Sabtu, 12 Februari 2011

Wajah Malam

PEREMPUAN yang berdiri di lembah malam, telah bertahun-tahun ia di situ, di bawah lampu jalan yang dingin beku. Ia bukan wanita malam walau tiap malam di tempat itu. Tidak semua perempuan yang terlihat di jalan di malam hari adalah wanita malam. Jadi bila kau lelaki iseng jangan sekali-kali merayu. Ia tidak akan marah atau memakimu, tapi tetap beku bak lampu jalan dan tiang listrik yang dingin itu. Dan kau pun jadi bosan, lalu meninggalkannya, mungkin sambil menggerutu.

Tak ada yang tahu siapa namanya; jangan-jangan ia sendiri pun sudah lupa. Di mana dia tinggal, tidak ada yang tahu. Pedagang rokok yang berkios dekat tiang listrik hanya melihat dia muncul di ambang malam dari mulut gang yang bermuara ke jalan itu. Lalu lenyap lagi di mulut gang bersama kabut dini hari. Antara ambang malam dan dini hari tidak sekalipun dia sudi didekati lelaki. Banyak yang merayu, dia tetap diam membeku.

"Lalu untuk apa dia di situ?" tanya lelaki muda itu kepada pedagang rokok.

"Menunggu anak dan suaminya."

"Ke mana anak dan suaminya?"

"Disembunyikan malam."

"Disembunyikan malam? Apa maksudmu?"

"Entah," jawab pedagang rokok. "Coba saja dengar jika dia bersuara."

Lelaki muda itu penasaran, ingin tahu. Ia bukanlah lelaki iseng pencari wanita malam. Ia terjun ke lembah malam --pertama kalinya malam itu-- justru karena pusing menghadapi perempuan.

Gadis yang dipacarinya mendesak kawin. Gadis itu tak sabar lagi menunggu, karena ayahnya semakin sering batuk-batuk dan ingin sekali punya cucu. "Cepat, cepatlah kau menikah!" pinta ayah gadis itu. "Aku ingin melihat cucu. Melihat turunanku, sebelum maut itu menjemput!" Lalu lelaki tua itu menunjuk ke sudut kamar.

Gadis itu menangis. Ia memang gadis yang malang . Dua kakaknya mati di usia muda. Ibunya wafat saat ia 12 tahun. Sejak itu ayahnya jadi murung; khawatir tak memiliki cucu, atau tidak akan melihat garis turunannya berlanjut. Lelaki muda itu paham kecemasan si calon mertua. Tapi, baginya, perkawinan bukan perkara sederhana. Dia merasa belum punya apa-apa. Dia ingin mapan sebelum berrumah tangga. "Tapi kau sudah punya mobil," kata pacarnya.

"Tidak cukup," balas lelaki muda itu. "Biar aku punya rumah dulu. Aku ingin membahagiakanmu dengan sebuah rumah."

"Aku sudah bahagia bila kau mengawiniku. Melahirkan anakmu."

"Itu bukan kebahagiaanmu. Kebahagiaan ayahmu."

"Aku pun bahagia membahagiakan ayah."

Lelaki muda itu ketawa, lalu terhenti waktu pacarnya menatap. Baru kali itu ia lihat gadis yang lembut dan cantik itu bermata demikian. Tajam. Mengiris. "Ternyata, kau sama saja dengan pemuda lain!" ucap gadis itu mendesis.

"A-apa maksudmu?" Lelaki muda itu tergagap, bagai terjerembab.

"Egois. Kau bukan ingin membahagiakanku dengan sebuah rumah. Kau ingin membangun kebanggaanmu dengan memiliki rumah!"

"Tidak. Bukan begitu."

"Begitu yang kumaknai!" potong si gadis. "Bagimu, bahagia adalah memenuhi ambisi pribadi. Kita berbeda. Sebab bagiku, bahagia adalah menjadi cahaya bagi yang lain. Membuat orang lain merasa bahagia." Lalu gadis itu pergi, meninggalkan lelaki muda itu sendiri, disergap kebingungan dan hati yang gundah.

LELAKI muda itu meninggalkan penjual rokok. Seperti biasa, perempuan itu tidak bereaksi didekati. Matanya tetap lurus ke depan, memandang malam. Wajah dan tubuhnya elok. Usianya tak muda lagi, tapi pasti belum 40. Kulitnya bersih. Dia masih menggoda bagi lelaki, apalagi malam hari. Tetapi malam tidak selalu berselimut hitam kejahatan. Malam juga misteri. Bagai rimba, malam pun menyimpan berbagai hikmah bagi yang mau mencari; tak melulu membuat orang tersesat ataupun berubah menjadi buas.

Dan laki-laki muda itu pura-pura kencing di sisi trotoar, memunggungi jalan, serta perempuan itu. Pundaknya lengkung di bawah lampu jalan maupun sinar bulan dari langit yang berkabut. Angin bertiup. Dingin menyusup. Lalu didengarnya perempuan itu berkata, lembut dan lirih, seperti pada diri sendiri. "Anakku, o... di mana kau gerangan? Suamiku.... Di mana kalian disembunyikan malam?" Dan ia tetap berdiri memandang malam, menanti. Tak ada jawaban. Terdengar lagi ia berucap: "Sudah bertahun-tahun, lama sekali. Anakku. Suamiku...."

Lelaki muda itu terpana, mencerna yang didengarnya.

Keesokan malam, juga esok dan esoknya, ia kem- bali terjun ke lembah malam. Pacarnya tak bersedia dihubungi. "Buat apa lagi, nyata sudah pandangan kita berbeda."

"Tapi aku ingin menjelaskan," kata lelaki muda itu. "Beri aku waktu...."

"Percuma," balas pacarnya. "Bahkan ayahku kini sekarat. Ambil jalan sendiri-sendiri saja, sesuai prinsip masing-masing tentang kebahagiaan."

Perempuan itu masih dilihatnya berdiri di bawah lampu jalan, seperti kemarin malam dan kemarinnya. Laki-laki muda itu terus memperhatikan. "Tampaknya Om tertarik benar, ya!" tegur pedagang rokok.

"Ya."

"Dekati lagi saja! Siapa tahu mau. Si Om masih muda. Mungkin dia...."

Lelaki muda itu tidak ingin mendengar terusannya. Penjual rokok itu tak akan mengerti. Baginya malam mungkin lazim tampil bermantel hitam kejahatan. Mungkin dari kios rokok itu sering ia saksikan hal-hal mengenaskan, yang membuat malam jadi buruk mengerikan.

Laki-laki muda itu mendekat lagi. Menyapa. Bukan merayu. Juga bertanya. Perempuan itu diam, membeku. Matanya lurus memandang malam, sikapnya seolah menunggu. Dan bila lelaki muda itu bergeser menjauh didengarnya perempuan itu kembali berkata, lembut dan lirih, seperti kemarin malam. "Anakku... o sudah begitu lama. Suamiku... lama sekali. Di mana kalian disembunyikan malam? Di mana...."

Lelaki muda itu terpana, dadanya gemuruh. Lalu didengarnya lagi bisik-bisik lirih itu. Begitu jelas, di tengah sunyi jalan, bulan yang pucat. "Anakku... suamiku... berilah isyarat dari sana, entah di mana... bahwa kalian bahagia." Angin bertiup. Laki-laki muda itu merapatkan jaket, terus mendengar, hatinya berdebar-debar.

"Kirimlah tanda, Nak. Buat Ibu. Suamiku... berilah aku isyarat. Bagiku, kini, tak mengapa lagi bila kalian tak dikembalikan malam... asal bahagia di sana. Deritaku pupus bila kalian bahagia. Bahagiaku tumbuh jika kalian bahagia.... Anakku, kirimlah tanda...."

Lelaki muda itu tertegak. Beku tidak bergerak. Angin malam masih mengirim dingin. Jalanan sunyi. Bulan semakin pucat di langit yang berkabut.

***

PEREMPUAN yang berdiri di lembah malam, telah bertahun-tahun dia di situ, di bawah tiang listrik dan lampu jalan yang beku. Dia bukan wanita malam walau tiap malam di tempat itu. Karena itu, jangan kau rayu. Tak setiap perempuan yang terlihat di jalan pada malam hari adalah wanita malam. Perempuan itu sedang mencari. Juga menunggu. "Berilah jawaban... kirimlah tanda...," ucapnya lirih. Tidak ada jawaban, atau tanda. Sudah bertahun-tahun. Dan dia tetap di situ. Menunggu. Berkata-kata lirih kepada malam, kecuali bila hujan.

Suatu malam, sebuah mobil berhenti di sisi jalan itu. Lelaki muda itu terlihat lagi, setelah berbulan-bulan tidak ke tempat itu. Dia sekarang bersama seorang wanita muda, perutnya membukit hamil muda. Dia sudah menikah. Beberapa bulan berselang dengan nekat dia temui pacarnya. "Maafkan aku," ia bilang. "Kau benar, aku memang egois. Sekarang mari kita menikah. Beri tahu ayahmu."

"Mengapa kau berubah?"

"Mataku kini terbuka. Aku telah mendapat pelajaran yang sangat berharga."

"Dari siapa?"

"Dari seorang perempuan di larut malam."

Mata gadis itu berkilat bertanya-tanya. "Jangan berpikir yang tidak-tidak," ujar lelaki muda itu, lalu bercerita. Mata gadis itu jadi berkaca-kaca. "Kapan-kapan kuajak kau menemuinya," kata lelaki muda itu. "Ia perempuan mulia, sepertimu."

"Berjanjilah akan membawaku."

"Aku janji!" ujar lelaki muda itu. "Ia berhak bahagia. Dari dia, dan malam aku banyak belajar. Sekarang mari menikah. Beri tahu ayahmu. Aku akan melamarmu!"

Mereka menikah. Ketika perempuan muda itu hamil, ayahnya meninggal. Tapi lelaki tua itu tersenyum menyongsong ajal. "Jangan menangis," katanya. "Aku justru bahagia. Kau akan melahirkan cucuku. Kau, juga suamimu, telah membahagiakanku." Namun pasangan muda itu tetap menangis.

Kini mereka berdiri dekat mobil. "Aku saja menemuinya," bisik perempuan muda itu. Suaminya setuju. "Rapatkan mantelmu," dia bilang. "Banyak angin."

Perempuan muda itu merapatkan jaket, mendekat. Lapat-lapat didengarnya bisik lirih perempuan itu, di bawah tiang listrik. Dan perempuan muda itu tiba-tiba berucap: "Ibu, akulah tanda, akulah isyarat!"

Perempuan itu menoleh, terkesima.

"Aku tahu siapa Ibu. Siapa Ibu tunggu. Suamiku telah bercerita. Mari ikut aku, Ibu. Tak baik di jalanan malam-malam. Banyak angin di luar."

Perempuan itu masih menatap. Matanya membulat melihat seorang perempuan muda mendekat. Dengan perut buncit hamil muda, suara lembut. Sekonyong- konyong matanya gabak. Lalu pecah menjadi hujan. Dan malam terus mengirim dingin. Bulan pucat, berlayar di langit penuh kabut.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Sweet Tomatoes Printable Coupons