Sabtu, 12 Februari 2011

Ikan Kecil di Sekeliling Ikan Besar

IKAN-ikan kecil berenang di sekitar ikan besar. Merapat ke tubuh ikan besar yang terlihat segede gunung. Berseluncur di punggungnya yang melengkung.Ikan besar senang dikelilingi ikan-ikan kecil. Selain tak layak dimangsa karena terlalu kecil, hanya nyempil di gigi bila dilahap, ikan-ikan kecil adalah pesuruh yang tak perlu disuruh. Tahu tugas kewajiban: membersihkan lumut, jamur, kutu-air, atau sampah laut yang tersangkut di tubuh ikan besar.

Karena itu, ikan besar sesekali menyerakkan remah-remah dan ikan-ikan kecil berebut penuh suka-cita. Sesekali pula, jika iseng ikan besar tiba atau memang dia perlukan, ia ngangakan mulut lebar-lebar dan ikan kecil menyelam menyuil-nyuil sisa makanan di sela giginya.

Begitulah mereka hidup sehari-hari sambil berlayar di laut dalam, dingin dan bergelombang. Ikan kecil nempel di tubuh ikan besar seperti manusia kecil merapat di sekitar orang besar. Ikan kecil hidup dari remah ikan besar, lumut, jamur, kutu-air dan sampah laut yang tersangkut.

Ikan kecil bahagia dengan kehidupan seperti itu. Sejak kakek ke ayah dari ayah ke anak tak berubah bunyi nasehat di dunia ikan kecil: "Jangan sekali-kali mimpi jadi besar. Hidup kita sudah enak, aman dan nyaman. Sekali kalian membesar dilahap ikan lebih besar. Lebih besar, dimangsa ikan seperempat atau sepertiga besar. Makin besar, berhadapan kalian dengan ikan besar!" Ikan-ikan kecil gemetar mendengarnya. Mencamkan dalam hati, mewariskan pada ikan-ikan kecil yang lahir belakangan.

Tapi seperti di manapun yang muda-muda alot diyakinkan. Ada saja yang mau hal baru, rindu mencoba yang belum dialami. "Masak berenang hanya di sekeliling ikan besar. Tak boleh ke mana-mana. Dilarang jadi besar. Huh! Akan aku buktikan semua itu tidak benar. Cuma tahyul!" kata seekor ikan kecil muda bandel.

Ikan-ikan kecil lain, lebih-lebih yang tua, mengingatkan pikiran itu berbahaya. Nyeleneh. Tapi ikan kecil muda bandel tak peduli. "Biar!" dia bilang. "Aku tidak mau kerdil selamanya! Tak mau terus-terusan makan remah! Tidak mau jadi tukang sikat jigong dia terus!" dan ditunjuknya kepala ikan besar dengan kurang ajar.

Gemparlah ikan kecil di sekeliling ikan besar. Ikan kecil muda itu benar-benar kelewatan. Tak tahu diuntung. Kualat. Tapi mereka pun hanya bisa ternganga. Kasak-kusuk berbisik seraya melirik ikan besar dengan cemas. Dan ikan besar terus melaju, sibuk mengincar mangsa, seolah tidak mendengar apa-apa.

"Mengapa kalian diam?!" ikan kecil muda itu kembali berkoar. "Dengar! Aku ingin jadi ikan besar. Bahkan lebih besar dari dia!" Dan, kali ini ia pantati kepala ikan besar dengan sangat kurang ajar.

Tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Diingatkan sudah, dinasehati sudah. Ikan kecil muda tetap bandel. Maka ikan-ikan kecil di sekeliling ikan besar menempel kian rapat ke tubuh ikan besar, berlayar di laut dalam, dingin dan bergelombang.

Tinggal ikan kecil muda itu sendiri. Tapi memang dia yang tidak mau bersama lagi. Ia ingin membesar dan tidak takut sendiri. Dia sudah kenal ombak dan arus, juga lekuk-lekuk laut. Bahkan bau serta gelagat ikan pemangsa atau yang ingin menjadikan dia pesuruh seperti ikan besar yang ditinggalkan, dia tahu. Ia tidak akan melawan arus atau ombak karena itu konyol. Ia akan ikut arus saja, tapi tak sampai hanyut. Ia akan meliuk dalam arus atau ombak. Waspada terhadap ikan pemangsa atau yang bernafsu menjadikan dia budak.

Juga terhadap nelayan, walau ini tak perlu benar ia kuatirkan. Ikan kecil muda itu tahu dia berkeliaran di perairan Indonesia dan di sini tak lagi ada nelayan tangguh yang melaut hingga jauh bak tempo dulu. Atau seperti nelayan tua Ernest Hemingway yang sendiri di laut lepas berpuluh hari di Teluk Meksiko. Juga seperti nelayan muda Yukio Mishima, Shinji-san, yang melaut di Teluk Ise dekat Pulau Uta-Jima. Nelayan Indonesia kini loyo dikentuti nelayan asing, dan pemimpin negeri itu tak punya waktu mengayomi karena sibuk korupsi.

Tapi, andai nelayan Hemingway atau Mishima melaut hingga perairan ini lalu menangkapku, pikir ikan kecil muda itu senyum-senyum menikmati kebebasan, aku malah merasa terhormat. Nelayan tua Hemingway mencintai laut seperti menyayangi perempuan. Mati di tangannya tentu nikmat. Dan si Shinji-san, pasti menyerahkanku pada Hatsue, pacarnya. Gadis pencari mutiara itu akan menyentuhku dengan bibirnya yang indah, menggigitku pelahan dengan gigi bergingsul laiknya gigi gadis Jepang.

Ikan kecil muda itu gembira. Berenang meliuk-liuk, tidak kuatir pada jaring nelayan. Ia tahu nelayan tangguh Indonesia sudah lenyap, menetap dalam lagu nenek moyangku orang pelaut, itu pun jarang dinyanyikan karena anak negeri itu sekarang lebih suka dangdut.

Ikan kecil muda itu mulai memangsa ikan lebih kecil. Tubuhnya makin besar. Daerah kekuasaan meluas. Sebentar lagi ia akan jadi ikan seperempat besar, sepertiga besar, seperdua besar ikan besar! Ah, apakah tubuhnya juga bakal berlumut dan berjamur? Pasti. Ikan-ikan kecil akan berenang di sekelilingnya seperti budak dan dayang-dayang!

Ikan kecil muda dalam proses membesar itu makin giat memangsa ikan lebih kecil. Dia harus jadi ikan besar. Akan sering-sering kungangakan mulutku nanti bila sudah besar, pikirnya. Kurasakan nikmatnya sela-sela gigi dibersihkan ikan kecil.

Tetapi aku harus kerap menyerakkan remah agar ikan kecil senang dan betah, pikirnya. Aku tak boleh pelit, dungu, dan picik seperti ikan besar yang kutinggalkan. Akan kubiarkan, bahkan bila perlu, kusuruh ikan-ikan kecil bertualang supaya mereka tahu betapa indah dan luasnya laut.

Lihat, alangkah luas dan indahnya laut. Cuma ikan besar dungu dan picik yang ingin ikan kecil di sekitar dia terus. Makan remah-remah, menyikat jigong dia. Dan, ikan-ikan kecil tolol yang mau terus-terusan dibegitukan!

Asal boleh dari ikan kecil tapi otak jangan tetap kecil, pikirnya lagi. Nyali dan kemauan harus dipupuk jadi besar. Lagi-lagi disergapnya ikan lebih kecil. Tubuhnya kian besar jua, daerah kekuasaannya pun bertambah luas.

Tanpa disadari, kehadirannya dengan tubuh kian besar menarik perhatian ikan seperlima atau seperempat besar. Mereka mengikuti diam-diam. Dan ikan kecil muda itu kaget tak alang-kepalang saat diserang. Tapi dia tidak hilang akal. Cepat meliuk, menyelip di sela karang. Lama ia sembunyi di situ. Merenung. Dia sadar hari-harinya akan tambah sulit. Ikan seperlima dan seperempat besar akan lebih banyak dan sering menyerang.

Tetapi ikan kecil muda itu juga gembira. Peristiwa itu pertanda ia makin dekat pada cita-cita: jadi ikan besar. Tambah besar pohon, tambah banyak dan besar angin datang, renungnya. Jadi tak perlu takut, bisiknya menyemangati diri sendiri.

Dan ia memang tidak takut, hanya lebih waspada. Laut bukan cuma berisi ikan pemangsa. Laut amat luas. Di dalamnya ada bukit, lembah, rumput, pohon, bunga dan batu karang. Semuanya berkah tidak terpermanai bagi ikan kecil berotak besar untuk perlindungan diri. Seraya tumbuh jadi besar. Nelayan saja tak semua dapat mencapai bagian-bagian laut seperti itu. Kecuali nelayan tua dari Teluk Meksiko itu, tambahnya buru-buru. Atau nelayan Indonesia tempo dulu.

Dia keluar dari sela karang, mulai lagi memangsa ikan lebih kecil. Sangat tak diduganya kawasan itu begitu melimpah dengan makanan. Maka ikan kecil muda itu memutuskan tinggal sementara di kawasan itu, menghindari bahaya, sesekali saja ke bagian-bagian laut yang lain. Dia harus menumbuhkan tubuh lebih besar. Lagi pula, dari kawasan itu bisa didengarnya suara ikan besar yang dia tinggalkan. Juga baunya yang anyir tengik, dibawa arus dan air yang bergetar. Ia bayangkan ikan besar itu melaju pongah, saudara-saudaranya berenang di sekeliling tubuh tambun itu berebut remah.

Tidak. Kini dia tidak tega memaki ikan-ikan kecil itu tolol dan bodoh. Justru setelah berpisah ia memaklumi derita mereka. Saudara-saudaranya sudah terlalu lama dicekam ketakutan dan diperbudak, mengikis keberanian serta kemauan untuk bebas. Mungkin dulu ada yang mencoba pergi dari ikan besar itu, tapi kemudian mati. Yang tinggal ketakutan dan mandah saja diperbudak.

Tapi aku tak takut mati, pikir si ikan kecil. Walau mati paling elok agaknya di tangan nelayan tua dari Teluk Meksiko. Aku akan kembali, membebaskan ikan-ikan itu dari ikan besar!

Ikan kecil muda itu berenang dari karang ke karang sambil melahap ikan lebih kecil yang begitu banyak. Dia begitu bersemangat. Amat bersemangat. Dan baru sadar bahaya mengancam saat tiga ekor ikan seperempat besar menyergap. Ikan kecil itu berkelit, meliuk ke sela karang. Tak urung daging lambungnya yang mulai tambun robek diseruduk, menampakkan tulang. Darahnya mengalir memerahkan air di sekitar karang.

Ikan kecil muda itu terengah-engah. Ikan seperempat besar tambah beringas mencium darah. Namun mereka tak bisa menjangkaunya. Ikan kecil muda itu aman di sela karang, dengan nyeri menggigilkan tubuh. Lukanya parah. Dia kemudian tahu ajal mendekat. Tapi ia tak mau tinggal rangka di tempat itu. Ia harus menemukan ikan besar itu. Menjumpai ikan-ikan kecil.

Setelah ikan pemangsa pergi, ikan muda itu keluar dari sela karang, berenang terseok-seok. Tubuhnya kian lemah. Tapi ia harus menemukan ikan besar itu. Harus. Bersua ikan kecil yang mengelilinginya. Ia ingin berkabar pada mereka, betapa indah dan luasnya laut. Tubuhnya kian lemah. Tetapi ikan muda itu terus berenang, terseok-seok. Ia ingin mengabarkan pada ikan kecil, bukan hanya yang mengelilingi si ikan besar, melainkan semua ikan kecil. Bahwa alangkah nikmat maut sesudah mengarungi laut luas dengan bebas.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Sweet Tomatoes Printable Coupons