar orang-orang yang telah berbuat jorok dan menyebarkan penyakit itu. Saya merasa jadi orang yang paling dirugikan oleh orang-orang busuk itu. Rugi waktu, kesehatan, dan kenyamanan berkendaraan. Kalau saya sakit karena paru-paru saya jeblok akibat bau tinja itu, siapa yang akan bertanggung jawab membiayai pengobatan dan rumah sakitnya? Bagaimana juga kalau tiba-tiba ban mobil saya pun melindas tinja-tinja itu dan menciprati bodi mobil saya? Apa saya harus sampai ke kantor dengan cat mobil baru berwarna kuning sedikit gosong? Apa komentar teman-teman kerja saya ketika melihat perubahan cat pada mobil saya ini? Berapa waktu yang harus saya buang untuk mencuci mobil saya supaya tidak diledek teman-teman di kantor?

Ingin rasanya saya melempar pakai batu siapapun orangnya yang ketahuan sedang berjongkok membuang beraknya sembarangan. Saya bahkan berpikir untuk membeli senapan atau pistol untuk menembak para pemberak itu. Lalu mereka akan saya seret ke tengah jalan agar semua orang tahu bahwa merekalah yang harus bertanggung jawab atas perbuatannya yang telah menyebarkan penyakit bagi orang banyak, terutama saya. Kalau perlu, akan saya suruh mereka membungkus beraknya sendiri untuk dibawa pulang ke rumahnya sebagai oleh-oleh.

Tapi sepengetahuan saya, sejak saya dipindah kerja ke kota yang "dijembatani" oleh tinja manusia itu sebulan lalu, saya tidak menemukan perkampungan di sepanjang jalan yang sering saya lewati. Di kiri-kanan jalan hanya ada semak-semak dan persawahan. Dan di pinggir-pinggir jalan barat terdapat warung-warung minuman dingin dan buah-buahan musiman semacam durian, rambutan, duku, atau semangka. Jadi kecil sekali kemungkinannya kalau yang berak di situ adalah orang-orang kampung. Lantas siapa yang melakukannya?

Mungkinkah orang-orang yang singgah di warung-warung sebelah barat jalan itu yang melakukannya? Karena warung-warung itu tidak menyediakan WC sehingga mereka seenaknya membuang kotoran? Mungkin sopir-sopir truk antarprovinsi yang juga kerap lalu lalang di jalan itu? Ketika hajatnya sudah tidak bisa ditahan maka areal persawahanlah yang jadi sasaran? Atau yang melakukan semua itu justru para pedagang di warung-warung sebelah barat jalan?

Kalau saja ada jalan alternatif yang bisa memperpendek jarak antara rumah dengan kantor, saya akan mengadakan syukuran besar-besaran. Saya akan mengundang seluruh tetangga untuk merayakan kebebasan dari "penjajahan" dan "penyiksaan" bau busuk ini. Sayangnya, kota ini tidak memiliki jalan alternatif. Jalan busuk itulah satu-satunya sarana paling cepat untuk mencapai kantor saya. Jadi, mau atau tidak, saya harus merelakan mulut dan hidung saya terus-menerus disumpal bau tinja. Kalaupun ada jalan lain, hanyalah jalan melingkar di sisi kota yang sudah lama rusak berat dengan jarak sekitar lima kali lipat dibanding jalan yang biasa saya tempuh. Saya tidak mungkin berangkat pukul empat pagi hanya agar sampai di kantor pukul tujuh. Berapa lagi saya harus menghitung dan melebihkan kebutuhan untuk anggaran keuangan pemenuhan bahan bakar mobil saya kalau begitu?

Semua ini sebenarnya tidak terlepas dari kesalahan saya juga. Ketika dulu mengajukan surat permohonan mutasi, saya tidak mempertimbangkan atau melakukan survei terlebih dahulu mengenai bau tinja di sepanjang jalan yang akan saya lewati. Tapi apakah dengan begitu saya juga harus mengajukan surat permohonan pindah kerja lagi utuk ketiga kalinya? Atau, apakah ini juga menjadi bagian dari tugas saya untuk membersihkannya? Kalau begitu, apa yang dikerjakan para pegawai kebersihan dan persampahan? Lagi pula, andaikan pula saya mengetahui sejak awal soal tinja itu, saya mungkin tidak akan begitu mempedulikannya. Sebab bisa saja saya tidak begitu mempersoalkannya karena hanya sebagian kecil saja jarak berbau yang akan saya lalui dengan cepat. Tapi sekarang saya harus merasakan akibat dari sikap menyepelekan itu.

Maka kini, tekad saya sudah bulat. Saya akan mengintai lalu menghajar siapa saja yang berak di situ. Sayapun lantas menyiapkan batu-batu sebesar kepalan tangan di samping jok tempat duduk saya mengemudi. Pada saatnya nanti, batu-batu itu akan saya lemparkan tepat mengenai kepala si pemberak. Tentu dia akan menjerit kesakitan sambil mendekap kepalanya yang bocor berdarah. Sambil berlari mendekap kepalanya itu, si pemberak sampai-sampai lupa membersihkan sisa kotorannya dan juga celananya. Peristiwa itu akan membuat hati saya puas. Dia tentunya akan bercerita kepada teman-temannya dan berpesan agar teman-temannya tidak berak di situ karena ada setan pengganggu.

Maka, berhari-hari dan bermalam-malam saya mengintai pemberak. Mobil saya parkir agak jauh dari deretan warung-warung agar aksi saya tidak terlihat. Tapi lebih dari seminggu melakukan pengintaian, saya tidak mendapati seorang pun yang mencurigakan. Malahan selama itu pula saya justru menjadi pihak yang benar-benar tersiksa karena harus menggunakan masker berjam-jam. Saya juga tidak bisa makan karena bau tinja yang sangat menyengat. Sampai-sampai saya tidak bisa membedakan bau roti dengan biskuit. Air mineral yang saya bawa juga seakan berubah warna menjadi kekuningan dan berbau amis. Sesekali saya tergerak untuk nongkrong di warung-warung agar rasa haus dan lapar sedikit terobati. Tapi saya khawatir para pedagang akan mencurigai gerak-gerik saya.

Saya hampir frustrasi sampai kemudian pada malam ke sekian saya melihat gerumbulan semak-semak di sebelah kiri mobil saya bergerak-gerak. Saya gembira bukan main sekaligus berdebar. Inilah saatnya bagi saya untuk bertindak dan menghajar pemberak laknat itu. Saya genggam batu kuat-kuat. Saya sasarkan tangan ke jendela depan sebelah kiri yang sengaja saya biarkan terbuka. Hampir saja saya melemparnya sambil berteriak ketika dari gerumbulan semak itu menyembul sebuah kepala yang saya kenali. Sebuah kepala yang kemudian menyapa saya, "Sedang apa kamu di sini, Jo?"

Saya gelagapan dan pura-pura beralasan sedang istirahat sejenak di tempat itu. Saya buru-buru pamit meninggalkan keheranan di wajah bos saya itu. Ketika esoknya masuk kantor, wajah bos saya biasa-biasa saja. Dia tidak menanyakan ini-itu tentang peristiwa semalam yang hampir saja membuat kepalanya bocor akibat lemparan batu. Kalau saja dia tahu dan pelemparan itu benar-benar terjadi, mungkin saat ini saya sudah tidak lagi berada di ruangan kerja.

Pukul lima sore saya berkemas. Bergegas ke tempat di mana mobil saya diparkir. Tiba-tiba, saya mencium bau tinja yang sangat menyengat dari arah mobil saya. Saya kemudian memeriksa seluruh ban depan-belakang barangkali melindas sesuatu yang berwarna kuning. Ternyata benar, pada ban depan sebelah kiri menempel sisa-sisa kekuningan yang sudah menghitam. Saya teringat, tadi malam bos saya menyapa sambil menumpangkan kakinya pada ban depan sebelah kiri mobil saya.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Sweet Tomatoes Printable Coupons