Sabtu, 12 Februari 2011

No Maden

BERULANG kali kutemukan ia selalu tidur di mana saja. Entah, itu di rumah kenalannya, atau juga seseorang yang lama sekali tak ditemuinya. Hidupnya, barangkali merupakan suatu perjalanan, di mana ia terus saja menyeret langkah, mengikuti arah mata angin, membaca kompas dengan tangan yang gemetar. Malam meruap, ia satukan jiwanya pada pekat, namun kegelisahan dalam dirinya terus saja beranak, membelah-belah udara, memetikinya sampai lumpuh. Hingga merasa, jika ia memang harus bersedia diri menjadi "No Maden" sejati. Melangkahkan kaki, kemana saja, menemui wajah-wajah baru yang tak pernah ia tahu asal-usulnya, orang-orang yang senantiasa bercakap-cakap, menceritakan keluh-kesah, sejenak mengharap langit yang akan menjawabnya. Sampai aku tak pernah lagi bertemu dengannya. Meski, aku telah mencoba menghubungi kenalan-kenalanku di kota ini. Ia seperti menghilang, namun beberapa saat kemudian, aku menemukannya kembali. Selalu saja, begitu. Aneh juga, pikirku. Namun, apa boleh buat, aku sendiri terlampau sibuk, aku sendiri tak begitu peduli dengan kegiatannya. Siapa sih orang di kota ini yang benar-benar mengerti orang lain. Tidak ada! Bahkan, semua orang merasa tak peduli dengan urusan orang lain. Begitulah, ia selalu saja kujumpai, memunguti sepi yang terus merampasnya. Berulang-ulang. Bergantian, bagai slide potongan film yang selalu menyajikan adegan film, sepotong-potong. Tak pernah jelas, dan kabur. Ia membaca bayangannya yang menyamar, merampas kepiluan yang sama. Seperti sobekan kulit ari yang memerih, memuncratkan lukanya yang kemarin, berulang dan senantiasa berulang. Bahkan, ia tak lagi merindukan pagi. Matahari yang hangat, sekadar membanjiri tubuhnya dengan siraman cahaya. Ia lupakan semua, hanya saja ia rasakan belaian angin yang terus melambai-lambai, membalut tubuhnya sampai kaku dan mendingin. Entah, sudah perkabungan yang keberapa dirasakannya. Sampai ia tak mampu pula merasakan kepahitan ludah di tenggorokan, menunggu kesibukan-kesibukan yang tak berarti terus berulangan. Ah, kemana ia pungut sepi itu? Kemana ia mesti mencari kesepian yang sudah bertahun itu. Sebenarnya, ia ingin sekali seperti cerita tujuh orang yang terkurung di dalam goa, terus saja tertidur sampai tiga ratus tahun lamanya. Ia kepingin sekali melupakan peristiwa-peristiwa, dan pada saat terjaga dari mimpi, ia kelak akan singgah di negeri lain. Negeri asing, di mana tak ada seorangpun yang mengenalnya. Barangkali, ia hanya bosan. Bangun pagi-pagi tiap hari. Memakan seadanya. Bergegas. Berlomba dengan gerombolan orang. Tanpa sempat menyaksikan bunga yang baru saja mekar. Mendengarkan cicit burung. Membaca koran. Menghirup udara pagi yang dikatakan oleh banyak orang begitu fresh. Atau menonton televisi tentang berita-berita kemarin. Kali ia pahami semuanya. Mengapa orang mudah sekali menciptakan dendam, menanak dendam itu dengan sempurna. Sampai pecah. Sampai dari mulut mereka mengeluarkan api seperti naga. Ah, ia merasa begitu tak bertenaga menghadapi segalanya. Dengan seketika nyalinya mendadak kerdil. Tak berdaya. Ia sendiri tak mengerti perihal dan ihwal yang sedang terjadi. Di mana sebenarnya rasa itu tercipta. Ia membongkar metabolisme tubuhnya. Sampai urat di dadanya mendadak keluar. Sampai ia begitu tersengal saat bernafas, seperti detakan jantungnya terus saja berdatangan, membawanya pada hembusan angin yang menjauh. Maka, untuk itu, ia relakan meninggalkan segalanya. Menjadi petualang. Pengembaraan hari-hari yang sepuh. Menjejakkan kaki ke daerah-daerah yang belum pernah ia temui sebelumnya. Memperhatikan wajah-wajah manusia yang tak pernah dikenal, nama atau riwayatnya. Dipintalnya segala keraguan, dimantapkannya tekad. Ia bulatkan semangat. Supaya tak lagi gamang. Meski, terkadang ia merasa takut setiap kali melihat bayangan tubuhnya yang berpendaran. Ia begitu ngilu setiap kali memandang keremangan itu. Seperti ada yang tumbuh di dalam bayangan itu. Di dalam dadanya ia selalu bergejolak, merentangkan keinginan, merentangkan harapan yang terasa hampa. Mengikatnya, melemparkannya ke dalam imaji yang berwarna-warni. Tanpa pelangi hati, atau juga secercah pelita yang bakal menerangi goa-goa perjalanan. Kini, disaksikannya kota yang tengah meraung, membelah-belah angkasa. Dengan ratusan kendaraan yang hilir-mudik, bergantian. Terkadang di salah satu sudut kota kendaraan itu bertumpuk, lalu menciptakan kemacetan tersendiri. Ah, di manakah dia saat ini? Berada di dimensi manakah ia sekarang? Ia belai kegundahan itu, mengelusnya bagai mengelus sebuah mainan yang baru. Berharap, suatu saat, kelak bakal ada pelangi yang bisa ia daki. Meski, warna pelangi itu sendiri tak begitu cerah lagi di hadapannya. Namun, ia masih akan tetap menanti pelangi. Biar kebanggaannya tetap tumbuh sebagai lelaki, bila ia ingin harga dirinya tak lagi terinjak mati. Bagai ilalang kering yang tercabut setiap kali ia melangkahkan kaki. Membuka hutan jadi perumahan. Melenyapkan tumbuhan perdu agar menjelma menjadi aspal hitam yang licin. Hmmm... Pembantaian dengan dalih apapun tetap saja sama bentuknya. Selalu saja ada yang tersisih, tersingkir, lantas tergusur. Betapa! Betapa perihnya kesemua itu, namun setidaknya langkah waktu tetap akan berputar. Kita tak pernah bisa menduga ataupun mecegahnya. Kita hanya bisa terhenyak, mendongkrak dengan heran setiap kali menatap cermin dan memandang bayangan diri sendiri. "Mengapa kita bisa sebegitu tua? Mendadak menjadi pikun dan beruban?" Begitulah ia pintal harinya, dengan menunggui cahaya matahari yang datang. Berjalan menuju tanah yang baru, di mana tak seorangpun bisa membaca riwayatnya yang telah lalu. Di mana semua orang selalu tersenyum setiap kali bertemu dengannya, bukan hanya sekadar melepaskan caci maki dan meludahi dirinya beramai-ramai. Barangkali, ia tak ingin dikenal sebagai siapapun. Barangkali, ia ingin menyembunyikan keberadaannya yang juga menghirup oksigen di muka bumi. Mendadak gigilannya meremang, ia memang pasti pergi dari tempat terkutuk ini! Ia tak akan lagi bersedia untuk memakani bangkai saudaranya sendiri. Ia tak ingin tubuhnya menjelma jadi lilin lendir yang senantiasa menguapkan kebusukan yang amat sangat. Ia ingin berdoa, supaya pergi jauh saja, mengembara di negeri asing, seperti juga Chairil. Ia ingin tinggal di istana yang tak perlu pusing-pusing memikirkan segalanya. Memikirkan harga-harga kebutuhan yang naik, mulai beras sampai cabe, BBM, ongkos. Ah, ia tepejam. Menunggu kumparan awan putih melindunginya dari sengat matahari. Sampai terlelap, jauh... Tak lama, ia terbangun. Berpikir sesaat, mungkin besok ia akan mengembara lagi. Singgah di satu rumah ke lainnya. Mengunjungi teman-teman lama yang tak lagi berkabar. Menitipkan hangat kegembiraan di sana . Melepaskan semangat yang pernah ia miliki dulu. Sedang, jalan masih begitu panjang. Tak lagi terlihat ujungnya. Ia hanya bisa berharap. Bukankah aneh bila kita tak punya harapan dalam hidup ini. Sejek, ia berpikir, barangkali enaknya ia menjadi burung saja, bisa bebas mengepakkan sayapnya ke mana-mana. Terbang dan hinggap di mana-mana. Tak peduli akan batas negara, selat, laut, ombak, kerang, lokan, pasir, impian. Hmmm... impian, siapakah dia? Adakah ia bisa selalu bertukar, impian yang selalu datang di saat bermimpi; betapa--buruk sekali.

AKU sendiri, tak pernah mengerti mengapa dirinya bisa sampai seperti itu. Yang aku tahu, ia seperti ingin selalu mengembara. Bagai burung yang selalu mengepakkan sayapnya, melintasi kebiruan langit, melepaskan kegalauannya pada matahari, udara, kendaraan, gedung-gedung jangkung yang mengilalang. Ia melesap, tak berbekas, melalui erangan yang jauh tentang mimpi-mimpi yang diucapkannya berkali. Sepertinya pula, ingin ia gapai impian itu, menggenggamnya agar tak lepas lagi pada kedua telapak tangannya. Menggenggamnya erat-erat, sekadar memberitahukan seisi dunia tentang hasratnya yang lama tertunda. Ia mengerti, apabila ia genggam harapan itu terlalu erat, telapak tangannya akan berdarah, dirinya akan merasakan kepedihan. Namun, ia mesti mencobanya. Bukankah manusia harus seperti itu, mencoba terlebih dahulu, sebelum akhirnya pasrah? Ia teringat masa lalu yang buram. Ia hirup udara itu perlahan, berharap segera melupakannya. Berharap itu hanyalah sebuah mimpi buruk saja, yang tak mesti terulang kembali. Perlahan, sejenak, ia berdoa--mengucapkannya dengan gemetar, entah, pada siapa yang mesti mengabarkannya? Namun, ia coba mengucap doa, supaya semua bisa berjalan dengan apa adanya. Ia tertunduk. Murung. Jalan pikirannya kembali mengembara. Menyatukannya dalam dimensi-dimensi yang tak pernah ia duga sebelumnya. Sebelum tersesat semakin jauh, ia mencoba tanyakan kepada orang lain. "Di manakah ini?" Namun, orang-orang itu hanya berdiam diri saja. Menatap dirinya seperti sedang bercakap pada patung. Lantas menggeleng. Suatu bahasa tubuh yang bermakna ketidaktahuan yang panjang. Seperti telah kehilangan bahasa dari dalam jiwanya. Tak ada satupun yang memberikan atau membawakan dirinya peta. Sekadar menunjukkan arah kompas atau mata angin, "Kemana akan melangkah selanjutnya?" Sebenarnya, ia butuh sekali masukan, seseorang yang bisa memberitahukannya, "Pedro yang ini salah, yang ini benar!" Tapi, tak ada yang peduli, ia dianggap sebagai seonggok bangkai busuk yang berjalan di kota ini. Dianggapnya, tubuhnya telah penuh belatung yang tak boleh didekati atau disapa orang. Tak seorangpun sedia menjadi peri bagi dirinya. Semua orang memaki, menghardik, mencaci, dengan cara apapun. Aneh dan heran! Sejenak, setan dalam hati tertawa riang, bertepuk tangan. Seperti ingin tersenyum dengan puas sekali. Ah, ia sendiri begitu ngeri jadinya!

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Sweet Tomatoes Printable Coupons