Sabtu, 12 Februari 2011

Liang Lahat Zorta

Zorta terperanjat menyambut pesan yang datang bertubi-tubi, beberapa detik setelah ponselnya dinyalakan. Lengking benda mungil itu serasa menggetarkan dinding kamar hotel. Memecah kehampaan pagi.

Wajahnya pucat mengetahui serangkaian SMS itu dikirim Verna, istrinya. Jempol Zorta lincah memencet keypad. Matanya tak berkedip menatap kalimat yang tertera di layar. Istrinya mengabarkan bahwa Pak Yongka, tetangga sebelah rumah mereka, meninggal jam sebelas malam tadi. Beliau tersengat stroke kedua. Pesan-pesan berikutnya berisi protes. Kenapa HP-nya tak aktif? Kemana dan apa saja yang dilakukan semalaman? Zorta membuang nafas gelisah.

Hampir jam enam pagi. Tanpa mandi atau sekedar cuci muka, Zorta bergegas pulang. Tentu saja mengantar teman kencannya pulang ke tempat kos lebih dulu. Kurang dari setengah jam, Zorta sudah memasuki ruas jalan menuju rumahnya.

Kertas minyak kuning melambai-lambai menyambut Zorta. Kendaraan parkir memanjang di kiri kanan jalan. Zorta memantau situasi dari dalam mobilnya. Halaman rumah Pak Yongka penuh pelayat. Semasa hidup, almarhum cukup disegani. Beberapa tetangga hilir mudik. Memasang tarup, menyusun kursi, dan mengatur kendaraan. Banyak juga wajah-wajah asing seliweran. Zorta menduga, barangkali mereka bekas murid almarhum. Sebagai pensiunan guru, tentu banyak anak didiknya yang sukses. Mendapat kabar Pak Yongka mangkat, mereka berdatangan memberi penghormatan terakhir.

Semula Zorta enggan melayat. Ia malu. Tetangga sebelah rumah kok datang belakangan. Tapi karena terus didesak Verna, akhirnya Zorta berangkat juga. Langkahnya terasa berat.

Malamnya, dengan alasan meriang, Zorta malas tahlilan. Untuk menghindari gerutuan Verna, Zorta mengutus sopirnya untuk menghadiri acara itu. Lantunan surat Yasin terdengar sayup-sayup. Zorta gelisah. Matanya nanar menatap wanita-wanita bahenol di layar kaca, sementara pikirannya melanglang ke tempat lain.

Suasana pemakaman Pak Yongka siang tadi menggasing di benak Zorta. Diorama perpisahan yang ngelangut. Iring-iringan jenazah menyusuri jalanan yang melepuh. Beberapa lelaki bahu-membahu menimbun jenazah. Meski keringat meleleh dan pakaian belepotan tanah, gerak mereka tetap ritmis saat mengayun pacul dan sekop, mendongkel tanah, lalu melemparnya ke dalam lubang yang menganga. Lambat laun liang itu tertutup gundukan tanah merah. Nisan kayu ditancapkan. Bunga warna-warni ditabur.

Zorta menyaksikan semuanya dari kejauhan, di bawah pohon kamboja. Ia seperti dicekam sesuatu. Entah apa. Angin sepoi menyentil setangkai bunga kamboja hingga lepas dari tangkainya. Jatuh persis di ubun-ubun Zorta yang botak mengkilat. Aroma harum berkelebat. Ia terkesiap dari lamunan. Memandangi bunga yang mendarat di ujung sepatunya. Zorta menelan ludah. Detik itu juga ia merasa ada kekuatan gaib yang melemparnya ke sebuah tempat yang asing dan jauh.

* * *

Keinginan aneh Zorta diprotes Verna. "Bapak, kok, ngomongnya ngelantur, sih?!". Istri mana tak kaget ketika suaminya berkata bahwa ia ingin memesan makam pribadi. Suara datar Zorta ketika mencetuskan niat itu membuat Verna curiga. Firasat buruk sempat melintas. Memahat kecemasan di wajah wanita yang rutin merawat tubuhnya di salon kecantikan itu.

"Aku serius, lho, bu. Hidup dan mati memang rahasia Tuhan. Tapi bukan itu yang kurisaukan. Coba bayangkan, bila meninggal nanti, kita kesulitan mendapat liang lahat untuk jasad kita." Samar-samar, Verna mulai bisa menerka apa yang tersirat di benak suaminya.

"Pemakaman Pak Yongka minggu lalu membuatku sadar pentingnya sepetak tanah untuk jasad manusia. Memang cuma satu kali dua meter, tapi di masa depan, pasti sulit memiliki tanah secuil itu. Sekarang saja, pemakaman sudah penuh sesak. Dilapis pualam atau dipagari. Bisa jadi ada kubur yang sudah puluhan tahun tanpa nisan, dan sudah rata dengan tanah, dipakai lagi untuk mengubur orang lain. Mana kita tahu, Bu?! Aku ogah dikubur tumpang tindih cuma gara-gara tak ada tanah yang tersisa."

Zorta menghitung-hitung. Mungkin, sisa umurnya kurang dua puluh tahun lagi. Dia khawatir jika saat itu tiba, ia sudah tak kebagian tanah kuburan. Jangankan di masa depan, saat ini pun tanah sudah jadi barang mahal. Manusia bisa saling tikam demi sepetak tanah. Karena itu, ia kebelet mematok tanah kuburan sejak awal.

Sebagai wakil rakyat, Zorta ditunjang berbagai fasilitas untuk mempermudah pekerjaannya. Mobil dan rumah dinas, tunjangan kesehatan, tunjangan keluarga, dan tunjangan lain-lain. Belum lagi jabatan yang diduduki, membuatnya gampang main tunjuk atau mengeluarkan memo-memo siluman. Bisnis sampingannya sebagai broker proyek-proyek kakap juga tak sedikit. Meski hanya bermain di belakang layar, tapi uang mengalir lancar ke rekening banknya.

Siapa bisa menebak nasib orang? Dulu Zorta dikenal sebagai rentenir plus makelar. Sekarang ia jadi warga terpandang. Mulut manisnya berjasa besar bagi partainya. Kalau sedang menabur janji, pendengarnya seolah terhipnotis. Tapi bukan sedikit yang mengoloknya. Zorta diibaratkan sayur kebanyakan kuah, tak jelas lagi isinya. Kini orang-orang yang pernah mencemooh, berbalik seratus delapan puluh derajat. Mengangguk dan senyum simpul ketika Zorta melintas di depan mereka.

Beberapa minggu berlalu. Keinginan Zorta memiliki makam pribadi belum juga pupus. Ketika kongkow dengan beberapa rekannya di sebuah cafi, ia menyisipkan gagasannya.

"Minta tunjangan pemakaman?! Apa nggak kelewatan, tuh?!" sahut seseorang. Semua yang duduk melingkari meja itu terkejut mendengar usul Zorta. Tatapan mereka mengandung berbagai pertanyaan.

"Kalau tunjangan kematian, sih, bisa. Tapi, liang lahat? Apa you sudah gila?" sambar yang lainnya.

"Ssst, jangan keras-keras", Zorta melirik kiri kanan. "Jangan sampai obrolan ini di dengar kuli tinta. Kalau mereka tahu, bisa dikecam habis-habisan. Apa lagi alasan kita nanti? Ini kan baru sekadar wacana.. " suaranya mendesis bagai ular.

Seorang di antara mereka yang telah melantak tiga botol bir dan sejak tadi bertingkah norak menggoda penyanyi di panggung, angkat bicara. "Ah, itu ide bagus, kawan. Kalian tahu, zaman sekarang kuburan sudah banyak digusur. Di bangun perumahan, pertokoan, atau pabrik. Padahal tiap hari ada saja yang mati. Nah, kalau giliran kita tiba, mau dikubur dimana? Kalian mau dikubur berdiri atau dilarung ke laut?!" Zorta mesem dalam hati. Meski menceracau, tapi kata-katanya barusan membuat mereka yang duduk mengepung meja itu terdiam.

* * *

Time goes on. Zorta telah disibukkan dengan urusan dinasnya. Ia tak lagi risau memikirkan liang lahat. Tiap hari ada saja masalah yang menguras tenaga dan pikirannya. Rapat-rapat melelahkan, mempertahankan posisinya agar tak digeser lawan politik, study tour ke kota lain, kongkow di cafe atau karaoke dengan alasan entertaint untuk mendapatkan proyek miliaran, dan, tentu saja, mengurus wanita simpanannya yang makin rewel menuntut itu itu.

Zorta terhenyak ketika sebuah kabar duka singgah di telinganya. Jam delapan malam, ia ditelepon seorang pejabat yang mengabarkan bahwa putranya baru saja meninggal. Zorta kembali teringat keinginannya yang lama terlupakan. Malam itu juga ia langsung menuju rumah rekannya. Zorta menyopir sendirian. Sepanjang jalan, bayangan tentang liang lahat bangkit kembali.

Kegelisahan makin kentara setibanya Zorta di tempat tujuan. Ia nampak linglung dan serba salah. Setelah mengucapkan belasungkawa pada rekannya, ia bersandar di salah satu kursi. Jika ada pejabat yang datang, ia tak banyak bicara. Hanya bersalaman sambil tersenyum kikuk, lalu kembali duduk. Tak juga dipedulikannya bisik-bisik yang mengatakan bahwa anak rekannya itu meninggal karena over dosis narkoba, tapi demi menutup aib, keluarganya beralasan meninggal karena sakit lever.

Zorta telah memutuskan. Besok, ia tak mau ikut mengantar jenazah. Ia trauma melihat deretan nisan yang berjejal-jejal seperti orang usiran tak berdaya di pengungsian. Ia adalah pejabat yang ditakuti dan bisa menakuti. Berada di kuburan akan mengingatkannya pada kematian, batas yang memisahkannya dari kehidupan. Padahal ia masih belum puas meminum air laut. Ia masih haus dengan nikmat dunia. Tidur diatas uang dan di perut perempuan, disanjung para penjilat yang mengelilinginya, dan selalu tertawa tanpa ingin menangis.

Zorta memang tak perlu bersusah payah datang ke pemakaman. Paginya, begitu bangun tidur, Zorta panik. Ada liang lahat menyambanginya, menari-nari di pelupuk matanya. Zorta mengucek-ngucek mata, menyangka ada kesalahan kecil dengan indra penglihatannya. Tapi sampai Zorta menggigil keringat dingin, bayangan seram itu tak juga mampus. Bahkan selalu menguntit kemanapun Zorta lari. Ia tak berani menceritakan keanehan itu pada siapa pun. Bisa-bisa ia dituduh gila. Sampai sekarang, liang lahat itu bersemayam dalam otak dan batin Zorta. Membuatnya semakin takut pada kematian.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Sweet Tomatoes Printable Coupons